Kopi Times | Medan :
Masyarakat Adat Natumingka didampingi oleh Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (BAKUMSU), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Tano Batak (AMAN TANO BATAK), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Eksekutif Daerah Sumatera Utara (WALHI SUMUT) dan Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) membuat laporan ke Kepolisian Daerah Sumatera Utara (POLDA SUMUT) terkait pemukulan dan lemparan benda keras yang dilakukan oleh Security, Humas dan Karyawan PT. Toba Pulp Lestari (PT.TPL) pada tanggal 18 Mei 2021 di Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba yang mengakibatkan 12 Anggota Masyarakat Adat Natumingka mengalami luka-luka.
Audo Sinaga dari BAKUMSU kepada media Kopitimes.id melalui relisnya memaparkan kejadian ini berawal saat pihak PT.TPL datang membawa security dan karyawan perusahaan berjumlah 500 orang dengan membawa puluhan truk yang berisi bibit Eukaliptus siap tanam. Warga yang berjaga di wilayah adatnya menghalangi pihak PT. TPL yang bersikeras untuk menanam bibit Eukaliptus. Setelah itu kepala security memberi aba-aba untuk maju menerobos barisan warga yang menghadang, terjadi dorong mendorong hingga seseorang dari belakang barisan security melempar kayu dan ada juga karyawan PT.TPL membawa samurai dan mengakibatkan situasi semakin tidak terkendali.
Masyarakat adat Ompu Punduraham Simanjuntak merupakan masyarakat adat yang berada di Desa Natumingka, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, Propinsi Sumatera Utara. Diperkirakan sejak tahun ±1600an, Ompu Punduraham Simanjuntak sudah berada di Desa Natumingka. Dimulai dari Punduraham Simanjuntak yang mempunyai anak yaitu Pun Togar yang membuka perkampungan yang dinamai dengan Huta Bagasan sampai dengan adanya perkampungan – perkampungan baru yang dibuka oleh keturunan dari Pun Togar. Dilihat dari sejarah, masyarakat adat Natumingka sudah ada 13 (Tiga Belas) generasi di Huta Natumingka.
Namun pada tahun 1989 – sekarang tanah adat mereka dikuasai oleh PT.TPL yang dulunya bernama Indorayon Inti Utama (PT.IIU) tanpa adanya sosialisasi dan bahkan masyarakat tidak mengetahui wilayah adatnya diklaim sebagai hutan Negara dan diberikan kepada perusahaan, parahnya lagi pohon kemenyan dan pertanian sebagai mata pencaharian masyarakat adat Natumingka habis diganti oleh tanaman eukaliptus dan masyarakat adat Natumingka dilarang beraktivitas ditanah adatnya.
Lebih lanjut Audo Sinaga mengatakan akibat adanya kebijakan yang tidak berpihak dan tidak sesuai dengan prosedur yang seharusnya terhadap masyarakat adat Natumingka memaksa masyarakat adat Natumingka untuk mempertahankan tanah leluhurnya. Permasalahan ini diperburuk karena masyarakat adat juga dihadapkan dengan kriminalisasi, laporan terkait pengrusakan tanaman dan segala bentuk ketidakadilan yang dilakukan oleh PT. TPL
Masyarakat Natumingka sudah lama berdiam dan mengelola tanah adatnya. “Dengan berlindung dibalik konsesi yang diterima dari negara, PT.TPL berkuasa di tanah adat kami. Kami Masyarakat Adat Natumingka sudah lama berdiam dan mengolah tanah adat kami sebelum negara ini merdeka. Kami bukan penjahat, bukan perampok, ini adalah tanah adat kami, leluhur kami hidup dan mati disini, tolong kepada kepolisian tangkap dan usut serius kasus ini”, sebut masyarakat.
Tidak hanya itu, PT.TPL juga menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat sekitar Danau Toba. Dampak itu secara massif dan meluas terhadap kerusakan ekologi, ekonomi, sosial dan budaya di sekitar kawasan Danau Toba. PT. TPL juga seringkali menciptakan konflik Horizontal di tengah masyarakat yang menyebabkan masyarakat kehilangan keharmonisan, rusaknya relasi sosial ini mengakibatkan masyarakat terpisah dari kebiasaan sosial dan budayanya.
“Secara fakta Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, yang terdiri dari beberapa suku maupun budaya. Atas dasar tersebut konstitusi Indonesia dengan tegas melindungi keberadaan masyarakt adat. Namun praktik hukum yang dilakukan Negara terhadap masyarakat adat Natumingka saat ini tak ada ubahnya dengan perilaku Kolonialisme” ucap Roy M Simarmata (Koordinator Bantuan Hukum BAKUMSU ).
Berangkat dari penjelasan diatas maka, dengan ini Masyarakat Adat Natumingka meminta : Mendesak Pemerintah Pusat ( Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ) mencabut Ijin PT.TPL Mendesak Kepolisian Daerah Sumatera Utara mengusut tuntas kasus kekerasan yang dilakukan oleh pekerja PT.TPL dan diberikan jaminan keamanan untuk tidak mengganggu masyarakat yang bekerja di areal wilayah adat yang selama ini dikelolanya sebelum ada penyelesaian hukum.
Mendesak Pemerintah Kabupaten Toba untuk melaksanakan verifikasi dan identifikasi dan mengesahkan Wiayah Adat masyarakat adat Natumingka. Mengembalikan hak atas tanah adat Natumingka seluas 2.409,70 ha dan meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) agar melakukan investigasi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh PT. TPL terhadap masyarakat adat di Kawasan Danau Toba. (Hery Buha Manalu)