Senin, Desember 9, 2024
spot_img

Memahami Spirit Jokowi: “Tapi Mulai Hari ini, Akan Saya Lawan!”

Editor : Hari Buha
By :  Denny JA
Kopi-times. come – Tahun 1986, Wiji Thukul menulis puisi. Hingga kini, puisi itu dikenang sebagai puisinya yang paling sering dikutip. Judulnya: Peringatan. Satu baitnya berbunyi:
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam
Kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif
dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada
Satu Kata: LAWAN !
Itu era puncak kejayaan Pak Harto dan Orde Baru. Itu juga awal kegelisahan publik atas politik yang terlalu mengekang. Spirit perlawanan menjadi bara. Api dalam sekam.
Puisi Wiji Thukul dengan seruan, hanya ada satu kata: Lawan! datang dalam momen yang tepat. Kegelisahan publik menemukan kosa kata. Kemarahan diarahkan oleh puisi. Lawan!
Puncak perlawanan rakyat, Pak Harto dan Orde Baru pun akhirnya tumbang. Apa yang didapat Wiji Thukul? Ia raib dan hilang tanpa bekas. Beredar berita ia termasuk penyair dan aktivis yang diculik dan dibunuh tahun 98.
Tapi frase puisinya abadi dan terus hidup. Ucapan “Hanya ada satu kata: Lawan!” diulang ulang untuk melawan apa saja. Terutama untuk melawan kebijakan politik atau polusi soal yang berbahaya bagi ruang demokrasi.
Puisi Wiji Thukul itu yang pertama saya ingat ketika mendengar pidato Jokowi.  Hari itu 23 Maret 2019 di Jogja. Jokowi juga mengucapkan bahkan meneriakkan kata itu. Dengan semangat yang menggelora, ujar Jokowi: “Saya Lawan!”
Lanjut Jokowi, 4.5 tahun selama ini saya diam saja. Saya dihina. Saya difitnah. Keluarga saya direndahkan. Saya dikatakan anak PKI. Antek asing. Saya dikatakan akan menghapus azan di mesjid. Saya difitnah akan menghapus pelajaran agama di sekolah.
Tegas Jokowi, itu semua fitnah!  Mulai Hari ini, saya nyatakan, fitnah itu akan saya lawan! Saya lawan! Saya lakukan ini bukan untuk diri saya. Tapi untuk negara. 
Massapun bergelora mendukung Jokowi untuk melawan.
Sudah luas beredar berita itu. Dalam kampanye ke rumah-rumah, fitnah atas Jokowi disebar. Kasus yang menjadi berita adalah ditangkapnya tiga emak-emak di Jawa Barat.
Mereka ke rumah rumah menyebarkan isu. Jika Jokowi terpilih lagi sebagai presiden,  maka pelajaran agama akan dihapus di sekolah. Bagaimana nasib anak- anak kita. Emak-emak ini mengkampanyekan agar penduduk yang didatangi memilih Prabowo saja.
Emak-emak ini sudah ditahan polisi. Tapi gerakan memfitnah Jokowi terus terjadi tak dalam serangan darat, door to door. Terjadi juga di media sosial.
Bagaimana kita menilai spirit Jokowi ketika ia mengatakan “saya Lawan!” dalam konteks sosial politik yang lebih besar? Lebih jauh lagi, perlukah semua Hoax diperangi? Perlukah UU Terorisme untuk menangkal Hoax?
Saya akan membahasnya dalam tiga tataran. Pertama, bagimana dunia luar menangani soal Hoax dan aneka bentuk kebohongan. Kedua, bagaimana sisi aturan hukum Indonesia soal ini. Ketiga, efek elektoral dari aneka hoax dan fitnah atas Jokowi.
Jokowi jelas menyatakan, ia akan melawan fitnah dan penghinaan. Dengan sendirinya tidak semua jenis hoax akan ia lawan. Jokowi hanya fokus pada sisi Hoax yang punya elemen kriminal saja.
Itu hal yang lazim bahkan di semua negara demokrasi. Bukan hoaxnya yang dilarang, tapi tindakan kriminal yang bersatu dengan hoax itu.
Kasus yang terkenal di Amerika Serikat soal racial hoax. Bahkan kumpulan kasus hoax ini sudah menjadi buku yang ditulis oleh Katherine Russel Brown.  Judulnya:
The Colour of Crime: Racial Hoax, White Fear, Black Protectionism and Other Macroaggression (1998). Judul buku yang sangat panjang untuk begitu banyak kasus Hoax yang bernuansa kriminal.
Satu contoh kasus  yang terkenal adalah kisah Jesse Anderson di tahun 1992. Ditemukan istrinya mati ditusuk 37 kali. Lokasi pembunuhan di tempat parkir restoran 
TGI Friday, Melwakee, Amerika Serikat.
Anderson pun menyebarkan berita yang kemudian populer disebuat racial hoax: kebohongan yang rasis. Ia mengabarkan secara luas dua orang kulit hitam, menyerang mereka berdua. Penyerang berhasil membunuh istrinya.
Tak lupa anderson menyertakan topi sang pembunuh yang sempat ia rebut ketika ia diserang.
Pelan pelan bukti menunjukkan itu adalah Hoax: kebohongan. Yang benar, Jesse Anderson membunuh istrinya sendiri. Anderson dihukum bukan karena hoax itu tapi tindakan kriminal yang dibungkus dalam hoax.
Semata -mata bohong saja, sejauh itu bukan kriminal, itu tak menjadi masalah hukum. Bahkan little white lies seperti kebohongan dalam April Mob malah menjadi hiburan yang disuka.
Jokowi sudah benar, yang ia kecam adalah Hoax yang bernuansa kriminal. Fitnah dan penghinaan itu adalah pidana menurut hukum Indonesia. Melawan hoax yang bernuansa kriminal menjadi Law Enforcement yang justru menjadi tonggak negara hukum.
Di Indonesia sendiri, fitnah dan penghinaan diatur dalam dua undang undang. Ada di KUHP pasal 310 dan 311.
Pasal itu mengatur tindakan yang mencermarkan nama baik dan kehormatan seseorang. Harus pula terpenuhi unsur bahwa seseorang menyiarkan fitnah itu  untuk maksud diketahui umum.
Tindakan fitnah dan pencemaran nama baik juga diatur oleh UU ITE. Ini diatur dalam pasal 27 dan pasal 45. Pasal ini mengatur pencemaran nama baik di dunia internet.
Jika pencemaran nama baik tidak dilawan, publik bisa meyakini berita bohong itu sebagai kebenaran. 
Tapi perlukah menerpakan UU Terorisme untuk memberantas Hoax? Jawabnya tentu tak perlu. Tak semua hoax harus diberantas. Hoax yang harus diberantas hanya yang bernuansa kriminal. Undang undang yang mengatur kriminalitas bercampur hoax itu sudah ada pula.
Yang dibutuhkan bukan UU Terorisme tapi eksekusi yang lebih tegas dan massif kepada siapapun penyebar hoax bernuansa kriminal.
Perlawanan Jokowi pun perlu dipahami dalam politik elektoral. Di tahun 2014, dalam pemilu presiden juga, Jokowi nyaris dikalahkan. Salah satunya karena massifnya  fitnah atas Jokowi ke rumah rumah.
Di 2014, Jokowi pun sempat unggul 20 persen. Karena massifnya Hoax yang fitnah itu, selisih kemenangannya sempat menipis hingga 0.5 persen saja. Saat itu, LSI Denny JA pun tak pasti siapa yang akan menang.
Semua kisah pilpres 2014 seperti yang terekam dalam survei LSI Denny JA bisa dilacak pada Om Google. Dengan terapi khusus, Jokowi akhirnya memenangkan pilpres 2014 dengan selisih hanya 6-7 persen saja.
Youtube masih menyimpan jejak itu. Tim LSI Denny JA keliling ke 7 propinsi terbesar. Masih bisa didengar di Youtube pidato saya (Denny JA) di Jabar, Jateng dan Jatim. Saya memberi pengarahan bagi relawan untuk door to door pada 3 minggu terakhir.
Memori 2014 masih tertanam dalam benak Jokowi dan tim inti. Wajar jika Jokowi tak ingin hal ini terulang. Maka berbeda gayanya dibanding ketika pilpres 2014, kini di pilpres 2019, Jokowi ucapkan itu: “Saya Lawan!”
Di balik ucapan itu, terasa seorang pemimpin yang sudah berpengalaman dengan kasus serupa. Dan kini sang pemimpin mengupayakan terapi preventif!
Ujar penyair Wiji Thukul, hanya satu kata: Lawan! Ujar capres Jokowi; “Tapi mulai hari ini, saya lawan!”
Maka kata “Saya Lawan” dalam spirit Jokowi itu ibarat sekali mendayung tiga pulau terlampaui. 
Di satu sisi, Jokowi menjaga keunggulan elektoralnya, di sisi lain Jokowi menyerukan law enforcement. Dan yang tak kalah penting, Jokowi ikut membersihkan ruang publik kita dari aneka polusi fitnah.
Jelas, seruan untuk melawan dalam spirit Jokowi ini langkah yang cerdas. Ini spirit yang penuh perhitungan. Banyak arahnya. Ibarat makanan, ia empat sehat lima sempurna.***
Denny Januar Ali, atau biasa disapa Denny JA (lahir di Palembang, Sumatra Selatan, 4 Januari 1963; adalah seorang konsultan politik dan tokoh media sosial. 

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Latest Articles