Jumat, September 13, 2024
spot_img

Manusia Bagian Integral dari Lingkungan Hidupnya

Daniel Lumbantobing, S.Th : Manusia integral dengan lingkungan hidupnya, karena manusia membutuhkan orang lain dalam bersosial dan membutuhkan lingkungan (kualitas tanah air dan udara) dalam hidupnya. /Foto : Ist/kopitimes
Oleh : Daniel Lumbantobing, S.Th
Kopi Times, Dalam mata kuliah Teologi dan Budaya, tema Lingkungan merupakan bahasan menarik saat kami mengadakan diskusi kelas bersama dosen pengampu (Dr. Hery Buha Manalu, S.Sos,M.Mis)  yang juga pengampu PAK Berbasis Budaya. Manusia integral dari lingkungan hidupnya artinya tidak terlepas dari unsur-unsur alam dalam hidupnya. Seperti tanah air dan udara. Manusia hidup di bumi. Manusia integral dan bergantung pada fasilitas alam lingkungan. Dari diskusi kami bahwa manusia itu adalah bagian integral dari lingkungan hidupnya. Ia tak dapat dipisahkan dari padanya. Manusia integral tanpa lingkungan hidupnya adalah suatu abstraksi belaka. 

1. Hubungan Manusia dengan Manusia

Manusia satu kesatuan yang integral dengan ciptaan lainnya. Manusia integral dengan lingkungan hidupnya dan dia diciptakan sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri.  Dia membutuhkan fasilitas dari alam lingkungannya. Dalam hidup, setiap orang perlu berinteraksi dan membutuhkan bantuan seseorang dalam kehidupan sehari-harinya. Misalnya, ketika kamu curhat kepada teman atau Ibumu mengenai nilai ulangan sosiologimu yang turun. 

Bagi sebagian orang, memiliki tempat nyaman untuk menceritakan masalahnya kepada orang lain merupakan sebuah keberuntungan. Kita sebagai manusia integral menjadi memiliki ruang untuk mengekspresikan dan mengeluarkan segala unek-unek yang tersimpan. Hal ini menjelaskan bahwa manusia memerlukan bantuan orang lain dalam memenuhi segala kebutuhannya. Dalam Kitab Kejadian 2:18 : “tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja…”, artinya. Bahwa Allah juga pada esensinya menciptakan manusia integeral untuk saling melengkapi, bukan saja dalam hal fisik, tetapi juga secara emosional, social, moral, intelektual dan spiritual. Hal ini terjadi dalam lingkup lingkungannya.

1.1. Manusia sebagai Mahluk Sosial

Manusia sebagai makhluk sosial menurut Aristoteles, Manusia integral merupakan makhluk individu yang harus mengembangkan diri dan kepribadiannya agar dapat bertahan hidup dan beradaptasi dengan manusia lain di masyarakat sebagai makhluk sosial dalam lingkungannya. Maka dari itu, manusia tidak bisa melepaskan dirinya dari orang lain. Itulah hakikat manusia sebagai makhluk sosial atau homo socius. 

Pengertian manusia sebagai makhluk sosial, Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sosial adalah hal-hal yang berkenaan dengan masyarakat atau sifat-sifat kemasyarakatan yang memperhatikan kepentingan umum.  Manusia dinyatakan sebagai manusia yang integral sebagai makhluk sosial, kehidupan sosial tidak terlepas dari lingkungan dan sudah terjadi sejak ia lahir. Seorang manusia yang akan lahir pasti membutuhkan manusia lain untuk memberikan pertolongan, hal ini berlaku untuk semua manusia tanpa melihat sebuah kedudukan atau kekayaan. Manusia sebagai makhluk sosial artinya manusia membutuhkan manusia lain untuk bersosialisasi atau berinteraksi dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. 

1.2. Manusia Hidup Berdampingan

Adanya hubungan timbal balik antara satu manusia dengan manusia lainnya membuktikan bahwa manusia pasti selalu bergantung pada orang lain agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.  Artinya manusia integral dan bersatu dengan yang lainnya. Hubungan timbal balik itu juga terjadi dalam lingkungannya. Misalnya, saat berada di pasar untuk berbelanja makanan atau kebutuhan lainnya, kamu sebagai pembeli harus berinteraksi dengan penjual untuk mendapat sebuah kesepakatan. 

Atau ketika belajar di dalam kelas, adanya interaksi antara guru dan murid agar mendapat ilmu pengetahuan. Interaksi terhadap lingkungan juga harus diperhatikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan “Manusia baru bisa dikatakan sebagai manusia yang sebenarnya, jika berada dalam masyarakat”, bahwa dalam bermasyarakat, manusia melakukan komunikasi, sosialisasi dan interaksi dengan masyarakat lainnya. Manusia integral sebagai makhluk social dan berdampingan, manusia memiliki rasa empati, simpati, toleransi, setia kawan dan saling tolong menolong terhadap manusia lain. Hal tersebut yang membentuk keharmonisan dan kerukunan yang ada di lingkungan masyarakat sehingga muncul norma, etika, dan sopan santun yang dianut oleh masyarakat.

Roma 10:12 “Sebab tidak ada perbedaan antara orang Yahudi dan orang Yunani. Karena, Allah yang satu itu adalah Tuhan dari semua orang, kaya bagi semua orang yang berseru kepada-Nya.”Indonesia digolongkan sebagai negara yang kaya akan perbedaan. Mulai dari perbedaan, suku, etnis, budaya, ras, hingga agama. Karena itulah, penduduk Indonesia disebut dengan masyarakat multikultural. Menanggapi kondisi tersebut, umat Kristen harus menghargai dan menghormati perbedaan yang ada serta menolak sikap diskriminatif. Sebagaimana diajarkan oleh Tuhan Yesus Kristus.

Tuhan Yesus mengajarkan umat Kristen untuk mengasihi sesama manusia seperti mengasihi diri sendiri, tanpa membeda-bedakan. Karena Tuhan Yesus juga sangat menghargai perbedaan.

1.3. Manusia Saling Membutuhkan

Dalam Surat Paulus Kepada Jemaat di Kolose 3:15 :”Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu, karena untuk itulah kamu telah dipanggil menjadi satu tubuh.”  Hubungan yang sifatnya saling membutuhkan ini terus terjadi setiap hari. Jika salah satunya menghilang atau bermasalah, akan berpengaruh pada hal lainnya. Berikut contoh ‘saling bergantung dan saling memengaruhi’ dalam kehidupan sehari-hari: Manusia membutuhkan petani untuk bisa mendapat beras. Petani juga membutuhkan sapi atau traktor untuk bisa membajak sawah. 

Manusia membutuhkan penjahit agar bisa memakai pakaian. Penjahit juga membutuhkan penjual kain, benang, dan jarum, dll.

2. Hubungan Manusia dengan Semesta

2.1. Manusia Berkuasa atas Alam

Hubungan manusia dengan alam adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Sebagai satu kesatuan, semua hal tersebut saling berkaitan dan bersifat fungsional. Lingkungan dan alam sebagai satu kesatuan sistem yang utuh merupakan kolektivitas dari serangkaian subsistem yang saling berhubungan, bergantung, dan fungsional satu sama lain.

Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara mahluk hidup dengan lingkungannya, dalam hal ini sungai dan bantarannya. 

Manusia hidup dari unsur-unsur lingkungan hidupnya. Udara untuk pernafasan, air untuk minum, keperluan rumah tangga dan kebutuhan lain, tumbuhan dan hewan untuk makanan, tenaga dan kesenangan, serta lahan untuk tempat tinggal dan produksi pertanian. Manusia adalah bagian integral lingkungan hidupnya. Ia tak dapat dipisahkan dari padanya. Manusia tanpa lingkungan hidupnya adalah suatu abstraksi belaka. 

Kata berkuasa berarti “memerintah atas atau berkuasa atas.” Kuasa Allah berdaulat atas ciptaan-Nya dan ia telah mendelegasikan otoritasnya pada umat manusia agar menguasai binatang (Kejadian 1:26). Daud menekankan hal ini: “Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya” (Mazmur 8:6). Umat manusia diwajibkan “menaklukkan” bumi (Kejadian 1:28) – kita seharusnya memerintah di atasnya; kita diberi jabatan yang tinggi dan seharusnya mengendalikan bumi, serta tumbuhan dan binatangnya. Manusia diciptakan sebagai penguasa dunia ini. Semua yang lain ditempatkan di bawahnya.

Perintah Allah untuk menaklukkan bumi dan semua binatang di dalamnya merupakan perintah untuk menguasai semuanya. Menguasai bidang apapun tidak dapat dilaksanakan tanpa mengerti dahulu apa yang akan dikuasai. Supaya seorang pemain musik dapat menguasai biola, ia harus mengerti alat musik itu sepenuhnya. Supaya manusia dapat menguasai binatang, mereka perlu mengerti binatang terlebih dahulu.

Bersama dengan otoritas memerintah, disertainya pula tanggung-jawab untuk memerintah dengan baik. Terkandung dalam perintah menaklukkan bumi sebuah konsep pertanggung-jawaban. Manusia bertugas menjalankan kuasanya di bawah sang Pemberi kuasa itu. Semua otoritas berasal dari Allah (Roma 13:1-5), dan Ia mendelegasikannya kepada siapapun yang Ia kehendaki (Daniel 4:17). Istilah menaklukkan tidak menyiratkan kekerasan atau penyalahgunaan. Istilah itu dapat diartikan “membudidayakan.”

Manusia seharusnya menjadi penjaga bumi; ia seharusnya membawa dunia jasmani serta segenap bagiannya ke dalam pelayanan Allah dan kebaikan sesamanya. Perintah menaklukkan bumi sebenarnya merupakan bagian dari berkat Allah di atas umat manusia. Sebagaimana mereka telah diciptakan dalam gambar dan rupa Allah, Adam dan Hawa seharusnya menggunakan kekayaan alam dunia untuk memenuhi kebutuhan pribadi mereka dan dalam melayani Allah. Adalah cukup masuk akal jika Allah menetapkan hal ini, karena manusia diciptakan menurut gambar Allah. Ketika Allah memberi umat manusia kuasa di atas binatang, yang dimaksudkan ialah untuk memelihara dan menggunakan binatang se-maksimal dan se-adil mungkin.

Pada waktu Allah memberikan umat manusia kuasa atas binatang, manusia bukan pemakan daging (Kejadian 1:29). Mengkonsumsi daging hanya dimulai setelah Banjir Air Bah (Kejadian 9:1-3), dan pada waktu itu binatang-binatang mulai takut terhadap manusia. Akan tetapi, walaupun Allah merubah hubungan kita dengan binatang, karena mereka sekarang dianggap sebagai “daging,” kita masih berkewajiban memperlakukannya secara manusiawi. Kuasa manusia di atas binatang tidak berarti bahwa kita boleh menyalahgunakan atau menganiaya binatang.

Kuasa di atas binatang seharusnya melibatkan manajemen hewan yang manusiawi sebagai sumber daya dari Allah. Kita perlu mempertimbangkan bahwa umat manusia diberi tugas (dan berkat) mewakili Allah di dunia ini. Kita adalah para penjaga. Pengaruh kita besar atas dunia ini, dan kita (yang mencerminkan rupa Allah) wajib bertindak sebagaimana Allah akan bertindak. 

Apakah Allah menyalahgunakan ciptaan-Nya? Tidak. Apakah Allah tidak bijak dalam menggunakan kekayaan-Nya? Tidak. Apakah Allah jahat atau egois atau boros? Tidak. Oleh karena itu kita juga tidak boleh berlaku demikian. Penyalahgunaan dan perusakan ciptaan Allah merupakan akibat dari dosa, bukan akibat dari ketaatan terhadap perintah Allah. Kita perlu memenuhi tanggung-jawab kita untuk mengelola bumi dengan bijak.

3. Hubungan Manusia dengan Allah (Debata)

Bagi orang Kristen, hubungan Allah Bapa dengan manusia adalah bagaikan seorang ayah dengan anak-anaknya. Jadi, orang-orang yang terpilih oleh kasih karunia Allah disebut sebagai anak-anak Allah (Bandingkan dengan 1 Petrus 2:9). Bagi orang Kristen, hubungan Allah Bapa dengan umat manusia adalah laksana hubungan antara Pencipta dengan ciptaan-Nya, dan dalam hubungan itu, Ia adalah Bapa dari semuanya. 

Dalam pengertian ini, Perjanjian Baru mengatakan bahwa gagasan tentang keluarga berasal dari Allah Bapa (Efesus 3:15). Jadi, hubungan Allah dengan anak-anak-Nya adalah panutan dan model untuk membina keluarga Kristen agar senantiasa bertumbuh di dalam iman perbuatan dan pengenalan takut akan Allah.

Orang Kristen percaya bahwa mereka dijadikan partisipan di dalam hubungan rohaniyang kekal antara Bapa dan Anak, melalui Tuhan Yesus Kristus. Orang Kristen menyebut diri mereka anak-anak Allah melalui pengangkatan:

Tetapi setelah genap waktunya, maka Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat. Ia diutus untuk menebus mereka, yang takluk kepada hukum Taurat, supaya kita diterima menjadi anak. Dan karena kamu adalah anak, maka Allah telah menyuruh Roh Anak-Nya ke dalam hati kita, yang berseru: “ya Abba, ya Bapa!” Jadi kamu bukan lagi hamba, melainkan anak; jikalau kamu anak, maka kamu juga adalah ahli-ahli waris, oleh Allah. (Galatia 4:4-7) Allah sebagai Bapa yang memelihara, yang memberikan kasih seorang Bapa Sejati yang sangat mesra, begitu penyayang dan begitu tertib penuh ketegasan (disiplin). Bapa Sorgawi tidak pernah sama dengan para bapa (bapak-bapak atau para ayah) dunia ini dalam hal kasih dan karakter yang tidak dapat terbandingi dengan kasih dan karakter Bapa Sorgawi. Allah sebagai Bapa Sorgawi merupakan Bapa yang sempurna dari segala bapa (bapak-bapak atau para ayah) dunia ini yang adalah gambaran dan rupa (duplikat dan bayangan) dari Sang Bapa Sorgawi yang murni. (Red/***Hery Buha Manalu)

Penulis ( Daniel Lumbantobing S.Th) adalah mahasiswa Program Pasca Sarjana (PPS) Sekolah Tinggi Teologi (STT) Paulus Medan, tulisan ini sebagian dari diskusi kelas bersama Dosen Pengampu, Dr. Hery Buha Manalu.,S.Sos,.M.Mis. Pengampu Mata Kuliah Teologi dan Budaya, PAK Berbasis Budaya di PPS STT Paulus Medan. 

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Latest Articles