Oleh : Angga Sianturi, Mahasiswa STT Paulus Medan, Prodi Teologi
Sosiologi Agama tidak bertujuan menilai benar-salah sebuah ajaran, tetapi mencoba memahami bagaimana ajaran itu bekerja dalam masyarakat. Ia menelusuri bagaimana agama menciptakan solidaritas sosial, menumbuhkan identitas, mengatur moralitas, sekaligus berpotensi menimbulkan konflik sosial. Dengan demikian, bidang ini menjadi jembatan antara iman dan realitas sosial, antara pengalaman spiritual dan struktur masyarakat yang konkret.
Saya sangat setuju dengan hal ini, karena pandangan ini sangat mengena dengan nats Alkitab yang tertulis di dalam 2 Timotius 3 : 16-17,” Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan, dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik.”
Jadi, Sosiologi Agama adalah sebuah bidang kajian yang menempatkan agama bukan hanya sebagai sistem kepercayaan, tetapi juga sebagai fenomena sosial yang hidup di tengah masyarakat. Sosiologi Agama adalah suatu kajian yang mempelajari hubungan, bukan hanya hubungan manusia dengan Sang Pencipta, melainkan bagaimana kita melihat kehidupan antar sesama manusia dalam melihat segala sesuatu yang ada dan tampak secara nyata dengan kacamata yang berbeda.

Sosiologi Agama terdiri dari dua suku kata, yaitu “Sosiologi” dan “Agama”. Sosiologi yang berarti hubungan, baik secara individu maupun berkelompok. Sedangkan Agama sendiri tersusun dari dua suku kata yaitu : A “tidak” dan Gama “kacau” yang berarti “tidak kacau”. Berarti, kita dapat menyimpulkan bahwa, Sosiologi Agama adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang, bagaimana kita dalam membangun suatu hubungan, baik dalam hal interaksi secara individu, maupun secara umat beragama tanpa harus saling menyinggung dokrtin masing-masing.
Pada zaman sekarang ini, banyak orang hanya tahu berteori tetapi tidak mau menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Mereka merasa banyak tahu akan sesuatu hal, tetapi aksi nyatanya kurang. Misalnya didalam Mazmur 34 : 13 – 14, disitu dikatakan “Jagalah lidahmu terhadap yang jahat dan bibirmu terhadap ucapan-ucapan yang menipu; jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik, carilah perdamaian dan berusahalah mendapatkannya!.”
Masih banyak ditemukan di lingkungan masyarakat, baik itu organnisasi maupun individu yang tak jarang masih memanfaatkan segala cara untuk kepentingan pribadi. Mereka menggunakan kata-kata manis untuk menarik hati lawan bicaranya, bahkan ada yang sampai menjatuhkan sesamanya untuk bisa naik level, atau naik jabatan. Banyak orang oleh karena status sosial, mereka merasa super power, tidak bisa di singgung, bahkan jika terlibat dalam permasalahan, yang memiliki status kedudukan atau sosial ini akan menghalalkan segala cara untuk bisa membuat lawannya jatuh.
Juga tidak sedikit dari para tokoh-tokoh agama yang menggunakan jabatannya untuk meraih simpati, dukungan serta keuntungan.
Jadi, hadirnya Sosiologi Agama disini bukan hanya sekadar membahas tentang hubungan seseorang dengan Tuhannya, tetapi juga bisa mengarah kepada hal yang lebih dari itu, tergantung bagaimana seseorang tersebut bisa melihat suatu perbedaan serta memaknai tujuan dari terbentuknya suatu hubungan, baik pribadi lepas pribadi ataupun komunitas iman. Jangan jadikan perbedaan itu sebagai jurang pemisah baik antar indivudu maupun golongan.
Tetapi hendaklah kita memikirkan hal-hal yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji ( Filipi 4 : 8 ), keseluruhan ini kita jadikan suatu pedoman atau pegangan bagi kita dalam melihat suatu peristiwa dari kacamata dan sudut pandang yang berbeda.” (Red/*)
Tulisan ini adalah, pengembangan dari materi mata kuliah dan diskusi kelas pada Sosiologi Agama.



