spot_img
BerandaArtikelSetiap Warga Negara Wajib Menjaga Lingkungan Hidup, Termasuk Tano Batak

Setiap Warga Negara Wajib Menjaga Lingkungan Hidup, Termasuk Tano Batak

Oleh : Hery Buha Manalu

Perlindungan lingkungan hidup di Indonesia diatur dengan tegas melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Undang-undang ini menjadi dasar bagi seluruh kebijakan dan tindakan yang berkaitan dengan pelestarian alam. Di dalamnya, negara menegaskan bahwa setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup.

Pasal 67 menegaskan bahwa setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Ini bukan hanya kewajiban hukum, melainkan panggilan etis bahwa setiap individu bertanggung jawab atas keberlanjutan bumi. Alam bukan milik satu generasi, tetapi warisan yang harus dijaga bagi generasi mendatang.

Tanggung Jawab Kolektif, Dari Negara ke Individu

Undang-undang tersebut menegaskan bahwa menjaga lingkungan bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau lembaga resmi, melainkan tugas bersama seluruh warga negara. Pemerintah mengatur kebijakan dan pengawasan, pelaku usaha wajib menerapkan prinsip berkelanjutan, sementara masyarakat bertanggung jawab untuk mengawasi, mengingatkan, dan berpartisipasi aktif dalam pelestarian alam.

Coffee banner ads with 3d illustratin latte and woodcut style decorations on kraft paper background

Pasal 70 memberi hak kepada masyarakat untuk ikut serta dalam perlindungan lingkungan, mulai dari memberikan saran, menyampaikan pengaduan, hingga ikut dalam perencanaan kebijakan. Hal ini mencerminkan bahwa perlindungan lingkungan hidup adalah sistem sosial yang menuntut keterlibatan semua pihak, bukan sekadar instrumen hukum yang bersifat administratif.

Nilai Ekologis dalam Budaya Batak Toba

Dalam konteks Tanah Batak, nilai-nilai ekologis telah lama hidup dalam pandangan budaya masyarakat Batak Toba. Alam tidak pernah dipandang sekadar sumber daya, tetapi bagian dari kehidupan yang harus dihormati. Falsafah Dalihan Na Tolu mengajarkan keseimbangan dan saling menghormati, antara manusia, sesama, dan ciptaan Tuhan. Prinsip ini sejalan dengan gagasan ekologis modern tentang harmoni ekosistem.

Bagi orang Batak, tanah (tano), air (aek, tao), hutan (harangan), dan gunung (dolok) memiliki nilai spiritual dan sosial. Alam bukan objek untuk dieksploitasi, tetapi subjek yang hidup dan berinteraksi dengan manusia. Maka, ketika alam dirusak, sebenarnya yang terguncang bukan hanya ekosistem, tetapi juga tatanan sosial, budaya, dan spiritual masyarakat Batak.

Danau Toba, Cermin Hubungan Manusia dan Alam

Danau Toba, sebagai jantung Tanah Batak, merupakan simbol keseimbangan antara manusia dan alam. Airnya memberi kehidupan, tanah di sekitarnya memberi hasil, dan pemandangannya memberi ketenangan. Namun kini, danau ini menghadapi ancaman serius: pencemaran limbah, penebangan hutan, dan eksploitasi lahan di sekitar kawasan.

Masalah ini tidak bisa dipandang sebagai tanggung jawab pemerintah semata. Setiap warga di sekitar Danau Toba, baik masyarakat adat, pengusaha, pelaku wisata, maupun akademisi, memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga kejernihan air, melindungi hutan di sekitarnya, dan memastikan pembangunan dilakukan dengan prinsip berkelanjutan. Menjaga Danau Toba bukan hanya melestarikan alam, tetapi juga menjaga martabat budaya Batak dan keberlanjutan hidup generasi berikutnya.

Dalam perspektif teologi ekologi, alam adalah bagian dari karya ciptaan Tuhan yang baik adanya (tov). Manusia diberikan mandat bukan untuk menguasai bumi secara rakus, tetapi untuk memeliharanya dengan kasih dan tanggung jawab. Menjaga lingkungan, dengan demikian, adalah wujud iman yang nyata.

Setiap tindakan kecil, menanam pohon, menjaga kebersihan air, atau menolak pencemaran, merupakan bentuk ibadah ekologis. Dalam konteks Batak Toba, iman yang hidup adalah iman yang melahirkan kasih terhadap ciptaan. Orang Batak yang benar-benar beriman adalah mereka yang menghormati tanoh, ae, dan harangan sebagai bagian dari kehendak ilahi yang harus dijaga.

Kearifan Lokal dan Keterlibatan Warga

Partisipasi masyarakat menjadi kunci keberhasilan perlindungan lingkungan. Kearifan lokal Batak Toba, seperti marsiadapari (bekerjasama) dan gotong royong, dapat menjadi dasar gerakan sosial ekologis. Warga bisa berperan aktif dalam menjaga kebersihan kampung, mengurangi limbah plastik, menanam pohon di daerah tangkapan air, dan mengawasi praktik industri yang berpotensi mencemari Danau Toba.

Dengan melibatkan tokoh adat, gereja, lembaga pendidikan, dan komunitas muda, gerakan ekologis di Tanah Batak dapat menjadi kekuatan moral dan sosial yang memperkuat implementasi Undang-Undang Lingkungan. Ini bukan sekadar aktivitas, tetapi perwujudan nilai hasangapon (kehormatan) dan habonaron do bona (kebenaran adalah dasar kehidupan).

Menjaga alam berarti menjaga diri sendiri. Alam yang rusak akan mengembalikan kerusakannya kepada manusia. Oleh karena itu, menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup bukan pilihan, tetapi kewajiban bersama yang bersumber dari hukum negara, nilai budaya, dan iman.
Bagi masyarakat Batak Toba, menjaga Danau Toba berarti menjaga sumber kehidupan, identitas budaya, dan warisan leluhur.

Bagi bangsa Indonesia, menjaga lingkungan berarti menjaga keberlanjutan negara dan martabat kemanusiaan. Ketika setiap warga negara sadar bahwa tindakannya, sekecil apa pun, berdampak pada ekosistem, maka sesungguhnya ia telah menjadi penjaga kehidupan.

Karena pada akhirnya, bumi tidak membutuhkan manusia untuk bertahan hidup, manusialah yang membutuhkan bumi untuk tetap hidup. Maka mari kita jaga alam, jaga Danau Toba, dan jaga masa depan bersama dengan cinta, kesadaran, dan tanggung jawab. Setiap warga negara wajib menjaga lingkungan hidup, Termasuk Tano Batak dan Danau Toba dari eksploitasi dan kerusakan alam. (Red/*)

Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini