Oleh: Hery Buha Manalu
Penataan wilayah administrasi adalah bagian penting dari pembangunan sebuah negara yang tertib, adil, dan teratur. Kejelasan batas wilayah bukan sekadar soal garis di peta, tetapi berhubungan erat dengan kepastian hukum, efektivitas pelayanan publik, dan pemerataan pembangunan. Maka, langkah pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dalam menata ulang batas wilayah antara Aceh dan Sumatera Utara, termasuk penetapan empat pulau di perbatasan, sepatutnya kita lihat sebagai bagian dari upaya menata Indonesia agar lebih teratur dan berdaya saing, bukanlah menjadi sebuah potensi polemik.
Keputusan Kemendagri yang menetapkan Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek sebagai bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, melalui Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, memang memunculkan polemik. Pemerintah Aceh dan beberapa tokoh adat mengklaim bahwa pulau-pulau tersebut bagian dari sejarah dan identitas Aceh. Namun di sisi lain, pemerintah pusat menegaskan bahwa keputusan tersebut sudah melalui kajian panjang yang melibatkan banyak pihak dan telah diproses sejak lama.
Di tengah polemik ini, kita perlu melihat persoalan ini dengan kepala dingin. Jangan sampai kita terjebak dalam semangat sektoral yang akhirnya mengorbankan persatuan bangsa. Penataan wilayah bukanlah sebuah ajang perebutan kekuasaan, melainkan sebuah kebutuhan administratif untuk mempertegas batas, mempercepat pelayanan, dan memastikan pembangunan yang merata.
Perdebatan batas wilayah memang sering menjadi isu sensitif, tetapi masyarakat perlu memahami bahwa kejelasan batas justru penting untuk menghindari konflik di masa depan. Ketidakjelasan wilayah sering menjadi akar sengketa lahan, ketimpangan pelayanan, dan bahkan ketegangan sosial antarwarga.
Menata Ribuan Pulau Indonesia
Perlu diketahui, keputusan ini bukanlah keputusan yang tiba-tiba muncul. Sejak tahun 2008, Tim Nasional Pembakuan Rupabumi sudah melakukan verifikasi dan pencatatan atas pulau-pulau di seluruh Indonesia, termasuk pulau-pulau di kawasan perbatasan Aceh dan Sumut. Proses ini melibatkan kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah dari berbagai tingkatan. Ini adalah bagian dari pekerjaan besar untuk menata ribuan pulau Indonesia yang sebelumnya belum terdata dengan baik.
Karena itu, tudingan yang dialamatkan kepada Gubernur Sumatera Utara, seolah-olah ada kepentingan tersembunyi, menurut saya kurang tepat. Gubernur Sumut hanyalah bagian dari sistem administrasi yang mengikuti keputusan pemerintah pusat. Justru, langkahnya untuk membuka ruang dialog dengan Gubernur Aceh adalah contoh sikap pemimpin yang ingin menyelesaikan masalah dengan cara damai dan beradab.
Kemendagri juga sudah menunjukkan sikap terbuka dengan menawarkan ruang untuk melakukan kajian ulang bersama. Artinya, pintu musyawarah tetap dibuka, dan semua pihak masih bisa terlibat dalam proses penyempurnaan jika memang ada data yang perlu diperiksa ulang. Ini menunjukkan bahwa pemerintah pusat tidak anti-kritik dan tidak menutup ruang partisipasi publik.
Menjaga persatuan dan kerukunan jauh lebih penting daripada memperpanjang perdebatan batas wilayah. Indonesia dibangun di atas semangat persatuan dalam perbedaan. Jangan sampai perbedaan administratif memecah rasa kebersamaan yang sudah lama terjalin antara masyarakat Aceh dan Sumatera Utara. Kita semua satu bangsa, satu tanah air.
Perlu juga diingat, jangan sampai potensi sumber daya alam seperti migas atau keuntungan ekonomi dari sebuah wilayah menjadi alasan untuk memperuncing konflik. Kekayaan alam seharusnya menjadi berkat bersama, bukan sumber perpecahan. Kepentingan bangsa harus tetap lebih tinggi daripada kepentingan daerah.
Menjaga Indonesia dan Persaudaraan
Persoalan seperti ini seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat dialog, bukan memperbesar kecurigaan. Mari kita kedepankan cara-cara yang elegan dan damai. Duduk bersama, berbicara dengan hati terbuka, dan mencari jalan keluar yang saling menguntungkan. Bangsa ini sudah cukup sering dirugikan oleh konflik, jangan lagi kita biarkan perbedaan wilayah menjadi pemicu retaknya persatuan.
Mari kita jaga Indonesia dengan semangat persaudaraan. Jangan korbankan persatuan demi perebutan wilayah. Karena pada akhirnya, batas administratif bisa berubah, tetapi persaudaraan dan rasa kebangsaan harus selalu kita rawat.
Sebagai bangsa besar yang dibangun di atas keberagaman, kita harus belajar menempatkan kepentingan nasional di atas segala perbedaan administratif. Jangan biarkan persoalan batas wilayah mengikis persaudaraan yang telah terjalin turun-temurun antara masyarakat Aceh dan Sumatera Utara. Indonesia ini terlalu mahal harganya untuk dipertaruhkan demi kepentingan sesaat. Kita boleh berbeda asal usul, budaya, dan identitas lokal, tetapi kita disatukan oleh satu tanah air yang bernama Indonesia. Perdebatan boleh, kritik sah, tetapi jangan sampai persatuan dikorbankan.
Karena pada akhirnya, bukan siapa yang menguasai wilayah yang akan dikenang, tetapi siapa yang mampu menjaga persaudaraan dan merawat Indonesia dengan kebesaran jiwa. Mari kita buktikan, kita adalah generasi yang lebih dewasa dalam menghadapi perbedaan, yang lebih bijaksana dalam memutuskan, dan lebih kuat dalam menjaga keutuhan bangsa. Persatuan adalah warisan yang tidak boleh kita lepas, demi masa depan Indonesia yang damai dan sejahtera.
Penulis adalah Akademisi, dan Pendiri PUSAKA (Pusat Studi Alam, Budaya, dan Kebangsaan untuk Indonesia )