Oleh : Yosafat Silitonga, Ketua Pusaka (Pusat Study Alam, Kebudayaan dan Kebangsaan untuk Indonesia)
Menanamkan nilai urban farming di tengah dinamika urbanisasi yang kian cepat. Generasi muda kota Medan menghadapi tantangan ganda, yaitu alienasi sosial dan krisis lingkungan. Keterasingan antar individu, tekanan akademik dan ekonomi, minimnya ruang publik yang sehat, serta makin sempitnya akses terhadap alam, membuat banyak anak muda merasa kehilangan keterhubungan dengan lingkungan komunitasnya. Namun, justru di tengah situasi itu, muncul benih-benih harapan yang tumbuh dari aktivitas sederhana namun penuh makna, urban farming.
Di tangan generasi muda, urban farming  tidak hanya menjadi solusi praktis bercocok tanam, tapi juga gerakan sosial yang menyemai nilai, solidaritas, dan transformasi gaya hidup kota.
Kota Medan sebagai pusat pendidikan tinggi di Sumatera Utara memiliki potensi besar dalam menggerakkan mahasiswa dan generasi muda sebagai motor perubahan. Potensi mahasiswa dari berbagai kampus seperti Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Negeri Medan (Unimed), dan Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU), adalah kelompok yang secara intelektual dan sosial sangat mendukung untuk menjadi pelopor gerakan urban farming. Mereka punya energi, kreativitas, akses digital, dan kesadaran akan isu-isu global seperti perubahan iklim, ketahanan pangan, dan keadilan sosial.
Urban farming dalam konteks ini bukan semata tentang menanam kangkung atau merawat pot tomat di kos-kosan, melainkan tentang menumbuhkan kesadaran kritis dan membangun ruang kolaboratif yang inklusif. Ketika mahasiswa mulai menanam di halaman kampus, atap asrama, atau taman komunitas, mereka sedang mengembalikan hubungan yang sempat tercerabut antara manusia, tanah, dan solidaritas sosial. Aktivitas ini menjadi jembatan antara pengetahuan di ruang kelas dengan praktik nyata di masyarakat.
Berbagai komunitas muda di Medan telah mulai bergerak ke arah ini. Urban farming bisa menjadi wadah ekspresi, edukasi, dan advokasi. Sebuah langkah positif dalam ekologis dan budaya menanam. Membudayakan bakti sosial pangan murah, hingga membangun koneksi lintas kampus dan komunitas. Urban farming berubah menjadi medium solidaritas yang hidup, di mana mahasiswa, warga, dan aktivis bisa bekerja bersama dalam proyek hijau yang konkret.
Menurut Yosafat, generasi muda Medan, urban farming juga dapat menjadi platform kewirausahaan sosial. Di tengah tantangan lapangan kerja yang terbatas dan tingginya angka pengangguran muda, bertani di kota dapat menjadi model ekonomi mikro yang inovatif. Dari produksi sayuran hidroponik skala rumahan, pupuk organik hasil olahan limbah, hingga jasa desain kebun vertikal, semua bisa menjadi peluang usaha ramah lingkungan yang dikembangkan oleh anak muda. Lebih dari sekadar cuan, model ini mengusung nilai ekonomi berkelanjutan dan keberpihakan pada lingkungan.
Urban farming juga mendorong transformasi gaya hidup. Mahasiswa yang terbiasa dengan pola konsumsi cepat dan instan, perlahan belajar tentang pentingnya makanan sehat, siklus hidup alam, serta tanggung jawab ekologis. Mereka menjadi agen perubahan di lingkungannya, baik di rumah, kampus, maupun dunia digital. Media sosial menjadi ruang penting di mana generasi muda membagikan proses bertanam, kiat sukses panen, atau pesan-pesan edukatif seputar gaya hidup hijau. Narasi hijau ini tumbuh dengan pendekatan kreatif, ringan, dan inspiratif, sesuai dengan karakter generasi digital.
Tentu, untuk memperluas gerakan ini, dibutuhkan dukungan kebijakan dari institusi pendidikan dan pemerintah kota. Kampus bisa menjadi laboratorium terbuka bagi urban farming dengan menyediakan lahan, fasilitas dasar, dan integrasi kurikulum. Pemerintah Kota Medan dapat mendukung dengan memfasilitasi pelatihan, memberikan insentif modal usaha pertanian perkotaan, serta menghubungkan komunitas mahasiswa dengan petani lokal dalam jejaring pangan kota yang adil dan berkelanjutan.
Pada akhirnya, urban farming bagi generasi muda Medan adalah lebih dari aktivitas bercocok tanam, ia adalah tindakan politik, sosial, dan ekologis. Sebuah bentuk kepedulian nyata atas kota yang ditinggali, masa depan yang diwarisi, dan nilai hidup yang ingin diperjuangkan. Ia menggabungkan pengetahuan, solidaritas, kreativitas, dan aksi nyata dalam satu gerakan yang tumbuh dari bawah.
Di tengah kota yang bising dan keras, urban farming menjadi tempat hening, tempat bertumbuh, dan tempat menyambung harapan. Generasi muda Medan sedang menanam sesuatu yang lebih besar dari sayur mayur, mereka sedang menanam nilai-nilai kehidupan, solidaritas antarwarga, dan akar-akar peradaban kota yang lebih manusiawi. Dan dari situ, kota ini akan memanen masa depan yang lebih hijau dan beradab. (Hery Buha Manalu)