Kopi-times.com | Medan :
Masyarakat Adat Tano Batak Kawasan Danau Toba mengecam sikap Kemenlhk, Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera dan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang memberikan ruang atau panggung untuk para perusak lingkungan salah satunya PT. Toba Pulp Lestari dan PT. NSHE dalam Perhelatan yang mengusung tema “Future Climate and Me“ ini merupakan perhelatan tahunan dalam rangkaian konsep 9 th Indonesia Climate Change Forum & Expo, Jumat (6/9/2019) di Medan.
Masyarakat Adat Tano Batak Kawasan Danau Toba yang terdiri dari Huta Sihaporas, Dolok Parmonangan Kabupaten Simalungun, Matio, Natumingka, Simenahenak, Paria Dolok, Sigalapang Kabupaten Toba Samosir, Tor Nauli, Ranggitgit, Lobu Sunut, Huta Napa Kabupaten Tapanuli Utara, Marancar Kabupaten Tapanuli Selatan, dalam pernyataan sikapnya menyebutkan Masyarakat Adat Batak menggantungkan hidup dari wilayah adat seperti hutan kemenyan yang dikelola dengan lestari lewat kearifan lokal leluhur Batak.
Wilson Mangaratua Nainggolan dan Stevanus Gulo dari AMAN Tano Batak menyebutkan Wilayah adat mereka sudah dirusak untuk kepentingan Perusahaaan dan banyak masyarakat adat justru di Kriminalisasi akibat mempertahankan wilayah adatnya.
“Menjadi sebuah ironi di saat masyarakat adat yang menjadi garda terdepan dalam menjaga kelestarian Lingkungan dan sumber daya alam, jusru menjadi korban dari investasi para Korporasi kotor tersebut. Wilayah adat mereka sudah dirusak untuk kepentingan Perusahaaan dan banyak masyarakat adat justru di Kriminalisasi akibat mempertahankan wilayah adatnya dari tangan-tangan Korporasi tersebut,”sebut Wilson Mangaratua Nainggolan.
Masyarakat Adat Batak yang menggantungkan hidup dari wilayah adat seperti hutan kemenyan yang dikelola dengan lestari lewat kearifan lokal leluhur Batak ini menjadi penyangga air untuk Danau Toba.
Akan tetapi atas dalih program reboisasi pada era Orde Baru. Kemudian munculnya konsesi PT Inti Indorayon Utama (kini bernama Toba Pulp Lestari) diatas wilayah-wilayah adat yang berisi perkampungan, makam leluhur, lahan pertanian hingga hutan kemenyan diklaim sebagai hutan negara dan konsesi Hutan Tanaman Industri PT. TPL oleh Kementerian Kehutanan tanpa sepengetahuan Masyarakat Adat.
Akibatnya sepanjang tahun 2018-2019, ada 16 kasus perampasan wilayah adat oleh PT.TPL selain menciptakan kerusakan hutan, PT. TPL telah memberikan sumbangsih pada perambahan hutan, pencemaran air, lingkungan dan secara konsisten mengancam masa depan tradisi dan budaya di kawasan Danau Toba. Di Bentang Alam Tele, PT. TPL memiliki konsesi seluas 125.956 Ha.
Hal ini berkontribusi pada laju kehilangan tutupan pohon di kawasan Bentang Alam Tele meningkat dalam 10 tahun terakhir dan 92,5 % berasal dari wilayah Konsesi PT. Toba Pulp Lestari, dan terlaksana secara legal via konsesi tebang milik PT. Toba Pulp Lestari seluas 68.000 hektar.
Keberadaan hutan kemenyan yang semakin sedikit akibat perluasaan lahan perusahaaan, sehingga sumber air bersih pun semakin sulit. Seperti yang terjadi di Sihoporas pada Bulan November tahun lalu, dimana PT. Toba Pulp Lestari dalam kegiatan operasionalnya membuang limbah beracun mereka ke sungai-sungai yang ada di Sihaporas yang menyebabkan masyarakat adat Sihaporas terancam kehidupanya selain itu Ihan Batak yang menjadi salah satu Biota endemik banyak ditemukan mati akibat pembuangan limbah tersebut, sehingga keberadaan Ihan Batak di Sihaporas kini nyaris punah.
Ihan Batak sendiri bagi masyarakat adat Sihaporas sangat penting sebab terkait dengan kebutuhan untuk ritual adat yang masih dilaksanakan oleh masyarakat adat Sihaporas sampai saat ini.
“Jadi kami sangat menyayangkan keberadaan PT. Toba Pulp Lestari dan para korporasi kotor lainya terlibat dalam acara perubahaan iklim yang di fasilitasi KLHK, Dinas Kehutan Pemprov Sumut dan Pemprov Sumut tersebut. Disaat masyarakat adat tengah berjuang untuk memulihkan wilayah adat mereka yang sudah sudah berubah rupa dan hancur akibat aktivitas Korporasi kotor ini namun KLHK dan Dinas Kehutan Pemprov Sumut justru memberi panggung untuk para korporasi ini berbicara lingkungan, sungguh memberik sakit hati yang mendalam kepada Masyarakat Adat di Tanah Batak, tutup Wilson Mangaratua Nainggolan. (Red)