spot_img
BerandaAkademikaMenelusur Jejak Sisingamangaraja I, Situs Bakara Temuan Tiga Kerangka dan Potensinya

Menelusur Jejak Sisingamangaraja I, Situs Bakara Temuan Tiga Kerangka dan Potensinya

 

IMG 20210826 140716


Foto : Ist


Kopi Times | Bakara : 

Catatan Penggalian Hari Kedua. Dari sumber warga, konon Huta Ginjang di Desa Sinambela, Bakara, Humbang Hasundutan, merupakan salah satu desa tua yang mungkin terkait dengan Dinasti Sisingamangaraja. Arti terkait di sini tentu bukan soal kuasa menguasai. Arti terkait di sini lebih pada hubungan genealogis Raja Sisingamangaraja, khususnya dinasti yang pertama. 


Sebagaimana diketahui, Raja Sisingamangaraja I, yaitu Raja Manghuntal, merupakan cucu Sinambela (nama yang kemudian menjadi marga) dari Bona Ni Onan. Bona Ni Onan adalah ayah dari Raja Manghuntal (Sisingamangaraja I). Bona Ni Onan merupakan adik dari Raja Pareme. Salah satu anak Raja Pareme adalah Ompu Humutur. Artinya, Ompu Humutur selevel dengan Sisingamangaraja I.


Nah, kami menggali di kampung bukaan Ompu Humutur. Kiranya, dengan mengetahui jejak Ompu Humutur diharapkan dapat mengetahui pula jejak Raja Sisingamangaraja I. Sebab, untuk mencari jejak seseorang, kita bisa mencarinya dari jejak orang di masanya, terutama kerabat di masanya. Ompu Humutur adalah kerabat dekat Raja Sisingamangaraja I. Sebagai kerabat, sangat mungkin SM Raja I berkunjung ke kampung Ompu Humutur di Huta Ginjang, Desa Sinambela.


Pada penggalian hari pertama,  diceritakan pada esai sebelumnya, di spid pertama kami menemukan pecahan genteng. Di spid kedua, di satu titik, tepat di bawah rumah yang sudah tua dan sangat lama ditinggalkan, kami menemukan gerabah, pecahan tulang binatang, juga sebuah gigi yang menyerupai gigi manusia.


Hari kedua, penggalian dilanjutkan di tiga titik yang dibuka sebelumnya. Titik pertama dinamai BKR-1. Titik ini berada satu tingkat di atas dua titik lainnya (BKR-2 & BKR-3. Konon, titik pertama (BKR-1) adalah perluasan kampung yang biasanya didiami oleh boru dari pemilik kampung. 


Sementara itu, dua titik lainnya (BKR-2 & BKR-3) berada di kampung inti, tepat di bawah perluasan kampung tadi. Temuan menarik ada pada kampung inti ini. Luasan galian untuk masing-masing titik di kampung inti adalah 1×2 meter. Satu galian tepat di bawah rumah, satu galian lagi mengarah dapur.


Rumah ini konon sudah sangat lama. Jika benar, perkampungan ini bahkan sudah dibuka oleh kerabat selevel Raja Manghuntal (SM Raja I). Rumah di daerah penggalian itu adalah rumah paling akhir ditinggalkan, yaitu di awal tahun 2000-an. Yang sangat menarik, mantan penghuni rumah itu juga ikut menggali di sana. Semua tenlok (tenaga lokal) sangat antusias untuk menggali.


Nah, pada spid ketiga di BKR-2 dan BKR-3 mulai ditemukan menyerupai kerangka manusia. Semakin digali dengan lembut karena pakem penggalian memang harus lembut, bahkan memakai kuas, kerangka manusia itu semakin terlihat. Ada paling tidak terindifikasi 3 individu kerangka manusia. Posisi kerangka itu termasuk acak. 


Arti acak di sini adalah karena satu kepala mengarah timur, satu juga mengarah barat, satu juga mengarah barat daya. Pertanyaan saya sebagai kaum awam lantas timbul: apakah ini akibat perang paderi (masa SM Raja 10, sekitar 9 generasi setelah Ompu Humutur) atau memang ada pada suatu masa kematian massal karena wabah penyakit, seperti Sampar?


Tentu saja, hasilnya nanti tergantung laboratorium. Dan, kerangka ini tentu saja adalah milik kerabat. Hanya saja, tenlok yang pernah mendiami rumah itu pun terkejut. Ia tak tahu dan juga tak diberi tahu bahwa ada “makam” di sana. Saya dan tiga orang teman lainnya turun ke bawah.


Kami mengopi sebentar. Tujuan kami sebenarnya adalah juga menghimpun informasi terkait kerangka itu. Namun, tak satu pun yang mengetahui. Jika pada akhirnya tak satu pun yang mengetahui, maka kerangka tersebut sudah jauh sebelumnya, sudah berumur tua.


Walau begitu, bagi orang Batak, ada macam macam jenis kematian. Orang Batak sangat benci pada kematian tak wajar atau sial. Bisa berupa wanita hamil yang meninggal, wanita melahirkan yang meninggal, bayi atau kanak yang meninggal. Mereka ini biasanya dalam tanda kutip dimakamkan sembunyi-sembunyi.


Arti sembunyi tentu saja bukan benar-benar sembunyi. Pasti, kerabat juga tahu. Namun, teknis sembunyi sembunyi di sini adalah orang yang meninggal tersebut dibawa ke luar untuk dimakamkan tanpa melewati pintu. Biasanya, papan sebagai lantai rumah dibongkar. Dari sanalah mereka membawa mayat itu untuk dikuburkan tak jauh dari rumah: mungkin tepat di bawah atau di belakang rumah. 


Penggalian masih berlanjut. Titik pun mulai diperluas. Di perluasan kampung, di sekitar BKR-1, di buka titik lain, yaitu BKR-4. Di induk kampung, di samping BKR-2 & BKR-3, dibuka satu titik penggalian lagi, BKR-5. Temuan spid 1 di titik BKR-4 dan BKR-1 cenderung sama. Demikian juga temuan spid 1 di BKR-5 relatif sama dengan titik BKR-2 dan BKR-3.


Apa tujuan penelitian ini? Tentu saja tujuannya bukan untuk mengorek tanah dan mendapatkan benda. Itu pekerjaan petambang dan kami bukan petambang. Tetap, benda temuan itu akan menjadi milik warga, terutama menyangkut kerangka manusia. Hanya saja, jika diizinkan untuk diidentifikasi lebih lanjut, temuan-temuan itu bisa diteliti di laboratorium untuk mengetahui minimal DNA, usia, atau sebab meninggal.


Teknologi saat ini sudah canggih. Ia bisa menjadi medium bagi kita untuk merekonstruksi minimal masa silam. Kita berharap melalui penelitian ini dengan konstruksi masa silam dapat menjadi cara baru bagi kita untuk tidak saja mengetahui sedikit tentang masa silam, tetapi bagaimana menjadikannya sebagai sesuatu yang bernilai tambah untuk masyarakat?


Di Toraja, kita tak asing dengan budaya tradisional lawas mereka terkait tengkorak leluhur. Apakah di Bakara, sembari mengingat sejarah, hal identik yang sesuai dengan nilai-nilai kita dapat dilakukan sebagai bentuk dari upaya pertambahan nilai pada suatu objek?


Ini sangat menarik. Jika pemerintah terkait menaruh perhatian, galian informasi ini dapat menjadi salah satu sumber objek wisata sejarah kita. Dan, memang, dalam bahasa ilmiah, judul maraton penelitian ini adalah: “Pengelolaan Kawasan Tinggalan Dinasti SM Raja di Tanah Batak dalam Bingkai Tujuan-Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).


Dengan itu, diharapkan, sumber daya (budaya, alam, manusia, bahkan sejarah) di kawasan tinggalan Dinasti SM Raja dapat dipertahankan atau justru ditingkatkan nilainya sesuai amanat UU RI No.11 tentang Cagar Budaya dan UU No.5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.


Saya kebetulan bertugas juga sebagai pewawancara dengan informan bahkan juga orang yang kebetulan lewat. Dari wawancara itu, saya tahu masyarakat sangat mendukung. Kiranya, pemerintah setempat pun bisa paling depan untuk membantu masyarakat dalam banyak hal.


Ingat, kami ini bukan petambang. Jika petambang menggali untuk kemudian membawa hasil galiannya lalu menjualnya untuk kepentingan sendiri, peneliti tentu berbeda. Katakanlah bukan untuk meluruskan sejarah. Yang pasti, peneliti datang menggali untuk kemudian hasilnya dapat dinaikkan nilainya semata untuk kemaslahatan warga sekitar. (***)

Oleh : Thompson Hs

Editor : Hery Buha Manalu

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini