Gambar Ilustrasi Sumber : Ist |
Editor : Hery Buha Manalu
By : JP. Robinsar Siregar
Kopi-times.com – Tanah mempunyai nilai dan fungsi yang sangat penting bagi manusia. Tanpa tanah manusia tidak dapat hidup dan mendirikan bangunan serta melakukan aktivitasnya sehari-hari.
Tanah merupakan modal yang sangat berharga bagi kehidupan manusia. Setiap masyarakat memiliki persepsi yang berbeda terkait fungsi tanah. Setiap masyarakat memiliki pandangan hidup (view of life).
Pandangan hidup (view of life) menjadi dasar bagi terbentuknya falsafah hidup ditengah-tengah komunitas masyarakat tersebut. Begitu juga dengan masyarakat Batak Toba.
Dalam kebudayaan Batak Toba sudah terbentuk pola hubungan antar manusia dengan Pencipta, manusia dengan sesama manusia dan manusia dengan lingkungannya.
Sehubungan dengan pesan Siboru Deak Parujar Kepada Keturunannya untuk “memelihara” bumi dengan segala isinya, terdapat pengertian untuk “memanfaatkan” bumi dengan segala isinya dengan arif dan bijaksana.
Penganugerahan ini sekaligus pemaknaan pemberian warisan sebagai “UGASAN” bagi Si raja Ihat Manisia dan keturunannya.
Manusia dan keturunannya diperkenalkan bahwa siapapun yang mencoba merusak bumi dan segala isinya akan dihukum Mulajadi Nabolon. Nagapadohaniaji yang semula merusak akhirnya melalui pengampunan berjanji akan menjaga.
Tanah diakui sebagai “tano ojahan, tano ondolan, ojahan ni saluhut nasa na adong”. Tanah adalah media proses seluruh kehidupan manusia, tanaman, hewan dan air. Lambang kesuburan tanah disebut “Boraspati ni tano”. Berperan sebagai pemenuhan ambang batas kemampuan manusia untuk merawat tanamannya tumbuh subur.
Manusia hanya mampu memberi kebutuhan dasar tanamannya pada awal pertumbuhan dengan hara makro seadanya, tapi pemenuhan hara makro dan mikro akan diberikan oleh tanah itu sendiri dengan “boraspati ni tano”.
Sehingga boraspati itu adalah sebuah icon spritualitas Batak akan adanya unsur tersembunyi dari tanah itu untuk kebutuhan hidup manusia yaitu kesuburan. Yang tidak menghargai boraspati ni tano, cenderung akan melakukan perusakan atas kesuburan tanah.
Pengertian Tanah masyarakat Batak Toba :
Tanah diakui sebagai “tano ojahan, tano ondolan, ojahan ni saluhut nasa na adong”. Tanah adalah media proses seluruh kehidupan manusia, tanaman, hewan dan air.
Ombun (uap) adalah peralihan sementara yang pada akhirnya bersentuhan dengan tanah karena berasal dari tanah. Bila air dimaknai sebagai aliran hidup asal-usul, sebab-akibat, maka tanah dimaknai sebagai media proses kesuburan itu terjadi.
Lambang kesuburan tanah disebut “Boraspati ni tano”. Berperan sebagai pemenuhan ambang batas kemampuan manusia untuk merawat tanamannya tumbuh subur.
Manusia hanya mampu memberi kebutuhan dasar tanamannya pada awal pertumbuhan dengan hara makro seadanya, tapi pemenuhan hara makro dan mikro akan diberikan oleh tanah itu sendiri dengan “boraspati ni tano”.
Sehingga boraspati itu adalah sebuah icon spritualitas Batak akan adanya unsur tersembunyi dari tanah itu untuk kebutuhan hidup manusia yaitu kesuburan. Yang tidak menghargai boraspati ni tano, cenderung akan melakukan perusakan atas kesuburan tanah.
Lambang “Boraspati” juga dapat ditemukan pada hiasan rumak Batak Toba. Memaknai adanya kesuburan tumbuh pada penghuni rumah yang dominannya untuk perkembangan keturunan bagi manusia, namun tidak lepas dari pengertian akan seburan tanah. Manusia yang tidak mendapat keturunan disebut “pupur”.
Sedangkan tanah yang tidak subur disebut “tungil”. Dalam setiap pengolahan tanah, orang Batak selalu memberitahukan kepada Nagapadohaniaji akan niatnya dengan kata : Saya tidak hendak merusak tanah yang engkau junjung Nagapadohaniaji, tapi saya hendak menggunakannya untuk kebutuhan kehidupanku seharihari (atau untuk kebutuhan lainnya seperti pekuburan dan pendirian perumahan)”.
Setelah kata itu diucapkan lalu dilakukan pencangkolan atau pengorekan pertama. Untuk kegiatan pertanian biasanya dibiarkan dulu beberapa hari kemudian dilakukan pengolahan tanah yang sebenarnya.
Kegiatan seperti ini menunjukkan bahwa tidak bisa dilakukan sikap yang menunjukkan keserakahan terhadap tanah walau dalam arti itu adalah “UGASAN” bagi manusia.
Pada pengelolaan pertama itu juga selalu dilakukan dengan “itak gurgur” tepung beras yang dimaknai agar apapun yang dilakukan untuk tujuan kehidupan itu mendapat restu Mulajadi Nabolon, dipahami oleh Nagapadohaniaji dan respon dari Boraspati ni tano.
Itak gurgur melambangkan persembahan dan pemaknaan semua hasil pekerjaan akan berkembang baik (gurgur). Pada masyarakat Batak Toba selain sebagai lambang Hamoraon, tanah juga dianggap sebagai lambang kerajaan dan kekayaan.
Pada sistem nilai Batak Toba tradisional tanah merupakan lambang kekayaan dan kerajaan. Bagi masyarakat Batak Toba, tanah terutama tanah warisan dianggap sebagai wujud dari tubuh nenek moyang mereka yang senantiasa harus dijaga dan dipertahankan Jenis Tanah : Arti dan si tanah bagi seuatu komunitas dipengaruhi oleh dinamika social dari daerah yang terbentuk dari pandangan budaya (view of life).
Masyarakat Batak Toba mengenal berbagai jenis tanah sesuai dengan pengelolaannya dan keadan tanaman yang tumbuh diatasnya :
Tano tarulang atau tanah kosong : tanah yang kosong belum pernah dikerjakan.
Tano na niulang: tanah dalam keperluan pertukaran penanaman yang dibiarkan terlantar.
Harangan dan tombak: hutan yang asli yang belum pernah diolah sedangkan tombak adalah hutan muda yang dulunya telah pernah dikerjakan.
Hauma dan pargadongan: tanah yang menjadi tempat bercocok tanam yang dibagi dalam tanah na maraek ( tanah yang berair).
Pargadongan yaitu tanah tembap perladangan yang ditanami ubi/gadong (ketela pohon), kopi, gadong jirir dan lainnya.
Tano parhutaan : jenis tanah perkampungan ata tempat pemukiman penduduk.
Jalangan dan jampalan: Jalangan adalah tanah tempat pengembalaan yang luas tanpa harus dijaga. Jampalan adalah tanah pengembalaan dengan ternak yang harus dijaga.
Fungsi Tanah :
Fungsi tanah dari sudut pandang Hukum Batak Toba.
Tanah yang dimiliki oleh penduduk dalam satu huta (desa/kampong) yang dimiliki dan ditempati berupa pekarangan dan fasilitas yang ada diatsnya adalah merupakan milik bersama.
Pada masyarakat Batak Toba untuk mendapatkan hak waris adalah anak-laki-laki sedangkan anak perempuan tidak berhak. Jika seorang anak perempuan mendapat sawah dari orang tuanya dinamakan silehon-lehon (pemberian) dan bukan sebgai warisan.
Fungsi tanah dari Sudut pandang Ekonomi.
Masyarakat Batak juga merupakan msyarakat yang ada dalam kehisupan yang agraris dimana mata pencarian pokoknya dalah pertain. Sawah dan ladang penduduk masyarakat pada umumnya terletak di sekeliling huta/kampung, tetapi ada kalanya juga berada di luar lingkungan tersebut.
Beragamnya fungsi tanah bagi masyarakat Batak Toba mengakibatkan tanah dianggap sebagai benda yang sangat bernilai bagi kehidupannya. Adanya penghargaan terhadap nilai tanah membuat individu-invidu dalam masyarakat 4 Batak Toba berlomba untuk memiliki tanah, tujuannya adalah untuk menunjukan
kekuasaan dan kehormatan (hasangapon) serta menunjukan kekayaan (hamoraon).
Fungsi tanah dari sudut pandang Sosial.
Tanah yang terletak dihalaman kampung merupakan tempat menjemur hasil produksi, tempat bertenun, bertukang, bermain, tempat menari remaja putri, martumba, uapacara adat, ulaon alaman seperti pesta perkawinan, kematian, meminta dan menolak hujan, upacara inisiasi, tempat menyampaikan informasi, tempat peradilan huta, tempat ternak berkeliaran dan lain sebagaimanya.
Fungsi tanah dari sudut pandang Relegi
Sebagai tempat melalukan upacara pemujaan terhadap debata mulajadi nabolon, setiap huta memiliki pemujaan yang dinamakan parsantian. Namun ada kalanya beberapa huta bergabung menjadi satu bius yang disebut parbiusan.
Maksud dan tujuan Tanah.
Sebagai masyarakat yang hidupnya diatur oleh adat, masyarakat Batak Toba senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai adat dan norma-norma adat yang berlaku dalam setiap kehidupannya. Orang yang tidak mengindahkan dan mengabaikan adat akan mendapat sanksi adat.
Begitu juga kaitannya dengan Tanah, masyarakat Batak Toba selalu memaknai arti dan fungsi tanah sesuai dengan adat dan istiadat mereka. Kepemilikan hak atas tanah termasuk didalamnya tanah warisan harus disesuaikan dengan konsep dan aturan adat.
Jika tidak, maka akan dapat menimbulkan konflik. Adanya nilai tanah bagi masyarakat Batak Toba dan beragamnya fungsi tanah bagi masyarakat Batak Toba itu sendiri, ditambah lagi dengan perbedaan konsepsi adat-istiadat tentang tanah akan menimbulkan berbagai pertentangan dan pada akhirnya akan menimbulkan konflik dikalangan orang Batak Toba.
Pada zaman dulu, ketika tanah yang tersedia masih cukup luas untuk pemukiman, produksi hasil tanaman, jarang ditemukan adnaya maslaah-maslah yang berkembang menjadi konflik ditemukan.
Dalam pengertian sehari-hari semua tanah yang dikelola dinamakan hak pakai tanah. Dalam perkembangan selanjutnya, seseorang dapat memiliki tanah melalui pembelian dan jual gadai. Akibatnya, areal tanah kekuasaan adat huta semakin sempit dan sudah mengarah kepada milik perseorangan.
Meskipun sebenarnya hukum adat menghendaki agar pergeseran pemilikan tanah atau penjualan harus dilakukan dengan pihak keluarga dekat dan dihindarkan agar jangan sampai jatuh ke marga yang lain, supaya kelak bias ditebus kembali. Konflik dan persoalan kerusakan lingkungan di tanah Batak sudah sangat massif terjadi
Makna tanah dalam Alkitab.
Alkitab menggambarkan kesatuan manusia dengan alam dalam cerita tentang penciptaan manusia: “Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah” (Kej. 2:7), seperti Ia juga “membentuk dari tanah segala binatang hutan dan segala burung di udara” (Kej. 2:19).
Dalam bahasa Ibrani, manusia disebut “adam”. Nama itu mempunyai akar yang sama dengan kata untuk tanah, “adamah”, yang berarti warna merah kecokelatan yang mengungkapkan warna kulit manusia dan warna tanah.
Dalam bahasa Latin, manusia disebut “homo”, yang juga memunyai makna yang berkaitan dengan “humus”, yaitu tanah. Dalam artian itu, tanah yang biasa diartikan dengan bumi, memunyai hubungan lipat tiga yang kait-mengait dengan manusia : manusia diciptakan dari tanah (Kej. 2:7; 3:19, 23), ia harus hidup dari menggarap tanah (Kej. 3:23), dan ia pasti akan kembali kepada tanah (Kej. 3:19; Maz. 90:3).
Di sini nyata bahwa manusia dan alam (lingkungan hidup) hidup saling bergantung sesuai dengan hukum ekosistem. Karena itu, kalau manusia merusak alam, maka secara otomatis berarti ia juga merusak dirinya sendiri.
Ada hubungan yang erat antara manusia dan tanah.
Tanah bukanlah melulu sebuah obyek atau sesuatu yang manusia jumpai dan hadapi. Manusia sendiri adalah tanah (Maz 103: 14) Menajga tanah sama dengan menjaga hidupan. Menjual tanah identik dengan menjual kehidupan. Menguasai tanah seseorang setali tiga uang dengan menguasai kehidupan orang itu.
Merusak dan menghancurkan tanah di satu tempat sama dengan merusak dan menghancurkan kehidupan orang yang berasal dari tanah itu.
Dalam kepercayaan umat Israel, pemberian tanah merupakan puncak dan penggenapan dari suatu rentetan perbuatan-perbuatan Allah.
Pemberian tanah itu dimaksudkan Allah untuk menjadikan Israel sebagai milik-Nya yang kudus (Im 20:18; Kel 31:13).
Dengan diberikannya tanah tersebut maka, Allah mengharapkan suatu respon, yaitu suatu jawaban atau penetapan sikap dari pihak Israel sendiri. Allah yang menguduskan umatnya merupakan sebuah formula mengenai makna teologis dari tanah.
Dalam PL kata tanah disebut sebagai אֶרֶץ (eretz) yang berarti ‘bumi’ atau ‘negeri’. Kata ‘eretz’ tersebut, mengungkapkan nilai tanah yang bersumber pada pengalaman manusia yang nyata, yakni tanah sebagai suatu lingkungan hidup yang menghidupkan.
Allah lewat segala perbuatan-Nya telah menunjukkan pengudusan akan Israel. Menurut kesaksian PL, Allah menumbuhkan kesadaran dan kegiatan Israel dalam tiga dimensi, yang disebut sebagai ikatan kasih. Pertama, sadar bahwa YHWH selaku Allah-Nya; kedua, sadar akan diri-Nya selaku umat YHWH; dan ketiga, sadar akan tugasnya terhadap bangsa-bangsa disekitarnya.
Israel telah dipilih sebagai umat, dibebaskan dari perbudakkan, diangkat menjadi hamba dan anak yang sulung, serta telah mengetahui akan kehendak dari Allah.
Pemberian tanah menjadi kenyataan bahwa Israel diperhadapkan kepada suasana yang baru, untuk menampilkan respon timbal balik akan perhatian Allah.
Karena fungsi tanah tadi adalah penting agar kelangsungan hidup tanah dijaga. Salah satu ketentuan yang digariskan oleh Allah ialah bahwa tanah itu tidak boleh dipindah tangankan.
Dalam bilangan 36:1-13 ditegaskan bahwa tanah yang sudah dibagi bagikan Tuhan kepada keduabelas belas suku Israel dengan membuang undi pada saat pendudukan Kanaan, tidak boleh dibalik nama hak kepemilikannya.
Hidup yang dijalani di atas tanah dengan mengabaikan hukum dan ketentuan yang ditetapkan Tuhan hanya akan mendatangkan berbagai kesulitan, malapetaka dan bencana, seperti tidak akan ada hujan dari Tuhan ke atas tanah itu Ulangan 11: 17.
Salah satu akibat dari sikap sewenang wenang atas tanah yang diberikan Tuhan itu disebutkan dalam Imamat 18 : 27-28, yakni tanah itu akan memuntahkan mereka karena telah muak dengan segala kenajisandan kejahatan yang dilakukan di atas tanah itu, atau bahwa Tuhan akan bertindak untuk mengusir dan menghalau penduduk yang menempati tanah itu, lalu tanah itu diberikan ke$ada bangsa yang lain.
Refleksi.
Kebudayaan Batak Toba adalah suatu kebudayaan yang sangat kompleks dan luas. Kita tidak dapat menyentuh dan atau mengklasifikasinya secara mendetail dalam tulisan paper yang singkat ini.
Proses inkulturasi (yang merupakan bentuk proses kontekstualisasi) merupakan usaha integrative yang memadukan segala upaya pemahaman kognitif tentang Alkitab terhadap kontekstualisasi yaitu pemahaman terhadap budaya dan manusia dalam konteks budaya tersebut serta usaha pekabaran Injil dalam mekanisme budaya pada setiap konteks.
Tanah dalam arti dan fungsinya dalam masyarakat Batak Toba sebagai harajaon dan hamoraon yang pewarisanya dan pengaturnya secara patriakat merupakan milik serta symbol dari suatu marga. Masyarakat Batak Toba dimanapun berada akan sangat menjunjung tinggi tanah kelahirannya atau Bonapasogitnya meskipun secara langsung ada yang tidak lahir disana. Hal ini ditandai dengan upaya dari setiap marga untuk membangun tugu nenek moyang di tanah adat warisan nenek moyang tersebut.
Tanah yang telah dijanjikan Allah kepada umat Israel memiliki dua dimensi, yaitu dimensi iman dan dimensi fisik. Bertolak dari PL, maka tanah adalah sesuatu yang sifatnya kudus karena itu adalah hasil pemberian dari Allah kepada umat pilihan yang dikasihi oleh-Nya.
Tanah menjadi anugerah sekaligus sumber kehidupan bagi umat yang mendiaminya. Umat Israel yang telah menerima anugerah tersebut memiki tanggung jawab untuk senantiasa memelihara tanah tersebut dan membangun hubungan yang harmonis terhadap Allah dan sesama.
Tanah semula merupakan tempat dan identitas sebuah kelompok masyarakat menjadi persoalan atau sarana konflik.
Krisis tanah terjadi dimana-mana, bukan hanya persoalan gugat mengungat mengenai siapa pemilik atau penguasa tanah dijaman modern dengan hokum dan aturannya sendiri.
Mari kita perhatikan bagaimana masyarakat memperlakukan tanah sekarang demikian juga agama Kristen ? sebuah pertanyaan yang mengundang banyak pertanyaan. Apakah yang dilakukan masyarakat batak sekarang dengan tanah ? apa pula yang dilakukan kekeristenan terhadap tanah ?
Mari kita lihat, dulu masyarkat begitu menghargai tanah dengan memperlakukan tanah begitu mulia karena memahami makna dan fungsi tanah dalam kehidupannya. Adanya upacara dan ritus-ritus menandai bukti bahwa hubungan dan tanggungjawab terhadap tanah begitu kuat.
Namun apakah hal seperti itu masih berlangsung sampai saat ini ? jarang kita melihat bagaimana masyarakat Batak melakukan upacara adat yang berhubungan dengan tanah demikian juga dengan agama kristen.
Jika dulu masyarakat Batak Toba dikenal kegiatan “Martondi Eme”. Pada saat padi bunting tua, para ibu membawa “itak gurgur dan sanggar” ke sawah dalam bakul. Segenggam itak diletakkan dipematang sawah dan sanggar ditancapkan. Diharapkan padi berkembang dengan baik, jauh dari hama penyakit. Sisa itak gurgur dibagikan kepada semua orang yang lewat, gembala kerbau yang ada disekitar persawahan.
Mereka yang menerima sudah paham bahwa itu pernyataan janji tak terucap akan tanggungjawab bersama akan semua isi sawah dari gangguan burung dan ternak. Ada tanggungjawab moral bagi mereka khususnya yang menerima itak tadi. Jika dulu masyarakat Batak Toba melakukan.
Meskipun dalam tradisi kekristenan ada yang mengenal dengan istilah maniangkan boni atau lopok yang dilaksanakan dalam ibadah khusus. Yang pada prakteknya tangungjawab tersebut etis terhadap tanah dan proses pengolahan tanah kurang mendapat tempat. Penggunaan pupuk kimia dan obat-obatan yang pada prinsipnya hanya untuk mendapatkan hasil yang melimpah tanpa memeperhatikan tangungjawab etis terhadap lingkungan tidak mendapat tempat dalam ibadah terbut.
Untuk itu perlu adanya pertobatan baik dalam pemahaman masyarakat Batak Toba dan kekristenan mengenai perlakuannya terhadapat tanah.
Pertobatan dimaksud ialah bahwa menghormati tanah sebagaimana konsep budaya dan agama yang menandang dan menilai bahwa ada hubungan yang erat antara manusia dan tanah (alam).
Maka sudah saatnya manusia membuktikan tanggungjawab etis itu dalam pertobatan yang kongkrit. Mengunakan atau memanfaatnya merupakan “Ibadah” dan “Pelayanan”.
Dengan menggunakana atau mengolah tanah berarti manusia dalam budayanya atau agamanya telah melakukan Ibadah dan Pelayanan jua karena tanah juga adalah Ciptaan Sang Maha Kuasa.
Sebuah contoh Ibadah dan Pelayanan terhadap tanah/ alam adalah dalam pelayanan holistic “Marsuan Eme” dimana dalam ibadah ini ada pengakuan dan tindakan yang tidak dapat dipisahkan. Ketika kita berdoa agar tanah menjadi tempat bertumbuhnya eme/ padi yang baik dan petani.
Maka petani juga harus mampu melakukan kebaikan kepada tanah/alam. Petani tidak lagi menggunakan pupuk kimia yang menghancurkan tanah dan ekosistemnya, petani tidak lagi menggunakan system tanam yang hanya mementingkan dirinya sendiri, namun mengantinya dengan system SRI, Selaras Alam dan lainya yang ramah lingkungan. Pelayanan holistic ini merupakan salah satu proses adanya inkulturasi antara budaya dan agama.
Daftar Pustaka :
Bungaran Antonius Simanjuntak “ Arti dan Fungsi Tanah” bagi masyarakat Batak Toba, Karo, Simalungun” Pustaka Obor Indonesia Jakarta. 2015
Dr. Cristoph Barth & Marie, Teologi Perjanjian Lama 2, BPK Gunung Mulia
Foster R. Macurly “ Proclamation Comentaries, Genesis Exodus Lexviticus, Number Philadelphia Fortress Press. 1979
J.C. Vergouwen “ Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba” Pustaka Azet, 1985
G. Johannes Botterweck (ed), Theological Dictionary Of the Old Testament Vol II, Grand Rapids, Michigan 1977
Suparlan, Parsudi (ed). (1993). Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungannya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Tb. Zulrizka Iskandar. “ Psikologi Lingkungan Metode dan Aplikasi “Aditama 2013
Penulis adalah Mahasiswa Program Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Teologia (STT) Paulus Medan, Tulisan ini adalah pengembangan dan diskusi kelas mata kuliah Hubungan Teologia & Budaya.
Pdt. JP. Robinsar Siregar S. Th. Juga sebagai Sekretaris Eksekutif LPPM Kantor Sinode GKPI-Pematangsiantar.
Pdt. JP. Robinsar Siregar S. Th. Juga sebagai Sekretaris Eksekutif LPPM Kantor Sinode GKPI-Pematangsiantar.
JP Robinson Siregar, mahasiswa program pasca sarjana S2 Sekolah Tinggi Teologia (STT) Paulus Medan. Materi ini hasil diskusi bersama Dr. Hery Buha Manalu pada mata kuliah Hubungan Teologia dan Budaya.