Oleh : Hery Buha Manalu
Dalam konteks kehidupan sosial keagamaan yang kian kompleks di Indonesia, pendidikan tidak lagi cukup hanya menekankan kecerdasan intelektual atau kemampuan akademik semata. Ia juga harus mampu melahirkan generasi yang memiliki karakter inklusif, toleran, dan sadar akan realitas pluralisme. Di sinilah urgensi Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) hadir sebagai tawaran strategis yang sangat relevan dalam pendekatan Sosiologi Agama, sebuah bidang yang membaca agama sebagai kekuatan sosial yang membentuk relasi antarmanusia dalam masyarakat.
Langkah konkret ke arah tersebut baru-baru ini diwujudkan oleh Institut Leimena yang berkolaborasi dengan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) dan Kementerian Agama (Kemenag). Dalam sebuah temu wicara nasional yang digelar pada 14–16 Mei 2025, para pemangku kepentingan dari sembilan sekolah dan lima perguruan tinggi berkumpul untuk menyusun langkah integratif, yaitu memasukkan LKLB ke dalam Kurikulum Cinta, 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat, dan pendekatan pembelajaran mendalam (deep learning).

Apa sebenarnya makna dari LKLB dalam perspektif sosiologi agama? LKLB bukan sekadar memperkenalkan agama-agama lain dalam ruang kelas, tetapi lebih dalam dari itu, ia mendorong peserta didik untuk mengembangkan kesadaran sosial-keagamaan, membangun rasa saling menghormati, serta menumbuhkan etika perjumpaan dengan yang berbeda. Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, pendekatan ini bukan hanya penting, tetapi mendesak untuk menciptakan ruang sosial yang harmonis dan mencegah polarisasi berbasis identitas.
Temu wicara tersebut menghadirkan pemikir lintas bidang seperti Dr. Farid F. Saenong (Kemenag), Prof. Dr. Nyayu Khadijah (Direktur KSKK Madrasah), Arif Jamali Muis (Kemendikdasmen), serta tokoh dari BPIP, Dewan Gereja Dunia, dan Yayasan Pendidikan Kristen dari Ambon. Kehadiran para akademisi dari IAIN, IAKN, UIN, dan universitas Islam lainnya memperkuat wacana bahwa LKLB adalah pendekatan bersama lintas iman dan lintas institusi.
Pendidikan dalam Kerangka Interkulturalisme
Sosiologi agama mengajarkan kita bahwa agama adalah kekuatan sosial yang membentuk sistem nilai dan identitas kolektif. Ketika agama dijadikan sumber konflik, maka pendidikan harus tampil sebagai ruang rekonstruksi kesadaran baru: bahwa agama hadir untuk menyatukan, bukan memecah. Dalam konteks inilah, kurikulum yang menanamkan cinta dan kebiasaan baik, serta dilandasi pemahaman lintas budaya dan agama, menjadi kebutuhan esensial.
LKLB memperkaya pembelajaran dengan dimensi sosial dan moral, di mana siswa tidak hanya belajar mengenal agama-agama, tetapi juga diajak berdialog dan belajar dari pengalaman orang lain. Ini adalah upaya membangun modal sosial yang dibutuhkan dalam masyarakat demokratis. Dengan demikian, siswa tidak hanya menjadi cerdas secara kognitif, tetapi juga dewasa secara sosial dan spiritual.
Model Inovatif, Dari Kelas ke Komunitas
Hal menarik dari pertemuan ini adalah tidak hanya membicarakan integrasi LKLB secara intrakurikuler (di dalam kelas), tetapi juga kokurikuler (di luar kelas). Menurut Arif Jamali Muis, kegiatan kokurikuler seperti proyek sosial, dialog antaragama, kunjungan lintas iman, atau studi lapangan, bisa memperkaya pengalaman siswa secara nyata. Di sinilah pendidikan nilai bertemu dengan praktik sosial.
Pimpinan sekolah dan kampus yang hadir juga menyepakati bahwa LKLB harus ditanamkan tidak hanya dalam pengajaran, tetapi juga penelitian dan pengabdian masyarakat. Hal ini memberi ruang bagi transformasi pendidikan menjadi lebih berdampak ke komunitas. Buku-buku panduan dan model implementasi juga dirancang sebagai hasil kolaborasi antarsekolah dan kampus yang hadir.
Membangun Masa Depan Bangsa dari Ruang Kelas
Sosiologi agama meyakini bahwa pendidikan yang sadar pluralitas adalah fondasi peradaban. Seperti disampaikan Dr. Farid Saenong, Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) yang tengah dikembangkan Kemenag dapat berjalan seiring dengan LKLB, menciptakan pendekatan pembelajaran yang utuh secara hati, pikiran, dan tindakan.
Matius Ho, Direktur Eksekutif Institut Leimena, menegaskan bahwa program ini memerlukan komitmen jangka panjang. Ia menyebut LKLB sebagai bentuk nyata kontribusi pendidikan bagi pembentukan masyarakat yang lebih sehat, adil, dan bersatu. “Membangun rasa saling percaya bukanlah pekerjaan instan. Tetapi kalau dikerjakan bersama, ia akan menghasilkan perubahan jangka panjang bagi bangsa ini,” ujarnya.
Temu wicara ini adalah permulaan. Masih ada Temu Wicara II pada akhir Juli 2025 yang akan memperluas implementasi LKLB ke lebih banyak institusi. Harapannya, ini bukan hanya menjadi proyek elit akademik, tetapi benar-benar turun ke ruang-ruang kelas dan komunitas, menjadi arus utama dalam sistem pendidikan nasional kita.
Pendidikan sebagai Jalan Damai
LKLB adalah cermin dari semangat Pancasila dan amanat konstitusi yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, keadilan, dan persatuan. Jika kita ingin membangun Indonesia yang damai dan kuat dalam keberagaman, maka pendidikan lintas budaya dan agama adalah jalan strategis dan bermartabat.
Dalam kerangka sosiologi agama, kita diajak menyadari bahwa agama bukan hanya ruang ibadah, tetapi juga ruang sosial. Dan pendidikan adalah instrumen utama untuk merawat ruang sosial itu agar tetap damai. Melalui LKLB, semoga anak-anak kita tidak hanya mengenal agamanya sendiri, tetapi juga tumbuh dengan hati yang terbuka, pikiran yang kritis, dan semangat yang menghargai sesama manusia. Dari ruang kelas, kita menanam benih masa depan Indonesia yang damai dan bersatu.



