Oleh : Hery Buha Manalu
Dalam lintasan sejarah pergerakan bangsa, pemuda selalu menjadi suluh yang membuka jalan. Di Tanah Batak, api itu menyala melalui Jong Batak, organisasi pemuda yang berdiri pada 1925 dan menjadi bagian penting dalam proses menuju Sumpah Pemuda 1928. Mereka bukan hanya berkumpul untuk memperjuangkan identitas kedaerahan, tetapi hadir sebagai pelopor komunikasi lintas etnis, dialog kebangsaan, dan kerja sama yang melampaui batas primordial.
Semangat itu hari ini menemukan kembali panggungnya, di sekolah, di kelas, dan dalam pendidikan karakter generasi muda. Melalui pembelajaran soft skill, terutama kemampuan komunikasi berbasis kearifan lokal, kita memiliki peluang besar untuk menghadirkan kembali semangat Jong Batak sebagai inspirasi hidup dan perekat kebangsaan.

Karena sesungguhnya, pendidikan bukan hanya soal kecerdasan akademik, tetapi juga kemampuan menyampaikan pikiran dengan santun, membangun hubungan, berdialog lintas identitas, dan memperjuangkan kebaikan bersama.
Jong Batak, Komunikasi yang Melampaui Perbedaan
Para pendiri Jong Batak berasal dari sub-etnis Batak yang berbeda, Toba, Karo, Mandailing, Simalungun, Angkola, hingga Pakpak. Mereka hidup di masa kolonial, ketika sekat kesukuan bisa saja menjadi jurang pemisah. Namun pemuda-pemuda ini memilih jalan lain: mereka membangun komunikasi yang menyatukan, bukan memisahkan.
Mereka melakukan diskusi, menulis gagasan, menyampaikan pidato, dan menjalin hubungan dengan Jong Java, Jong Minahasa, Jong Ambon, dan organisasi pemuda lain. Dalam forum nasional, mereka mengungkapkan identitasnya dengan bangga, sambil menegaskan bahwa kebangsaan Indonesia adalah rumah bersama.
Inilah pelajaran besar bagi sekolah hari ini:
Identitas lokal harus menjadi sumber kekuatan, bukan alasan perpecahan; dan komunikasi adalah jembatan yang menghubungkan keduanya.
Kearifan Lokal Batak sebagai Landasan Komunikasi Pendidikan
Dalam budaya Batak, sudah tertanam prinsip komunikasi yang luhur dan relevan bagi pendidikan modern:
Kearifan ini menunjukkan bahwa komunikasi dalam budaya Batak bukan sekadar bicara lantang, tetapi bicara bernilai, beretika, dan berorientasi pada kebenaran serta harmoni.
Mengapa Sekolah Perlu Membangkitkan Semangat Jong Batak?
Di era digital saat ini, kemampuan teknis tidak lagi cukup. Siswa membutuhkan soft skill komunikasi untuk:
Membaca situasi sosial dan budaya
Menyampaikan ide secara efektif
Mendengarkan pendapat orang lain
Menjadi pemimpin yang rendah hati namun tegas
Menghargai perbedaan sekaligus mencintai bangsa
Sayangnya, kita juga melihat realitas,
Anak-anak lebih banyak menulis di layar daripada berdialog langsung
Sikap reaktif lebih sering muncul daripada berpikir kritis
Perbedaan budaya mudah memicu sentimen negatif
Kompetisi sering menutupi nilai kolaborasi
Di sinilah sekolah harus hadir.
Dan semangat Jong Batak memberi kita fondasi: pemuda yang berani bersuara, menulis, berdialog, serta menjaga martabat dirinya dan bangsanya.
Strategi Menghidupkan Api Jong Batak dalam Komunikasi di Sekolah
1. Kelas Budaya dan Retorika Lokal
Guru mengajak siswa memahami pepatah, adat, dan filosofi Batak sebagai modal berkomunikasi, misalnya:
Siswa mempresentasikan makna Dalihan Na Tolu dalam kehidupan sekolah
Diskusi pepatah, Tampakna do tajomna, Tim ni Tahi do gogona, Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh.
Tujuannya, melatih argumen yang berakar pada nilai, bukan emosi.
2. Latihan Public Speaking Humanis
Siswa bergiliran menyampaikan pidato singkat tentang:
Tokoh pemuda Batak
Kisah leluhur mengenai kejujuran dan keberanian
Pengalaman pribadi tentang kebinekaan
Mereka belajar berbicara bukan hanya untuk didengar, tetapi untuk menyentuh hati.
3. Simulasi Musyawarah ala Martonggo-tonggo
Di kelas diadakan latihan rapat atau sidang OSIS:
Ada moderator, penulis notulen, dan pembicara
Etika bicara dijaga
Keputusan dicapai bersama
Karakter terbentuk, yang kuat tidak mendominasi, yang lemah tidak ditinggalkan.
4. Media Sekolah sebagai Panggung Gagasan
Siswa membuat buletin, vlog, atau podcast budaya:
Konten tentang toleransi, budaya, dan persatuan
Wawancara guru atau tokoh adat
Pidato pendek bertema “Aku Batak, Aku Indonesia”
Ini meniru semangat Jong Batak yang menerbitkan tulisan untuk membangun bangsa.
Dampak pada Karakter dan Nasionalisme Siswa
Jika sekolah konsisten menanamkan nilai-nilai di atas, akan lahir siswa yang:
Berani berbicara untuk kebenaran
Berempati dan mampu mendengarkan
Mencintai budaya sekaligus bangga menjadi Indonesia
Kritikal namun santun
Siap menjadi pemimpin masa depan
Kita mencetak pemuda yang bukan hanya pintar, tapi benar dan berbudi.
Dan inilah kualitas yang membangun bangsa.
Penutup
Semangat Jong Batak bukan romantisme masa lalu. Ia adalah energi moral bagi pendidikan hari ini: agar anak-anak tumbuh bukan hanya cerdas akademik, tetapi cerdas hati, cerdas tutur, dan cerdas budaya.
Jong Batak telah menulis sejarah melalui komunikasi bermartabat.
Kini tugas kita adalah menulis masa depan melalui pendidikan bermartabat.
Jadilah murid yang bersuara bukan untuk menang, tetapi untuk menerangi.
Jadilah pemuda yang berbicara bukan karena ingin dihormati, tetapi ingin mengangkat martabat bangsa.
Api Jong Batak sudah pernah menyala.
Sekarang, biarkan ia menyala lagi,
di kelas, di hati siswa, dan dalam perjalanan Indonesia esok.



