spot_img
BerandaSuara Anak NegeriMenanam untuk Bertahan, Urban Farming sebagai Akr Budaya Baru Warga Kota

Menanam untuk Bertahan, Urban Farming sebagai Akr Budaya Baru Warga Kota

 

Kopi Times – Menanam untuk bertahan di tengah arus kota yang deras, penuh gedung, aspal, dan rutinitas cepat, ada satu gerakan sunyi yang sedang berakarkota, urban farming. Ia tak meledak seperti revolusi industri atau tampil mencolok seperti gentrifikasi, tapi ia menembus dari dalam, dari dapur, dari pekarangan kecil, dari balkon sempit. Dan diam-diam, ia sedang membentuk akar budaya baru warga kota.

Dalam beberapa tahun terakhir, saya sering mendapati warga kota yang bukan petani, tapi fasih menyebut jenis tanah, meracik kompos, dan menunggu waktu panen. Dulu, menanam itu dianggap kampungan. Kini, itu adalah bentuk kecerdasan baru, bukan hanya,ekologis, tapi juga sosial dan kultural.

Kota yang Tak Lagi Asing dengan Tanah

Kota selama ini dibangun dengan satu asumsi, manusia harus dipisahkan dari tanah. Semakin jauh dari lumpur dan menanam, semakin maju. Tapi logika itu perlahan runtuh. Krisis pangan, krisis iklim, dan isolasi sosial membuat kita merindukan akar. Dan tanah, dalam bentuk sekecil apapun, menjadi jalan pulang.

Coffee banner ads with 3d illustratin latte and woodcut style decorations on kraft paper background

Urban farming hadir kembali untuk menam, bukan sebagai bentuk nostalgia, tapi strategi masa depan. Ia membuat kota tak lagi asing dengan tanah. Anak-anak kembali mengenal cara menanam, remaja belajar bahwa sayur tak tumbuh di supermarket, dan orang dewasa kembali bersentuhan dengan proses hidup yang sesungguhnya: tumbuh dan merawat.

Dari Individualisme ke Kebersamaan

Kehidupan urban modern sangat individualistik. Tapi urban farming mengubah itu. Ia mendorong orang untuk berbagi benih, bertukar ilmu, saling menyiram tanaman tetangga saat mudik, bahkan membuat panen bersama.

Dari situ tumbuh bentuk kebersamaan baru yang tak didesain oleh birokrasi atau proyek pemerintah, tapi muncul organik dari rasa ingin hidup lebih bermakna. Di kota-kota besar seperti Medan, komunitas menansam dan urban farming sudah menjadi ruang budaya baru: tempat berkumpulnya warga lintas generasi dan profesi, yang terhubung bukan karena algoritma, tapi karena akar dan daun.

Budaya Baru, Hidup Lambat, Penuh Makna

Urban farming melawan budaya “instan” yang selama ini menjadi arus utama kota. Ia memaksa orang untuk sabar, menunggu, dan terlibat langsung. Tanaman tak bisa disuruh cepat, ia tumbuh menurut musim dan perawatan. Ini menciptakan budaya hidup lambat (slow living), bukan dalam arti malas, tapi menyadari waktu dan proses.

Di sinilah letak kekuatan budaya urban farming, ia menghidupkan kembali nilai-nilai lama seperti kesabaran, ketekunan, dan rasa cukup, nilai yang dulu sangat akrab di kampung-kampung, kini tumbuh di atap kos, balkon apartemen, dan gang sempit.

Dari Aksi Ekologis ke Gerakan Budaya

Seringkali urban farming hanya dilihat sebagai aksi lingkungan: mengurangi karbon, menjaga ketahanan pangan. Tapi sebenarnya, ia lebih dari itu. Ia adalah gerakan budaya yang mendobrak cara hidup lama, dan menanam cara hidup baru.

Cara kita memperlakukan tanah, air, dan pangan mencerminkan siapa kita. Maka, saat warga kota mulai menanam, itu bukan sekadar tindakan ekologis, tapi pernyataan budaya, bahwa kita ingin hidup lebih manusiawi, lebih terhubung, lebih lestari.

Warisan Baru untuk Kota yang Beradab

Apa warisan budaya kota yang ingin kita tinggalkan untuk generasi berikutnya? Gedung-gedung tinggi? Mall yang berganti setiap 5 tahun? Atau ruang-ruang hijau kecil yang dirawat bersama, yang menjadi sumber pangan, udara, dan interaksi sosial?

Urban farming menawarkan jawaban yang membumi. Ia bukan hanya solusi untuk hari ini, tapi warisan untuk masa depan. Di tengah segala keterbatasan kota, urban farming menunjukkan bahwa kita masih bisa hidup dengan nilai, dengan komunitas, dan dengan harapan.

Akar yang Kuat di Tengah Gemuruh Kota

Melihat geliat kota dari dekat, saya percaya bahwa urban farming adalah gerakan budaya yang tak bisa lagi diabaikan. Ia tumbuh diam-diam, tapi akar budayanya semakin dalam. Ia tak menunggu izin, tak menanti anggaran, tapi hidup dari semangat warga kota yang ingin kembali menyatu dengan alam, meski hanya dari pot kecil di pojok rumah.

Karena pada akhirnya, budaya bukanlah bangunan megah atau simbol formal. Budaya adalah cara kita hidup, merawat, dan berharap. Dan di tengah kota yang hiruk-pikuk, urban farming adalah akar kecil yang sedang menyelamatkan kemanusiaan kita. (Hery Buha Manalu)

Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini