spot_img
BerandaReligiNatal di Negeri yang Kehilangan Hutan

Natal di Negeri yang Kehilangan Hutan

Oleh : Hery Buha Manalu

Natal selalu dirayakan sebagai perayaan damai dan harapan. Namun di Indonesia, Natal kerap hadir di tengah lanskap yang semakin gersang, negeri yang perlahan kehilangan hutannya. Di Sumatera, banjir, longsor, kebakaran lahan, dan krisis ekologis lain berulang hampir setiap tahun. Natal pun tidak lagi sekadar peristiwa iman, melainkan cermin tajam tentang bagaimana negara memperlakukan alam dan kehidupan.

Hutan Indonesia terus menyusut. Media nasional mencatat alih fungsi hutan yang masif untuk perkebunan, pertambangan, dan proyek-proyek skala besar. Ketika hutan hilang, keseimbangan ekologis runtuh. Sungai kehilangan penyangga, tanah kehilangan daya serap, dan hujan yang semestinya menjadi berkah berubah menjadi bencana. Dalam kondisi ini, bencana bukan lagi peristiwa alam yang tak terduga, melainkan akibat yang bisa diprediksi.

Sumatera adalah contoh paling nyata. Pulau yang dahulu dikenal sebagai paru-paru hijau kini menjadi wilayah dengan tingkat kerentanan bencana yang tinggi. Pembukaan hutan secara besar-besaran tidak hanya merusak ekosistem, tetapi juga menghancurkan ruang hidup masyarakat adat, petani, dan nelayan. Mereka menjadi korban pertama dari pembangunan yang lebih berpihak pada angka-angka pertumbuhan ketimbang keselamatan ekologis.

Coffee banner ads with 3d illustratin latte and woodcut style decorations on kraft paper background

Natal, jika dibaca dalam kerangka etika publik, mengandung pesan yang sederhana namun mendasar, kehidupan harus dijaga. Kelahiran Yesus dalam tradisi Kristen bukan simbol kemewahan atau kekuasaan, melainkan kehadiran di tengah dunia yang rapuh. Pesan moral ini relevan ketika hutan, penyangga utama kehidupan, terus dikorbankan. Pembangunan yang merusak hutan pada dasarnya adalah pembangunan yang menolak masa depan.

Krisis hutan selalu berkelindan dengan krisis sosial. Ketika hutan dibabat, banjir dan longsor memiskinkan warga. Ketika lahan terbakar, kualitas udara memburuk dan kesehatan publik terancam. Ketika ruang hidup menyempit, konflik agraria meningkat. Karena itu, kehilangan hutan bukan sekadar isu lingkungan, melainkan persoalan keadilan dan hak dasar warga negara atas lingkungan hidup yang layak.

Sayangnya, negara kerap hadir terlambat. Penanganan bencana dilakukan setelah kerusakan terjadi, sementara pencegahan berjalan setengah hati. Penegakan hukum lingkungan lemah, evaluasi izin usaha sering mandek, dan kepentingan ekonomi jangka pendek terus mengalahkan keselamatan ekologis jangka panjang. Dalam situasi ini, kehilangan hutan seolah dianggap sebagai harga yang wajar dari pembangunan.

Natal seharusnya menjadi momen koreksi arah. Damai tidak lahir dari seremoni, melainkan dari keberanian mengambil keputusan yang berpihak pada kehidupan. Menjaga hutan berarti menjaga air, pangan, kesehatan, dan masa depan generasi berikutnya. Tanpa hutan, narasi kesejahteraan hanya akan menjadi ilusi.

Merayakan Natal di negeri yang kehilangan hutan seharusnya menggugah rasa malu sekaligus tanggung jawab. Negara tidak cukup hanya mengelola dampak bencana, tetapi wajib menghentikan sumber kerusakan. Jika tidak, Natal akan terus dirayakan di tengah krisis yang sama, sementara alam semakin kehilangan kemampuannya menopang kehidupan.

Pada akhirnya, Natal mengajukan pertanyaan yang tak bisa dihindari, apakah negeri ini masih memiliki keberanian untuk menjaga hutannya sebagai fondasi kehidupan, atau akan terus membiarkannya hilang atas nama pembangunan yang rapuh dan sementara? (Red/)

Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini