Selasa, Februari 18, 2025
spot_img

Membangun Sumut Berbasis Sosial Budaya

Thomson Hutasoit
Foto : Ist
Editor : Hery B Manalu
Oleh: Drs. Thomson Hutasoit.
Kopi-times.com-Daerah Provinsi Sumatera Utara merupakan miniatur Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang terdiri dari aneka ragam suku (etnik), agama, ras, dan antargolongan (SARA) hidup berdampingan dalam harmoni persaudaraan sesama anak Ibu Pertiwi Indonesia. Perbedaan, keragaman, kemajemukan atau kebhinnekaan sesungguhnya tak pernah dipermasalahkan dilapisan masyarakat dalam hubungan interaksi antar sesama. Karena itulah Provinsi Sumatera Utara (Sumut) salah satu barometer kerukunan umat beragama serta role model Bhinneka Tunggal Ika di republik ini.
Hidup rukun bertetangga dengan beda suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) tak pernah dipermasalahkan atau dipertentangkan karena hubungan asimilasi perkawinan dan asimilasi kebudayaan bukan lagi hal asing bagi masyarakat Sumatera Utara. Saling menghormati, saling menghargai antar sesama menjadikan hubungan silaturahmi sangat harmonis diatas kebhinnekaan Indonesia.
Sebagaimana diketahui, Sumatera Utara didiami sembilan (9) suku atau etnik asli antara lain; Melayu, Karo, Pakpak, Simalungun, Batak Toba, Angkola, Mandailing, Pesisir, Nias. Dan etnik pendatang antara lain; Aceh, Minangkabau, Jawa, Bugis, Ambon, Tionghoa, India, dll.
Oleh karena itu, perlu selalu dijaga kerukunan dan keharmonisan antar etnik karena sangat rentan terjadi konflik antar suku, agama, ras, bahasa dan adat-istiadat yang berbeda satu sama lain, yang akhirnya akan berdampak kepada stabilitas keamanan tidak kondusif dan dapat menghambat laju pembangunan di Sumatera Utara. (Prof. DR. Ir. Sukaria Sinulingga, M.Eng, dkk, 2004).
Di era pemerintahan Otonomi Daerah, Pemerintahan Daerah harus menyadari komprehensif paripurna pembangunan berbasis pada partisipasi masyarakat dilihat dari sudut pandang sosial budaya sebenarnya sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia.
Kerjasama saling menguntungkan, gotong-royong merupakan bentuk-bentuk partisipasi yang sudah menjadi bagian tradisi dalam masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan ekonomi menjadi penting pada jaman otonomi daerah, dengan alasan antara lain; Pertama, karena tugas pembangunan ekonomi lebih banyak dibebankan kepada Daerah Otonom, khususnya Kabupaten dan Kota, dan Pemerintah Daerah.
Keberhasilan pembangunan ekonomi Indonesia secara nasional, merupakan penjumlahan dari keberhasilan pembangunan ekonomi di setiap daerah. Artinya, setiap kegagalan pembangunan ekonomi di daerah, menjadi faktor pengurang dari keberhasilan. Kedua, model pembangunan ekonomi yang relatif paling sesuai untuk kondisi saat ini adalah pembangunan ekonomi yang berbasis partisipasi masyarakat. (Suprapto & Rob van Raaij, 2007).
Pemerintah daerah (gubernur, bupati/walikota) sepertinya “gagal” memahami tujuan otonomi daerah. Buktinya, gubernur, bupati/walikota masih cenderung mengelola pemerintahan daerah model Top-Down alias memaksakan kehendak kepada masyarakat daerah.
Otonomi daerah yang bertujuan mendorong partisipasi masyarakat atau model Bottom-Up telah menimbulkan masalah bagi pemerintah daerah telah mendarah daging memposisikan diri penguasa atau Pangreh Praja (Dihormati, diagungkan, dilayani) selama ini.
Para pemangku kekuasaan belum menyadari paripurna perubahan paradigma dari Pangreh Praja ke Pamong Praja yaitu Pelayan atau Parhobas terhadap rakyat pemegang kedaulatan di negeri ini. Kekeliruan besar serta sesat pikir inilah memantik gesekan, benturan, serta kegaduhan akibat narasi tak sesuai kondisi sosial adat budaya masyarakat kawasan Kaldera Toba seperti terjadi akhir-akhir ini.
Pemerintah Daerah harus mengerti, memahami komprehensif paripurna kondisi sosial budaya, adat-istiadat masyarakat agar lebih hati-hati mengeluarkan narasi sensitif yang dapat memicu polemik atau polarisasi ditengah kerukunan kemajemukan masyarakat. Alangkah arif bijaksana hal-hal berpotensi menimbulkan perdebatan tak produktif tidak dimunculkan di ruang publik.
Kepala daerah (gubernur, bupati/walikota) harus mampu mengetahui, memahami suasana kebatinan sosial budaya, adat-istiadat tumbuh berkembang, dihormati, dihargai, dijunjung tinggi sebagai pranata sosial ditengah kehidupan bermasyarakat di daerah setempat. Sebab, muara seluruh kebijakan pemerintahan daerah tidak lain dan tidak bukan adalah peningkatan kemakmuran, kesejahteraan dan kebahagiaan itu sendiri.
Kemajuan pembangunan suatu daerah tidak terlepas dari partisipasi riil masyarakat. Sebab, pemerintah memegang peran fasilitator, dinamisator melalui kebijakan dan legalitas cerdas dan jenial membuka ruang partisipasi masyarakat dalam pembangunan seluas-luasnya.
Pendekatan budaya (culture approach) adalah suatu model kepemimpinan paling jitu dan ampuh untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Karena model ini menyentuh langsung ke sendi-sendi kehidupan masyarakat secara sosial budaya, adat-istiadat dijunjung tinggi sehari-hari.
Karakter musyawarah-mufakat, gotong-royong rakyat Nusantara terlahir dari interaksi sosial budaya, adat-istiadat warisan leluhur hingga kini tetap dipertahankan, dirawat dan dilestarikan ditengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Oleh sebab itu, membangun Sumatera Utara tidak boleh sekali-sekali mengabaikan pendekatan sosial budaya, adat-istiadat agar hasil pembangunan tidak bias atau tidak menyimpang dari tujuan hakiki mewujudkan kemakmuran, kesejahteraan, kebahagiaan secara berkeadilan.
Pemimpin arif bijaksana mampu menangkap getar denyut jantung rakyatnya.(***)
Thomson Hs, Penulis dan Sutradara, Aktif dan menghidupkan kembali Opera Batak, Direktur Artistik PLOt (Pusat Latihan Opera Batak)

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Latest Articles