Kopi Times – “Pemerintah mengakui warganya tinggal di kawasan hutan, tapi lahan tempat mereka hidup dan berkebun justru dianggap ilegal.” Begitu ungkapan tajam Jondamay Sinurat, kuasa hukum perkara Nomor 181/PUU-XXII/2024 di Mahkamah Konstitusi.
Perkara ini diajukan oleh Sawit Watch, sebagai bentuk perlawanan hukum terhadap pasal-pasal dalam Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) yang dinilai mengancam keberadaan petani kecil di kawasan hutan. Judicial review ini kini sudah memasuki tahap akhir, dengan kesimpulan telah diserahkan ke MK pada 24 Juni 2025 lalu.
Dalam diskusi publik bertajuk “Menanti Putusan Mahkamah Konstitusi: Kemana Arah Nasib Petani Sawit?”, Jondamay menyoroti ironi negara yang memberi fasilitas publik seperti sekolah, puskesmas, rumah ibadah, hingga kantor desa di wilayah yang kini disebut ilegal. “Bahkan pemilu sudah digelar beberapa kali di sana. Tapi hak atas tanahnya tidak diakui. Ini sangat bertentangan dengan rasa keadilan,” ujarnya.

Diskusi yang digelar secara daring oleh Sawit Watch itu juga menghadirkan berbagai pihak. Grahat Nagara, akademisi, menjelaskan bahwa pasal-pasal yang digugat bisa jadi alat kriminalisasi masyarakat petani. Ia menekankan pentingnya pengakuan terhadap tanah adat sebagai bagian dari identitas dan proses menjadi warga negara Indonesia.
Sementara itu, Gunawan, penasihat senior dari Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), menambahkan bahwa meski ada pengecualian dalam pasal-pasal tersebut, syaratnya sangat ketat dan tumpang tindih. Ia juga mengingatkan soal Putusan MK Nomor 95/PUU-XXII/2014 yang sudah menegaskan bahwa masyarakat adat dan petani yang tinggal di kawasan hutan tidak seharusnya dikriminalisasi.
Kepala Desa Ujung Gading Julu, Parubahan Hasibuan, hadir menyampaikan kondisi lapangan. Ia menyuarakan keresahan warganya yang hidup dalam ketidakpastian hukum. “Kami tidak tahu lagi bagaimana nasib kami jika lahan kami dianggap salah oleh negara sendiri,” ujarnya.
Diskusi juga menghadirkan Ahmad Zazali dari PURAKA yang mengangkat kasus penertiban kebun sawit di Taman Nasional Tesso Nilo, serta Nora Hidayati dari Perkumpulan HuMa yang menyoroti pentingnya peran masyarakat adat dalam menjaga hutan, bukan malah dimusuhi negara.
Kini, masyarakat adat dan petani sawit hanya bisa berharap pada Mahkamah Konstitusi. Putusan perkara 181/PUU-XXII/2024 akan menjadi ujian besar: apakah hukum akan berpihak pada keadilan sosial, atau tetap pada logika hukum kolonial yang kaku? (Stefanus Gulo)



