spot_img
BerandaAkademikaMembaca Wajah Keberagamaan di Indonesia, dalam Dinamika Sosial dan Kebangsaan

Membaca Wajah Keberagamaan di Indonesia, dalam Dinamika Sosial dan Kebangsaan

Oleh : Hery Buha Manalu

Agama di Tengah Riuhnya Kehidupan Sosial

Membaca Indonesia sebagai negeri yang berdenyut dengan spiritualitas. Dari Sabang sampai Merauke, hampir setiap aspek kehidupan masyarakat bersinggungan dengan nilai-nilai keagamaan, dari upacara kelahiran hingga kematian, dari musyawarah kampung hingga sidang DPR. Namun, agama di Indonesia tidak hanya hidup dalam ruang ibadahibadah, ia juga berinteraksi secara kompleks dengan politik, ekonomi, budaya, dan teknologi. Di sinilah sosiologi agama menemukan ruang pentingnya yang memahami bagaimana agama menjadi bagian dari kehidupan sosial, bukan sekadar sistem kepercayaan pribadi.

Sosiologi agama berupaya membaca realitas ini secara ilmiah, bukan untuk menilai benar atau salahnya suatu keyakinan, melainkan untuk memahami bagaimana agama membentuk pola pikir, perilaku, dan struktur masyarakat. Di Indonesia, studi ini menarik karena agama bukan hanya urusan individu, melainkan juga urusan publik dan negara. Ia diakui secara konstitusional, diatur dalam kebijakan, dan mempengaruhi relasi sosial antarwarga.

Membaca Wajah Keberagamaan di Indonesia, Studi Kasus Sosiologi Agama dalam Dinamika Sosial dan Kebangsaan

Coffee banner ads with 3d illustratin latte and woodcut style decorations on kraft paper background

Salah satu studi penting dalam sosiologi agama di Indonesia adalah tentang agama sebagai identitas sosial. Membaca dalam banyak kasus, agama bukan hanya soal relasi manusia dengan Tuhan, tetapi juga penanda siapa “kita” dan siapa “mereka.” Misalnya, di beberapa daerah, agama masih menjadi faktor kuat dalam menentukan pernikahan, pertemanan, bahkan pilihan politik.

Contohnya terlihat pada fenomena politik identitas yang menguat dalam satu dekade terakhir. Di Pilkada DKI Jakarta 2017, agama menjadi variabel dominan yang membentuk perilaku memilih. Kampanye politik menggunakan simbol-simbol keagamaan untuk memperkuat solidaritas kelompok, namun di sisi lain menimbulkan polarisasi sosial. Dari perspektif sosiologi agama, peristiwa ini menunjukkan bagaimana agama dapat berubah fungsi, dari sumber etika publik menjadi alat mobilisasi sosial.

Membaca Indonesia di tingkat lokal, studi lapangan di Jawa Barat dan Sumatera Utara menunjukkan bahwa agama sering dijadikan dasar legitimasi dalam membentuk solidaritas komunitas. Misalnya, munculnya kelompok pengajian, persekutuan doa, atau komunitas lintas iman yang berfungsi ganda yang memperkuat iman sekaligus memperkuat jaringan sosial. Dengan kata lain, agama bukan hanya “iman yang dihayati”, tetapi juga “identitas yang dijalani.”

Agama dan Konflik Sosial, Belajar dari Ambon dan Poso

Membaca Indonesia yang juga punya sejarah kelam tentang bagaimana agama bisa terseret dalam pusaran konflik sosial. Konflik Ambon (1999–2002) dan konflik Poso (1998–2001) sering dipahami sebagai konflik agama, padahal studi sosiologi menunjukkan akar masalahnya jauh lebih kompleks.

Penelitian lapangan oleh sosiolog Indonesia seperti Ihsan Ali-Fauzi dan Gerry van Klinken memperlihatkan bahwa konflik tersebut awalnya dipicu oleh ketimpangan ekonomi, kesenjangan politik, dan lemahnya institusi sosial. Namun, ketika isu-isu tersebut menyentuh identitas agama, eskalasi konflik meningkat. Simbol-simbol keagamaan kemudian menjadi alat untuk membenarkan kekerasan, memperkuat batas sosial antara “umat kami” dan “umat mereka.”

Menariknya, penyelesaian konflik juga melibatkan peran besar lembaga keagamaan. Misalnya, Forum Kerjasama Umat Beragama (FKUB) di Ambon menjadi sarana penting dalam membangun kembali kepercayaan antarumat. Pendekatan sosiologi agama menilai bahwa perdamaian di Indonesia bukan hanya soal rekonsiliasi politik, tetapi juga rekonsiliasi religius yang menyentuh ranah moral dan spiritual masyarakat.

Sosiologi agama di Indonesia juga menyoroti hubungan antara agama dan ekonomi. Fenomena “ekonomi syariah” dan “ekonomi berbasis gereja” menjadi dua contoh menarik. Di satu sisi, munculnya bank syariah, wisata halal, dan fashion muslim memperlihatkan bagaimana nilai-nilai agama diintegrasikan ke dalam sistem ekonomi modern. Di sisi lain, gereja-gereja di perkotaan juga mulai mengembangkan entrepreneurship berbasis iman, misalnya dengan pelatihan bisnis rohani dan koperasi jemaat.

Membaca fenomena ini menunjukkan bahwa agama tidak bertentangan dengan kapitalisme; justru beradaptasi dengannya. Namun, sosiologi agama mengingatkan bahwa ketika spiritualitas dijadikan komoditas, muncul risiko “komersialisasi iman.” Di beberapa gereja besar, misalnya, ibadah bisa berubah menjadi pertunjukan megah dengan biaya tinggi, yang secara sosial menyingkirkan kelompok miskin.

Sebaliknya, di pedesaan dan komunitas kecil, muncul bentuk ekonomi religius yang lebih humanis, seperti koperasi umat, usaha tani gerejawi, atau zakat produktif, yang menekankan solidaritas sosial. Dalam konteks ini, agama berperan sebagai kekuatan etis yang menuntun ekonomi agar tetap berakar pada nilai kemanusiaan.

Agama dan Perubahan Sosial, Generasi Muda dan Digitalisasi Iman

Transformasi digital membuka babak baru dalam studi sosiologi agama di Indonesia. Generasi muda kini berinteraksi dengan agama lewat media sosial, YouTube, dan podcast rohani. Di platform digital ini, agama tidak lagi dimonopoli oleh lembaga resmi,siapa pun bisa menjadi “pendakwah,” “influencer rohani,” atau “guru spiritual.”

Membaca Fenomena ini dan menarik untuk dikaji karena menghadirkan demokratisasi agama, sekaligus potensi banjir informasi rohani yang tidak selalu sehat. Misalnya, munculnya ustaz atau pendeta instan yang lebih menonjolkan gaya daripada kedalaman teologi. Namun di sisi lain, ruang digital juga melahirkan gerakan spiritualitas baru yang inklusif, seperti komunitas lintas iman di Instagram, atau gerakan “anak muda beriman tanpa benci.”

Bagi sosiologi agama, realitas ini menandai pergeseran locus religius dari ruang institusional ke ruang virtual. Agama kini menjadi bagian dari budaya pop, di mana makna iman dirundingkan ulang secara kreatif oleh generasi muda.

Agama dan Toleransi, Studi Kasus di Yogyakarta dan Bali

Membaca dalam konteks sosial Indonesia yang plural, sosiologi agama juga mengkaji bagaimana toleransi diwujudkan di tingkat lokal. Dua daerah yang menarik untuk dikaji adalah Yogyakarta dan Bali.

Di Yogyakarta, misalnya, tradisi “guyub rukun” menjadi landasan sosial bagi harmoni antaragama. Studi lapangan oleh Universitas Gadjah Mada menunjukkan bahwa hubungan antarumat di kota ini tidak dibangun atas dasar doktrin, melainkan pada etika sosial sehari-hari, seperti saling bantu saat ada hajatan, bencana, atau kegiatan sosial.

Sementara di Bali, pluralitas tidak sekadar hidup berdampingan, tetapi berinteraksi secara kultural. Upacara adat Hindu bisa dihadiri umat Kristen atau Muslim tanpa mempersoalkan teologi. Dari perspektif sosiologi agama, inilah bentuk toleransi organik, yang lahir dari kesadaran budaya, bukan hanya kebijakan negara.

Refleksi, Apa yang Diajarkan Kasus-Kasus Ini?

Dari berbagai studi kasus di atas, ada beberapa hal membaca pelajaran penting bagi sosiologi agama di Indonesia. Pertama, agama adalah kekuatan sosial yang ambivalen, ia bisa menjadi sumber perdamaian sekaligus potensi konflik, tergantung pada bagaimana ia dihayati dan dimobilisasi. Kedua, agama di Indonesia bersifat publik, artinya kehadirannya tidak bisa dilepaskan dari urusan negara, politik, dan ekonomi. Ketiga, agama terus bertransformasi seiring perubahan sosial, terutama di era digital dan globalisasi.

Dengan demikian, mempelajari agama secara sosiologis bukan berarti menurunkan kesuciannya, melainkan memahami dinamika sosial di balik keyakinan yang dihayati. Seperti yang dikatakan Peter L. Berger, “agama adalah upaya manusia untuk menciptakan makna di dunia yang kacau.” Dalam konteks Indonesia, upaya ini terus berlangsung dalam dialektika antara tradisi dan modernitas, iman dan rasionalitas, spiritualitas dan realitas sosial.

Membaca hal ini, bahwa Sosiologi agama di Indonesia pada akhirnya mengajak kita untuk melihat agama bukan hanya sebagai sistem kepercayaan, tetapi sebagai kekuatan sosial yang membentuk kehidupan bersama. Dalam masyarakat yang majemuk, studi ini menolong kita memahami bahwa perbedaan iman tidak harus berujung pada perpecahan, melainkan bisa menjadi sumber kebijaksanaan sosial.

Melalui pendekatan sosiologis, agama dapat dibaca sebagai ruang pembentukan etika publik, tempat manusia belajar menghargai perbedaan, memperjuangkan keadilan, dan merawat kemanusiaan. Di tengah dunia yang semakin terfragmentasi oleh identitas, sosiologi agama memberi kita harapan, bahwa iman, bila dibaca dan dihayati dengan benar, dapat menjadi jembatan yang menyatukan, bukan tembok yang memisahkan. (Red/*)

Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini