Foto : Johnny Siahaan
Oleh: Thompson Hs
Kopi Times – Kepercayaan untuk mengerjakan sesuatu hingga tuntas dilakukan orang-orang profesional. Tentu saja tergantung pula kepada profesinya. Profesi dikaitkan dengan pekerjaan; apapun itu. Dari pekerjaan itu diketahui posisi dan mutu seorang profesional. Dulu saya pernah menyatakan dalam satu tulisan bahwa seorang profesional berani menjual. Ternyata bisa ya bisa tidak. Urusannya berarti persoalan uang yang perlu didapatkan dari hasil menjual kalau dikaitkan dengan keberanian menjual. Kalau tidak berani, sementara ada produk dan ketenaran mau dijual, kadang dianggap siasia. Seseorang yang kesal menyatakan: nama saya dijualnya! Apa memang nama juga bisa dijual?
Dalam melahirkan suatu produk kesenian kadang nama bisa dijual, juga karena profesionalitas nama itu. Apalagi si Profesionalitas tidak punya keberanian menjual namanya sendiri. Umumnya seniman-seniman yang berkarya di bidangnya adalah profesional. Tapi profesional seniman harus dilihat dalam konteks khusus.
Sebagai kurator untuk “Warna Danau” saya melihat itu pula secara khusus dari proses awal hingga bentuk dari ide dan naskah selesai. “Warna Danau” sudah selesai dalam bentuk yang diinginkan untuk suatu roadshow, setidaknya dapat menyerap 80 persen dari ide dan naskah. Untuk 100 persen itu seperti kehidupan sempurna, suci, dan tak bercela. Proses hingga 100 persen antara naskah dan perwujudannya tidak harus tercapai. Itu saya nyatakan karena sekaligus sebagai penulis naskah dan sutradara “Warna Danau”. Seandainya saya cukup menulis naskah “Warna Danau” sutradara lain bisa dihadirkan. Atau sebaliknya juga; saya sutradara untuk naskah yang Anda tulis.
Secara profesional saya dapat memberikan rekomendasi nama, termasuk untuk proses produksi. Nama-nama itu akan saya apresiasi sesuai quota sejak awal. Apresiasi juga saya lakukan sesuai urutan abjad dan tercantum dalam buklet yang diterbitkan oleh Bpnb Aceh untuk 4 pertunjukan.
Ada quota10 profesional yang saya ajukan secara kuratorial dengan pertimbangan pengetahuan atas profesionalitas masing-masing. 10 profesionalitas itu sekaligus dengan pertimbangan keterwakilan 4 puak dan jaringan profesionalitas setelah bermitra dua kali produksi lewat program Bpnb Aceh. Quota 10 profesional itu diharapkan benar-benar bekerja secara profesional dan dipercaya untuk proaktif untuk mewujudkan satu karya panggung dengan konsep kemewahannya.
Agung Prabowo, dia saya kenal sebagai koreografer karena pernah menonton karya sendratarinya berlatar Puak Pakpak Dairi. Tamatan Universitas Indonesia ini sudah berkarir juga sebagai penari sebelum tinggal di kota Sidikalang. Lewat kontak perantara saya juga mencoba meminta kemungkinan keterlibatannya sebagai pemateri pada kesempatan pelatihan untuk Puak Pakpak/Dairi dan Karo di Taman Wisata Iman Dairi sebelum proses produksi. Di pelatihan itulah sekaligus dimintai kesediaannya untuk selanjutnya. Dia saya posisikan untuk lebih fokus di koreografi kontemporernya. Memasuki proses produksi Agung (begitu panggilannya) juga bersedia menjadi pemeran lakon Turis dari naskah untuk sekaligus mendampingi dua pelakon dari pemain yang terseleksi setelah pelatihan. Agung juga memiliki kemampuan untuk tata rias dan kostum.
Sumber Foto : Johnny Siahaan
Andi Lase, dia sebenarnya potensial sebagai pemusik atau mengurusi bagian itu hingga peralatan musik 4 Puak seandainya bisa diboyong semua. Pada pelatihan Puak Simalungun sudah terlibat untuk mengurusi peralaran dan hal-hal yang umum dalam proses suatu pelatihan. Andi (begitu panggilannya) benar-benar mengurusi peralatan yang menyangkut kebutuhan produksi “Warna Danau” sesuai kebutuhan naskah dan perkembangan dalam garapan. Kadang dalam proses produksi memberikan supervisi kepada pemain yang berlakon dan bermain gitar. Puncak kewajiban Andi menjelang pertunjukan mengoperasikan musik playback.
Brepin Tarigan, selalu saya tuliskan ejaan namanya dengan Brevin karena salah satu orang Karo yang keren. Pernah terlibat dalam garapan Opera Batak “Sijonaha” beberapa tahun lalu. Dari situ saya mengenalnya hingga mengamati aktivitas program musikal dan berkeseniannya. Membantu urusan logistik pertunjukan Opera Batak “Perempuan di Pinggir Danau” sewaktu di Solo pada 2013 karena dia sedang kuliah Strata2 di ISI Surakarta. Brevin kelihatan seorang yang ambisius untuk melahirkan banyak karya musikal. Corak penciptaan musikalnya menarik meskipun satu dua kali dari lingkaran pemusik bisa merasa keberatan-subjektif dengan apa yang dibuatnya. Brepin (ternyata singkatan Bre Pinem) mengikutj proses proses produksi “Warna Danau” dan mewujudkan ide musikal yang dimungkinkan dari terjemahan konseptual yang diterima.
Dekwan, saya mengenalnya pertama kali di Banda Aceh pada 2020 lalu. Dia rekanan Bpnb Aceh untuk pendokumentasian pertunjukan “Suatu Ketika di Bandar Lamuri” (Seri 1 Kura-kura Berjanggut). Dalam “Warna Danau” sekaligus menjadi Show Director, di samping pengerjaan bersama untuk urusan visual artistik. Dengan tim khusus yang dibawa dari Banda Aceh berperan penting dalam mengurusi kebutuhan teknis dan vendor di setiap tujuan pertunjukan “Warna Danau”. Posisi kuat untuk rekomendasi Stage Manager “Warna Danau” tampaknya terakhir di wilayah kerjanya.
Mirza Katimon, saya kenal sebagai orang teater dan baru bertemu langsung pertama kali di Banda Aceh pada September 2021 lalu. Alumnus Jurusan Teater ISBI Aceh ini menjadi Asisten Sutradara ” Kura-Kura Berjanggut di Negeri Rempah” dan menjadi Stage Manager dalam Roadshow “Warna Danau”. Fungsinya sebagai Stage Manager dijalankan secara maksimal.
Perri Sagala, seorang guru di Samosir. Awalnya berkarir sebagai penari setelah tamat dari Jurusan Sendratasik Universitas Negeri Medan. Beberapa pertunjukannya identik dengan tarian tertentu, seperti Tari Saoan. Satu garapan di Balige tahun 2007 Bunda Feri (begitu biasa dipanggil anak-anaknya), saya mulai mengenalnya. Dia pekerja keras dan menjadi pimpinan dua sanggar di Samosir. Di sejumlah publikasi nama dan fotonya terpampang sebagai cerminan penari dan koreografer. Sudah menyelesaikan pendidikan Strata2 khusus penciptaan. Profesionalitasnya semakin tidak diragukan ke depan karena berbagai pengalaman menari, mengelola sanggar, mencipta karya tari baru yang dapat diketahui sumber-sumbernya dari mana. Atas komunikasi khusus dengan Feri keterlibatannya untuk proses produksi “Warna Danau” menyita perhatiannya fokus sebagai koreografer bercorak tradisi.
Saddam Dasuha, saya melihat aksinya menari di suatu pesta adat Simalungun di Raya. Meminta nomor teleponnya kemudian setelah memastikan pelatihan untuk Puak Simalungun di Desa Adat Gunung Malela. Sedikit ada hubungan keluarga dengan keturunan Guru Borahim Dasuha dari Raya ini. Potensinya tak diragukan untuk pelatihan pencak silat. Dia pemain Ndihar Simalungun dan aktif di tarik suara. Selama proses “Warna Danau” intensif berbagi dan mempelajari yang lain hinbga memberi ide untuk garapan rekam suara. Dalam lakon juga siap untuk memerankan Guru, ahli yang mrmbacakan Pustaha Laklak yang kontennya sengaja diadopsi dari versi Simalungun.
Sultan Saragih, profesional yang pulang dari Yogyakarta untuk menaikkan seni dan budaya di Simalungun. Pernah terlibat dengan Komunitas Jejak Simalungun sebelum membentuk Sanggar Budaya Rayantara di Siantar dengan pendampingan Ompung Raminah Garingging, calon Maestro Tortor Simalungun. Alumnus Jurusan Geografi Universitas Gajah Mada ini menjadi Asisten Sutradara, figuran, dan pemain silat dalsm “Warna Danau”. Inisiatif pendokumentasian selama proses dan Roadshow menjadi bukti-bukti penting dari keseriusan si Lawei ini.
Sumber Foto: Johnny Siahaan
Ojak Manalu, orang lama di blantika kesenian di Sumatera Utara. Pernah terlibat di beberapa produksi PLOt Siantar hingga ikut ke Jerman pada 2013. Membuat konsep untuk konten tayangan visual dan artistik dalam “Warna Danau”, di samping menyelesaikan target-target kuratorial lainnya untuk beberapa ptogram yang ditangani dari Bpnb Aceh. juga menjadi narasumber di tahap pelatihan Puak Pakpak/Dairi dan Karo. Karena kesibukan kadang tidak dapat mengikuti proses keseluruhan, termasuk untuk hadir pada jadual pertunjukan “Warna Danau” di Padang. Ojak Manalu adalah programer di RKI yang dibentuk pada tah7n 2014.
Octavianus Matondang, ujung tombak untuk semua pemain terseleksi. Mengorganisir tiga tahap pelatihan 4 Puak di tiga tempat (Gunung Malela, Sidikalang, Meat Balige). Pimpinan Sanggar Sitopak Sada Sada dengan latar belakang profesional dari Etnomusikologi (alumnus USU). Pengetahuan dan jaringan musikal 4 Puak ada dalam penanganannya hingga menerjemahkan naskah ke konsep musikal dan proses penciptaan. Kadang menjadi pendamping untuk kuratorial dan menyelesaikan persoalan-persoalan di tingkat pribadi pemain terseleksi. Turut survey untuk mrmastikan tempat pertunjukan untuk rangkaian Roadshow “Warna Danau” dan memberikan catatan terkait pengkondisian “Warna Danau” di tengah gelombang Pandemi Covid-19 yang belum berlalu dan yang sempat menahannya di Parapat sewaktu proses produksi yang terhenti setelah 10 hari karena 6 dan 1 pelatih terkena positif dan reaktif Covid-19.
Thompson Hs, terpaksa menjadi salah satu pemain pengganti selain dipercaya menjadi kurator, mengambil inisiatif menjadi penulis naskah, dan serta merta memperlancar proses kerja-kerja kuratorial dengan posisi sutradara. Membuka akses dan kesempatan kepada semua profesional untuk kebutuhan serta perundingan administratif kepada Bpnb Aceh dengan tetap mengingat amanah UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Demikianlah gambaran kecil apresiasi saya kepada semua profesional yang terlibat dalam “Warna Danau”. Mereka bekerja di bawah tanpa harus tergantung kepada Rancangan Anggaran Belanja (RAB) yang bisa dibuat secara kuratorual. Maaf, karena saya belum profesional di urusan penganggaran maka akses dan kesempatan itu sudah sangat dibukakan sejak awal agar “Warna Danau” berhasil sesuai standard mutu yang horison penonton setiap pertunjukan psnggung sudah saya amati dan pelajari sekian tahun. (Red/Hery Buha Manalu)