Oleh : Emanuel Sembiring, Mahasiswa Teologi STT Paulus, Prodi Teologi
Perspektif Sosiologi Agama dan Refleksi Teologis
Dalam perilaku kehidupan sosial-keagamaan, agama sering kali tampil sebagai sumber nilai, moral, dan makna hidup. Namun, tidak jarang pula agama justru dijadikan alat untuk membangun tembok pemisah antar kelompok. Fenomena ini memperlihatkan wajah paradoks agama, di satu sisi mempersatukan, di sisi lain bisa memecah belah. Dalam konteks inilah, Sosiologi Agama menjadi penting untuk membantu kita memahami peran agama secara kritis, bahwa agama bukan hanya urusan spiritual, tetapi juga memiliki dimensi sosial yang mempengaruhi perilaku dan struktur masyarakat.
Menurut Émile Durkheim, salah satu pendiri Sosiologi Agama, fungsi utama agama adalah menciptakan solidaritas sosial. Bagi Durkheim, agama merupakan “lem sosial” yang menyatukan individu dalam kesadaran kolektif. Ritual-ritual keagamaan, doa bersama, atau ibadah komunitas menjadi momen ketika manusia merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri. Dalam praktik yang sehat, agama melahirkan kesadaran sosial dan kebersamaan. Namun, ketika agama disalahgunakan sebagai alat politik atau kepentingan kelompok, solidaritas berubah menjadi eksklusivitas, dari yang seharusnya inklusif menjadi pembeda yang kaku antara “kami” dan “mereka”.
Pandangan serupa disampaikan oleh Peter. Berger, yang menyebut agama sebagai sacred canopy, “atap suci” yang memberikan makna dan tatanan bagi kehidupan sosial. Agama membantu perilaku manusia memahami dunia yang kompleks dan memberi arah moral dalam bertindak. Namun, jika makna sakral ini diklaim hanya milik kelompok tertentu, maka atap yang seharusnya menaungi semua orang berubah menjadi tembok yang memisahkan. Karena itu, perilaku keagamaan harus diarahkan untuk membangun solidaritas yang terbuka dan humanis, bukan fanatisme yang menutup diri.

Secara teologis, solidaritas sejati bersumber dari kasih Allah yang mempersatukan semua manusia tanpa batas. Alkitab menegaskan bahwa setiap manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Imago Dei, Kejadian 1:27). Kesadaran ini menumbuhkan penghargaan terhadap martabat setiap orang, apapun latar belakangnya. Dalam surat Galatia 5:14, Rasul Paulus menulis: “Sebab seluruh hukum Taurat tercakup dalam satu firman ini: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Kasih menjadi fondasi perilaku sosial yang menghidupkan solidaritas. Tanpa kasih, iman hanya tinggal slogan kosong.
Yesus Kristus menunjukkan perilaku solidaritas yang radikal melalui tindakan nyata. Ia tidak hanya mengajar tentang kasih, tetapi menembus batas sosial dan budaya pada zamannya. Ia berbicara dengan perempuan Samaria (Yohanes 4:7-26), menyentuh orang kusta (Markus 1:41), dan makan bersama para pemungut cukai (Lukas 5:29-32). Tindakan-tindakan ini menunjukkan bahwa solidaritas bukan sekadar empati, melainkan keberanian untuk menembus sekat sosial demi menghadirkan kasih Allah yang menyeluruh. Dengan demikian, iman Kristen tidak boleh berhenti pada ritual, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan sosial yang membangun persaudaraan universal.
Dalam konteks masyarakat modern yang semakin terfragmentasi, tugas Gereja dan umat beriman adalah menghadirkan perilaku solidaritas yang membebaskan. Gereja seharusnya menjadi ruang di mana setiap orang diterima tanpa diskriminasi, sebuah komunitas yang meneladani Kristus Sang Pelayan. Seperti tertulis dalam Efesus 2:14, “Sebab Dialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan merobohkan tembok pemisah, yaitu perseteruan.” Di sinilah iman dan sosiologi bertemu: solidaritas bukan hanya hasil kesadaran sosial, tetapi juga buah dari kasih karunia Allah yang menyatukan semua ciptaan dalam Kristus.
Dengan memahami Sosiologi Agama, mahasiswa teologi diharapkan mampu melihat bahwa iman tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sosial. Iman sejati mendorong perubahan perilaku, dari eksklusif menjadi inklusif, dari mementingkan diri menjadi peduli terhadap sesama. Solidaritas bukan sekadar konsep sosial, melainkan wujud konkret dari spiritualitas yang hidup.
Pada akhirnya, perilaku yang menciptakan solidaritas adalah panggilan teologis dan sosial bagi setiap orang beriman. Ketika kita hidup saling menopang dan menghormati, kita sedang menghidupkan kasih Kristus di dunia nyata. Agama tidak lagi menjadi dinding pemisah, melainkan jembatan kasih yang menghubungkan manusia dengan sesamanya dan dengan Allah. (Red/*)
Tulisan ini adalah, pengembangan dari materi mata kuliah dan diskusi kelas pada Sosiologi Agama.



