Foto : Ist
Oleh: Thompson Hs
Kopi Times – Pertunjukan “Warna Danau” di Ballroom Hotel Grand Mercure Medan semalam (16.12) dihadiri 250-an penonton. Penonton mengisi semua kursi dan ada juga yang berdiri. Para penonton terutama dari jejaring pemain atau tim, lingkungan kampus (akademisi/peneliti), jejaring serta pegiat budaya, masyarakat umum, agen travel, dan lain-lain. Penonton dari pejabat- pejabat tinggi daerah Sumatera Utara sengaja tidak diundang, kecuali Kadisbudpar Sumut, Zumri Sulthony. Pertunjukan dibuka oleh Plt Bpnb Aceh , Drs. Nurmatias lewat rekaman yang ditayangkan.
Sebagai sutradara saya menerima buket bunga dari Kadisbudpar Sumut di atas panggung seusai pertunjukan, didampingi pejabat PPK Bpnb Aceh, Piet Rusdi . Di Jakarta dan Padang saya juga menerima buket bunga sebagai penghargaan simbolik setiap pertunjukan. Itu biasa secara normatif di panggung-panggung yang dianggap mewah.
Dari para penonton minta berfoto secara bergantian, bersama saya dan atau semua pemain. Seusai pertunjukan suasana sudah bebas. Para fotografer dan teknisi membongkar semua peralatan kerjanya. Salam-salaman juga lebih ramai dan akrab. Satu dua penonton via Live Streaming mengucapkan selamat. Mereka ingin menonton pertunjukan sekali lagi. Tapi out-put Live Streaming segera tidak bisa diakses lagi. Saya belum dapat melihat respon penonton dari luar negeri, seperti dari Belanda dan Jerman. Jejaring di sana proaktif mengamati karya baru ini sejak awal. Sebelum pertunjukan di Padang, salah satu jaringan di luar negeri menyatakan “Warna Danau” layak dibawa ke Eropa. Tentu saja layak jika promosi lewat pertunjukan seperti ini tetap dengah dukungan sponsorshipnya.
Seperti biasa saya selalu melakukan evaluasi kecil seusai pertunjukan. Sebelumnya saya sudah memperhatikan semua pemain berbenah dan masing-masing menerima satu tas kantong berisi buku-buku terbitan Bpnb Aceh. Harapan itu terwujud agar para pemain pulang dan dapat membaca buku-buku itu di sela-sela kesehariannya kembali. Beberapa dari buku ada yang terkait dengan materi pertunjukan meskipun tidak keseluruhan WBTBI (Warisan Budaya Tak Benda Indonesia) dari 4 puak. Apalagi materi pertunjukan yang bukan WBTBI.
Naskah “Warna Danau” saya tulis merujuk ke banyak buku. Jadi tidak hanya terbitan resmi Bpnb Aceh dan publikasi via internet. Ada 13 WBTBI 4 puak saya coba angkat ke dalam naskah “Warna Danau” dan lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan yang bukan WBTBI. Pembelian buku-buku tertentu juga harus dilakukan untuk pengolahan semua materi dan ide yang mau diwujudkan. Penulisan naskah bukan seperti catatan konseptual dalam kerja-kerja kuratorial karena sebelumnya itu sudah disediakan. Penulisan sebuah naskah pertunjukan merupakan permintaan dari gambaran besar secara kuratorial dan bisa diminta kepada penulis khusus yang paham dan fasih dengan tuntutan yang tercantum di konsep kuratorial.
Nah, lazimnya saya sebagai penulis naskah adalah penulis pesanan sesuai permintaan kuratorial. Tapi sebagai kuratorial saya agak sulit menemukan seorang penulis yang bisa mengejar target program ini. Kalau kuratorial bisa seperti kontraktor maka saya akan membentuk satu tim penulis dan membayar mereka secara profesional. Sebagai kuratorial saya tinggal seperti kepala program yang mengawal pelaksanaan konsep dari awal hingga akhir. Sebagai kuratorial saya berhak bertanya untuk semua proses, termasuk perkembangan untuk kehadiran teknis. Ini tidak ecek-ecek.
Naskah “Warna Danau” sudah tersebar ke beberapa link di luar tim produksi, baik untuk kepentingan jurnalisme maupun pembelajaran proses penulisan naskah secara standar. Pola penulisan sebuah naskah pertunjukan juga beda dengan naskah konseptual kuratorial. Pertunjukan-pertunjukan naskah kuratorial boleh membuka improvisasi pertunjukan tambahan, di luar naskah pertunjukan yang diutamakan. Pertunjukan pembuka sebelum “Warna Danau” di setiap tempat disemarakkan grup-grup yang tidak tercantum dalam naskah, baik naskah kuratorial maupun naskah “Warna Danau”. Tapi tampaknya menjadi pelengkap suasana dan perbandingan apresiasi.
Bagaimana lagi proses naskah “Warna Danau” ditulis di luar pola naskah kuratorial? Tanpa integritas kepada negara dan republik semua proses tampaknya harus melibatkan banyak profesional lagi ke depan. Bicara spesialisasi memang belum menjadi perhatian karena pola-pola naskah masih terbatas untuk dipahami para pembaca.
Saya menjadi teringat satu catatan bahwa penonton datang ke tempat atau pertunjukan adalah untuk menonton pertunjukan, bukan menonton hafalan naskah. Para penulis naskah kesepian, kecuali kalau proses terjadinya naskah itu menjadi objek penelitian. Memang belum banyak naskah pertunjukan diapresiasi di mana-mana karena penulis naskah juga masih dianggap penumpang dalam popularitas sutradara dan formalitas kuratorial.
Semoga “Warna Danau” mengubah perspektif kepada cara mengapresiasi kerja-kerja profesional, terakses atau tidak ke lumbung penghargaan intelektual dan ekonomi. Semoga semua yang terlibat di dalam struktur produksi “Warna Danau” mengalami keberhasilan dan kesejahteraan di tingkat paling lazim. Negara hadir pada “Warna Danau” dan mengajak para penontonnya pulang kepada kekayaan budaya dan penghormatan yang tercermin dalam tradisi leluhur, khusus kali ini untuk Destinasi Super Prioritas (Danau Toba). Dan semoga semua mahluk di dunia ini berbahagia. (Rel/Hery B Manalu)