Oleh: Hery Buha Manalu
Dalam sistem keuangan modern, rekening bank tidak hanya berfungsi sebagai alat transaksi, tetapi juga sebagai simbol kepercayaan publik terhadap negara dan lembaga keuangan. Namun, ketika sebuah rekening mendadak dinyatakan “dormant” atau bahkan diblokir tanpa pemberitahuan yang layak, dampaknya tidak hanya bersifat administratif, melainkan menembus aspek psikologis dan sosial, terutama bagi masyarakat akar rumput.
Fenomena rekening dormant menyisakan luka,kepercayaan, mengikis rasa aman, dan menciptakan jarak antara rakyat kecil dengan institusi yang seharusnya melindungi mereka.
Ketika Kepercayaan Menjadi Korban Sistem
Bagi banyak masyarakat di lapisan bawah, membuka rekening bank adalah lompatan kepercayaan besar terhadap sistem. Mereka menitipkan tabungan dari hasil kerja keras, percaya bahwa uang itu akan aman. Namun, ketika tiba-tiba rekening tak bisa diakses karena dianggap “dormant”, masyarakat merasa ditinggalkan.
Mereka tidak memahami istilah teknis, tidak tahu prosedur reaktivasi, dan tidak mendapatkan penjelasan manusiawi. Ini menciptakan trauma ekonomi dan ketidakpercayaan kolektif, yang sering kali menular antargenerasi sebagai narasi negatif terhadap perbankan.
Dampak Psikososial
Rasa kecewa akibat kehilangan akses ke rekening menimbulkan efek psikososial yang serius. Warga merasa dianggap tidak penting, bahkan seolah-olah tak punya eksistensi dalam sistem. Rasa malu muncul ketika mereka harus berurusan dengan birokrasi yang rumit atau harus menjelaskan kepada keluarga bahwa rekening mereka “dibekukan”.
Dalam jangka panjang, ini bisa memunculkan sikap apatis, sinis terhadap pemerintah, dan menolak partisipasi dalam program keuangan formal. Bagi sebagian komunitas, ini bukan sekadar soal uang, melainkan soal identitas dan harga diri.
Masyarakat Akar Rumput dan Krisis Representasi Sosial
Kasus rekening dormant menunjukkan bahwa sistem keuangan sering kali gagal merepresentasikan realitas sosial masyarakat akar rumput. Tidak semua orang punya rutinitas transaksi digital, apalagi pemahaman soal KYC atau prosedur otentikasi.
Ketika sistem tidak mengenali kebutuhan dan keterbatasan mereka, maka kebijakan yang lahir cenderung eksklusif, menyisakan jutaan warga dalam status “terlupakan.” Hal ini mempertegas kesenjangan sosial antara elit kebijakan dan realitas warga biasa.
Pemulihan Kepercayaan Melalui Empati Sistemik
Kepercayaan yang runtuh harus dipulihkan, bukan dengan jargon, tetapi dengan empati sistemik. Layanan pelanggan bank harus dilatih untuk menghadapi warga dengan sensitivitas sosial.
Prosedur reaktivasi rekening dormant harus sederhana dan proaktif, disosialisasikan lewat kanal lokal seperti rumah ibadah, pasar, atau komunitas adat. Pemerintah dan otoritas keuangan harus memulai pendekatan yang humanistik, menempatkan warga bukan sekadar sebagai “pemilik data,” tetapi sebagai manusia yang punya cerita dan hak ekonomi.
Rekening dormant bukan hanya soal saldo tidak bergerak, tetapi tentang hubungan sosial yang retak antara rakyat dan sistem. Jika negara dan perbankan ingin membangun ekonomi yang berkelanjutan dan berkeadilan, maka langkah pertama adalah memulihkan kepercayaan yang telah runtuh.
Kita butuh sistem yang tidak hanya pintar secara digital, tetapi juga bijaksana secara sosial, karena ekonomi yang sehat hanya mungkin tumbuh di atas fondasi kepercayaan sosial yang kuat.