Kamis, Januari 16, 2025
spot_img

Nenni Triana Sinaga, Raih Doktor Linguistik : “Martabas “Bermantra ” dalam Etnik Simalungun”

Nenni Triana Sinaga foto bersama keluarga  diruang di video conference zoom meeting Gedung Biro Rektor USU, Usai Ujian terbuka Disertasi (Promosi Doktor), Program Doktor (S3) Lingustik Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Budaya USU Program Doktor Linguistik dengan judul Disertasi : Martabas “Bermantra” dalam Etnik Simalungun. Foto Kopitimes / Hery B Manalu

 

Kopi Times | Medan

Mantra adalah bunyi, suku kata, kata, atau kalimat yang dianggap mampu menciptakan perubahan secara spiritual. Penggunaan mantra merupakan bagian dari budaya Indonesia, masyarakat tradisional khususnya di nusantara biasanya menggunakan mantra untuk tujuan tertentu. Etnik Simalungun mengenalnya dengan istilah “Martabas”.

Selain merupakan salah satu sarana komunikasi dan permohonan kepada Tuhan, mantra dengan kata yang ber rima, memungkinkan orang semakin rileks dan masuk pada keadaan trance. Nenni Triana Sinaga, akademisi FKIP Universitas HKBP Nommensen telah menyelesaikan penelitian anthropolinguistik, sebagai ilmu yang mempelajari bahasa sebagai sumber budaya dan berbicara atau berbahasa sebagai praktik budaya. 

Martabas merupakan sebuah proses performansi berbahasa melalui pengobatan tradisional dengan menggunakan ragam tabas (mantera) yang mengandung makna, fungsi, dan kekuatan kata-kata dalam melakukan pengobatan, sebut Nenni Triana Sinaga Kamis (4/8/2022) di video conference zoom meeting Gedung Biro Rektor USU, saat Ujian terbuka Disertasi (Promosi Doktor), Program Doktor (S3) Lingustik Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Budaya USU Program Doktor Linguistik dengan judul Disertasi : Martabas “Bermantra” dalam Etnik Simalungun.

Tabas (mantra) adalah kata-kata atau doa-doa permohonan kepada pencipta alam semesta yang memiliki kekuatan bahasa yang diyakini dapat mengubah kehidupan manusia. 

“Performansi martabas sebagai praktik berbahasa melalui tradisi pengobatan tradisional mengandung unsur-unsur bahasa. Unsur-unsur tersebut merupakan satuan bahasa yang berfungsi untuk pembentukan bahasa baik secara unsur segmental maupun unsur suprasegmental. Unsur-unsur segmental berupa fonem, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, dan wacana sedangkan unsur suprasegmental yaitu berupa nada, tekanan, intonasi, dan jeda”, sebut Nenni.

Unsur-unsur itu dapat dikaji dalam ranah linguistik yang berbentuk satu kesatuan yang sistemis dan sistematis. Penelitian martabas tidak bisa lepas dari suatu performansi karena performansi merupakan pertunjukan jalannya sebuah kegiatan. Performansi martabas merupakan praktik berbahasa yang memiliki pola tetap dan merupakan ketentuan dalam bertutur sehingga menarik untuk diteliti. Pola performansi hadir melalui analisis teks, ko-teks, dan konteks. 

Sejalan dengan itu, Sibarani (2017:29) mengemukan bahwa pola performansi adalah kombinasi dari keseluruhan aturan atau kaidah yang ada dalam suatu tradisi yang menjadi perwujudan atau gambaran yang wajib untuk dipedomani dengan mempertimbangkan konteks sosial budaya.

Lebih tegas lagi, ia mengatakan bahwa pola (struktur, kaidah, dan formula) performansi adalah kegiatan berbahasa yang mengandung pola yang dianalisis melalui komponen-komponennya yaitu teks, ko-teks, dan konteks yang pada akhirnya menghasilkan model. Pola performansi tersebut terdiri atas struktur, kaidah, dan formula. 

Pola performansi baik itu tekstual maupun nontekstual dapat dijadikan sebagai model pelestarian kekayaan bahasa dan budaya di Indonesia. Di samping itu, pada saat penutur tabas mengujarkan tabas terdapat kata-kata yang mengandung kata kerja dalam kalimat yang menunjukkan tindakan pertuturan. Dalam bidang ilmu bahasa, hal ini disebut sebagai verba performatif. Verba performatif merupakan bagian dari kelas kata kerja yang memiliki makna dan secara langsung mengungkapkan pertuturan pada saat kalimat itu diujarkan oleh penutur tabas. 

Verba performatif adalah salah satu bagian penting dalam kalimat yang memerlukan sebuah tindakan saat penutur mengujarkannya. Dengan kata lain, verba performatif atau kata kerja performatif adalah kata kerja yang terdapat dalam kalimat yang menunjukkan tindakan verbal yang sedang dilakukan. Itulah sebabnya, dalam performansi martabas, pada saat penutur mengujarkan tabas terdapat kata kerja performatif yang menunjukkan sebuah tindakan. 

Selanjutnya, benda-benda material juga hadir pada saat penutur melakukan performansi martabas. Benda-benda tersebut memiliki hubungan alamiah dengan benda yang menandainya. Teks dan benda-benda tersebut memiliki makna, fungsi, nilai dan norma saat digunakan dalam performansi martabas. Hal ini disebut dengan indeksikalitas. 

Indeksikaliatas adalah penanda yang memiliki hubungan alamiah dengan benda yang menandainya. Indeksikalitas dibagi menjadi dua bagian yaitu indeksikalitas tekstual dan indeksikalitas nontekstual. Indeksikalitas tekstual adalah tabas-tabas mengandung makna, fungsi, nilai, dan norma yang diujarkan penutur tabas pada saat proses martabas berlangsung, sedangkan indeksikalitas nontekstual adalah penanda dari benda-benda material yang memiliki makna dan fungsi serta nilai dan norma yang hadir mendampingi kegiatan martabas. 

Kedua indeks tersebut disebut sebagai kandungan tradisi lisan yang bertujuan menemukan kearifan lokal. Makna dan fungsi sebagai lapisan pertama, nilai dan norma sebagai lapisan kedua, dan kearifan lokal sebagai lapisan ketiga atau lapisan inti. 

Penelitian martabas belum pernah dilakukan dalam etnik Simalungun, namun penelitian sejenis dari etnis lain sudah pernah dilakukan seperti “tawa dalam pengobatan tradisional Minangkabou, Usman (2010). Penelitian ini fokus pada pengobatan tradisional dengan tujuan melihat unsur kebahasaan yang terkandung dalam teks tawa serta proses pewarisannya di tengah-tengah masyarakat, khususnya etnik Minangkabau. Kemudian, penelitian yang dilakukan Sadovski (2012) dengan judul “Ritual Spells and Practical Magic for Benediction and Malediction in Indo-Iranian, Greek, and Beyond (Speech and Performance in Avesta and Veda, I)”, jelas Nenni. 

“Penelitian ini fokus pada tipe-tipe ritual, pesona mantra pengikat, dan bentuk dari ritual puisi dalam tindakan. Sedangkan penelitian martabas fokus pada pola performansi martabas, menemukan makna verba performatif dalam teks martabas, dan menganalisis kandungan martabas guna menemukan kearifan lokal yang dapat dimanfaatkan untuk menata kehidupan masyarakat Simalungun”, sebut Nenni saat Ujian terbuka Disertasi (Promosi Doktor) : Prof. Dr. Robert Sibarani,  MS (USU),  Prof.  Pujiati, M.Sos, Sc, Ph. D, (USU),  Prof Dr.  Budi Agustono, M.S, (USU), Prof. Dr. Jivrizal,  M. Hum, (Univeristas Negeri Padang), Dr. Mulyadi.Hum (USU), Dr. Eddy Setia, M. Ed.TESP (USU), Dosen Program Study Doktror Linguistik Program Pasca Sarjana FIB USU Medan. 

Lebih lanjut Nenni memaparkan, martabas berasal dari kata dasar tabas (bahasa Simalungun) yang artinya adalah mantra. Kata dasar tabas mendapat imbuhan (awalan mar yang artinya ber) sehingga menjadi martabas atau bermantra yang merupakan adanya suatu proses kegiatan berbahasa. Kata man yang artinya ‘pikiran’ dan tra yang artinya ‘bentuk’ sehingga mantra adalah bentuk pikiran atau sebagai alat untuk melindungi pikiran. 

“Dalam masyarakat Simalungun, tabas dapat diklasifikasikan ke dalam tiga jenis pengobatan yaitu : tabas untuk pengobatan fisik, tabas untuk pengobatan nonfisik, dan tabas untuk pemberian tangkal. Tabas (mantra) adalah kata-kata atau doa-doa permohonan kepada pencipta alam semesta yang memiliki kekuatan bahasa.” jelasnya. (Red/ Hery B Manalu) 

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Latest Articles