spot_img
BerandaOpiniSaat Air Terjun, Hujan, dan Dompet Kosong Menjadi Satu Cerita

Saat Air Terjun, Hujan, dan Dompet Kosong Menjadi Satu Cerita

Oleh : Andrean Bintang Maulana, Mahasiswa Komunikasi Digital danM edia Sekolah Vokasi IPB University

Matahari bersinar terik siang itu, memantulkan cahaya ke aspal yang mulai dipadati kendaraan. Deru motor bersahutan di jalanan Megamendung, sementara angin pegunungan membawa kesejukan yang perlahan meresap ke kulit. Aku, Syafiq, Rafif, dan Irsyad melaju di atas motor, membawa semangat spontan yang baru saja muncul di tengah obrolan ringan. Kelelahan setelah kuliah terasa begitu pekat, dan tanpa banyak berpikir, kami memutuskan untuk pergi ke Curug Cilember. Tidak ada rencana matang, tidak ada persiapan yang ada hanya keinginan sederhana untuk sejenak kabur dari rutinitas.

Yang lebih konyol, dari kami berempat, hanya Irsyad yang memiliki cukup uang untuk perjalanan ini. Aku, Syafiq, dan Rafif? Mengandalkan kemurahan hatinya. Tapi bagi kami, uang bukan alasan untuk menunda keseruan. Dengan ransel seadanya dan motor yang siap melaju, kami menembus jalanan Megamendung, merasa antusias sekaligus sedikit cemas dengan keputusan mendadak ini.

Sepanjang perjalanan, momen-momen kocak mulai bermunculan. Saat berhenti di sebuah minimarket untuk membeli bekal, aku spontan melontarkan lelucon tentang croissant yang aku plesetkan menjadi “Cristiano.” Aku sendiri tak paham mengapa aku mengatakannya, tapi reaksi teman-temanku sungguh di luar dugaan. Mereka tertawa terbahak-bahak, hingga beberapa orang di minimarket ikut menoleh penasaran. Sejak saat itu, sepanjang perjalanan, mereka terus menggoda dan mengulang candaan itu.

Setelah sekitar satu jam perjalanan, akhirnya kami tiba di Curug Cilember. Tempat itu begitu sepi, seolah-olah hanya diperuntukkan bagi kami berempat. Namun, perjalanan belum selesai. Kami masih harus trekking selama sepuluh menit untuk mencapai air terjun. Awalnya, Irsyad yang sok tahu dan sok kuat tampak sangat percaya diri. Tapi baru beberapa menit berjalan, dia sudah mulai mengeluh capek. Aku dan yang lainnya hanya bisa tertawa, puas karena akhirnya dia menyerah juga.

Begitu tiba di curug, air yang jernih dan udara yang segar langsung menyambut kami. Sejenak, semua beban dan kepenatan luruh begitu saja. Kami bercanda, berbincang, dan menikmati ketenangan yang jarang kami dapatkan di tengah kesibukan kuliah. Syafiq, seperti biasa, tak pernah melewatkan kesempatan untuk mengabadikan momen. Tangannya tak pernah lepas dari ponsel, sibuk mendokumentasikan perjalanan ini untuk kontennya. “Biar ada kenangannya,” katanya sambil tersenyum puas. Aku melihatnya sekilas, lalu berpikir, mungkin di masa depan, video-video itu akan jadi pengingat bahwa kami pernah muda, pernah sebebas ini, pernah seceria ini.

Salah satu momen yang paling membuatku malu adalah ketika mereka menantangku melompat dari tebing kecil ke dalam kolam air terjun. Aku ragu-ragu, tapi mereka terus meledekku. “Ayo, ini kesempatanmu membuktikan keberanian!” kata mereka dengan nada menggoda. Aku mencoba mengumpulkan keberanian, tapi pada akhirnya hanya bisa tersenyum kecut melihat mereka tertawa puas karena berhasil meledekku. Aku mungkin kalah dalam tantangan ini, tapi setidaknya aku menang dalam menjaga nyali tetap utuh atau mungkin itu hanya alasan semata.

Namun, hari itu bukan aku saja yang bernasib sial. Rafif justru menjadi orang paling apes di antara kami. Sejak awal perjalanan, dia baru sadar kalau dompetnya tertinggal di rumah. Mau tak mau, dia harus bergantung pada Irsyad, meminjam uang untuk membeli bekal hingga membayar tiket masuk. Kami tentu saja tidak melewatkan kesempatan untuk menggoda dan mengingatkannya setiap kali dia mengambil sesuatu. “Tenang, cicilan bisa lunas tahun depan,” candaku yang langsung disambut gelak tawa.

Saat hari mulai sore, kami memutuskan untuk pulang. Namun, takdir berkata lain.
Hujan deras tiba-tiba mengguyur di tengah perjalanan. Kami terpaksa berteduh di sebuah minimarket. Lagi-lagi, Rafif harus meminjam uang Irsyad untuk membeli air mineral dan mie instan. Kami duduk di bangku kecil minimarket, menikmati suasana sambil membicarakan masa depan yang penuh ketidakpastian. Rasanya aneh, bagaimana obrolan ringan bisa terasa begitu dalam saat dihabiskan bersama orang-orang yang paling mengerti kita. Ada tawa, ada canda, tapi juga ada harapan yang diam-diam terselip di antara percakapan kami.

Ketika hujan mulai reda, kami pun melanjutkan perjalanan pulang. Perjalanan ini mungkin tidak direncanakan dengan baik, tapi justru itulah yang membuatnya terasa istimewa. Kadang, rencana terbaik adalah yang tidak direncanakan sama sekali. Dan hari itu, aku merasa benar-benar hidup. Tidak ada yang lebih berharga dari
kebersamaan, dari tawa-tawa kecil yang tulus, dan dari perjalanan yang akan selalu kami kenang sebagai salah satu hari terbaik dalam hidup kami. (Red/*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini