Editor : Hery B Manalu
By : Denny JA
Kopi-times.com-Berulang-ulang saya tatap lagi foto itu. Di antara begitu banyak foto berita wafatnya Ibu Ani Yudhoyono, foto itu paling menyentuh saya.

Di foto itu, SBY sedang menangis. Selama 16 tahun saya mengenalnya, baru pertama kali saya melihat ekspresi SBY yang terlihat tabah dan ikhlas tapi bercampur duka mendalam.

Terasa yang dilepas SBY bukan sekedar istri yang menemani jalan hidup selama 43 tahun. Yang ia lepas separuh batinnya sendiri.

Beberapa media menjadikan ucapan SBY judul berita. Ujar berita itu, berulang-ulang SBY berpesan pada keluarga. Setelah ibu Ani dimandikan, dan sebelum ia ditutup dalam peti, SBY ingin mencium ibu Ani sekali lagi.

Saya simak foto lainnya, sebelum ibu Ani wafat. SBY sedang mendorong ibu Ani di kursi roda. Dalam 4 bulan perjuangan melawan kanker darah, SBY berkesempatan membawa ibu Ani menghirup udara segar di luar kamar perawatan.

Begitu menyatunya ibu Ani dan SBY. Dan sayapun terkenang kisah, satu momen ibu Ani dan SBY dalam pilpres 2004.

Pemilu presiden 2004, 15 tahun lalu, adalah momen pertama kali presiden Indonesia dipilih langsung dalam sejarah. Itu juga era pertama di Indonesia, riset ilmu pengetahuan masuk dalam pertarungan politik praktis. Itu era pertama pula masuknya profesi konsultan politik dalam pemilu presiden di Indonesia.

Saya sedang membantu SBY memenangkan pemilu presiden 2004. Bagaimana caranya SBY bisa menjadi presiden? Bagaimana bisa mengalahkan Megawati Soekarnoputri?

Bagi sebagian, itu kerja mustahil. Megawati sudah menjadi presiden. Ia ketua PDIP, partai terbesar saat itu. Ia putri proklamator Bung Karno.

Sebaliknya, SBY hanya seorang menteri dan juga latar militer. Ia memang punya partai tapi partai Demokrat adalah partai baru. Saat itu Indonesia belum terlalu lama lepas dari pak Harto. Militer masih dikesankan bagian dari rezim Orde Baru.

Tapi saya memegang data survei. LSI kala itu sudah mulai melakukan survei pemetaan calon presiden.

Benar SBY memang masih kalah dibandingkan Megawati dalam aneka survei. Tapi Megawati sudah dikenal oleh lebih 95 persen populasi. Saat itu, yang mengenal SBY di bawah 55 persen saja.

Saya membuat simulasi. Jika yang diadu hanya pemilih yang mengenal SBY dan yang mengenal Megawati saja, SBY menang. “Aha!, ujar saya. Ini penemuan besar. Jika SBY dikenal seluas Megawati, SBY bisa mengalahkan Megawati! WOW!!!

Kerja selanjutnya bagaimana mengenalkan SBY seluas mungkin kepada publik. Itulah satu-satunya jalan memenangkan pemilu presiden.

Di tahun 2003-2004, program AFI (Akademi Fantasi Indosiar) di TV Indosiar begitu populer. Terutama anak muda menggemarinya. Acara ini semacam program “America’s Got Talent.” Para artis pendatang baru berlomba bernyanyi, yang disiarkan langsung oleh TV Indosiar.

Saya mencari cara bagaimana agar SBY bisa bernyanyi di pentas AFI yang terkenal itu.

Saya melobi Hari Tanoe yang kala itu menjadi salah satu yang berpengaruh di Indosiar. Awalnya Hari Tanoe menyatakan mustahil. “Bro,” ujar Hari Tanoe pada saya, “mustahil kita bisa mengubah format AFI. Ini program semacam franchise. Tak bisa kita masukkan kedalam program ini seorang calon presiden.”

Tapi saya yakinkan Hari Tanoe. Pak SBY di acara itu tidak berkampanye bro. Ia hanya menyanyi saja, sebagai penyanyi tamu.

Lalu Hari Tanoe mencari peluang. Tapi ujar Hari Tanoe, “bro, seandainyapun bisa,  kita tak boleh hanya memberi peluang kepada hanya satu calon presiden. Ujar Hari Tanoe, “saya bisa diprotes capres lain dan KPU.”

“Justru di situ nilainya bro,” jawab saya meyakinkan Hari Tanoe. “Semua capres diberikan panggung dan kesempatan menyanyi yang sama: SBY, Megawati, Wiranto, Amien Rais dan Hamzah Haz. Kala itu ada lima capres.

“Mantap bro,” ujar Hari Tanoe. Saya coba. Nanti saya kabarkan.” Tak lama kemudian, Hari Tanoe mengabarkan, “berita bagus bro. SBY bisa bernyanyi di AFI. Tapi  capres yang bersedia menyanyi hanya SBY dan Wiranto saja.

Tidak menjadi masalah. Yang penting kesempatan yang sama sudah ditawarkan kepada semua capres.

Secepatnya saya kabarkan SBY kemungkinan ia bisa tampil di panggung AFI. Saya yakinkan, ini akan menaikkan popularitasnya dalam capres.

Sesuai dengan survei LSI, memang program AFI sangat populer. Tampil di program itu potensial melambungkan SBY. Di antara banyak politisi, SBY termasuk yang pertama yang mempercayai survei opini publik.

Di situlah saya berinteraksi intens dengan ibu Ani Yudhoyono. Dari ibu Ani, saya tahu lagu yang sangat disukai SBY saat itu berjudul “Ada Pelangi di Matamu” yang dinyanyikan Jamrud.

Lirik awalnya: “Tiga puluh menit, Kita di sini. Tanpa suara. Dan aku resah. Harus menunggu lama. Kata darimu.” Lalu reff yang sangat metaforik: “Ada pelangi, di bola matamu.”

Ibu Ani pula menyarankan  SBY di panggung mengenalan jaket kulit. “Kan yang dominan menonton anak muda ya Dik Denny?” Tanya bu Ani. “Betul bu,” ujar saya. SBY urung mengenakan baju batik.

Bu Ani pula yang membantu mengatur waktu SBY. “Bu, ujar saya, mohon sediakan 30 menit saja sebelum acara dimulai agar bapak latihan dulu dengan organ band pengiring nanti.

Acara AFI itu di JHCC, dekat Hotel Sultan. Itu acara siaran langsung, LIVE! Hari Tanoe membantu menyediakan ruang seadanya sebelum acara dimulai agar SBY latihan dulu.

Datanglah pentas AFI itu. Hari Tanoe membantu tempat duduk yang bagus. Istri saya disamping ibu Ani. Di sebelah ibu Ani, duduk SBY. Dan saya duduk di sebelah SBY.

LIVE show AFI indosiar luar biasa meledak. Berbeda dengan acara AFI biasa, kali ini ada dua capres ikut bernyanyi: SBY dan Wiranto.

Sayapun ikut deg degan. Saya melihat Wiranto bernyanyi dengan prima. Suaranya bagus dan tenang. Tapi lagu yang dibawakannya lagu tentang cinta tanah air yang tak dikenal audience anak muda.

Ketika SBY bernyanyi, penontonpun bersorak. Lagu “Ada Pelangi di Matamu” begitu populer. Audience ikut bernyanyi. “Ada pelangi, di bola matamu. Dan memaksa diri untuk bilang: Aku sayang padamu.”

SBY puas dengan penampilannya. Saya merasakan Ibu Ani sangat riang dan bangga. “Bu Ani, “ujar saya, pilihan ibu memang jitu. Yaitu jaket kulit SBY dan lagu “Ada Pelangi di Matamu.”

SBY pun menjadi presiden pertama Indonesia yang dipilih langsung. LSI ikut melambung dikenal sebagai konsultan politik pertama yang menggabungkan politik praktis dengan riset ilmiah dan marketing politik.

Sejak tahun 2003-2004 itu, saya merasakan ibu Ani bagi SBY tak hanya seorang istri. Ibu Ani juga partner hidup, dan belahan jiwa. Sejak 15 tahun lalu, saya meyakini. Dengan caranya sendiri, ibu Ani berperan, memberi pengaruh dan warna pada SBY.

Melihat kembali foto SBY yang sedang menangis setelah wafatnya ibu Ani, saya teringat pepatah itu: “Di samping lelaki yang sukses, selalu berdiri wanita kuat, yang menyapanya ketika ia salah, dan menguatkannya ketika ia benar.”

Ibu Ani adalah wanita kuat itu.

Selamat jalan ibu Ani Yudhoyono.***
Juni 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here