Oleh ; Hery Buha Manalu
Sitor Situmorang memulai kariernya sebagai wartawan di masa revolusi kemerdekaan Indonesia. Sebagai jurnalis muda, ia berada di tengah gejolak sejarah, melaporkan situasi politik dan pertempuran di berbagai daerah. Gaya tulisannya tajam, reflektif, dan kaya akan nuansa sastra. Pengalamannya sebagai wartawan inilah yang kelak membentuknya menjadi sastrawan besar dengan perspektif mendalam terhadap realitas sosial dan budaya.
Pada akhir 1940-an, Sitor bekerja sebagai wartawan untuk berbagai surat kabar. Sitor memulai kariernya sebagai wartawan Harian Suara Nasional (Tarutung, 1945-1946) dan Harian Waspada (Medan, 1947). Selanjutnya, ia menjadi koresponden di Yogyakarta (1947-1948), Berita Indonesia, dan Warta Dunia (Jakarta, 1957). Ia meliput peristiwa-peristiwa penting di Yogyakarta, yang saat itu menjadi ibu kota revolusi. Berbeda dengan kebanyakan wartawan yang hanya menyajikan fakta, Sitor menyelipkan kedalaman analisis dan gaya bahasa yang khas. Artikel-artikelnya tidak hanya mendokumentasikan peristiwa, tetapi juga menggambarkan pergolakan batin dan cita-cita sebuah bangsa yang baru merdeka.
Seiring waktu, Sitor tidak hanya melaporkan fakta, tetapi juga menuliskan refleksi filosofis dan kultural dalam bentuk esai dan puisi. Ia mulai menaruh perhatian lebih pada nilai-nilai budaya Batak dan bagaimana tradisi leluhurnya dapat dipertahankan di tengah modernisasi. Dari sinilah, ia perlahan bertransformasi dari wartawan menjadi sastrawan, dengan menulis cerpen, puisi, dan naskah drama yang kaya akan nuansa etnografis.
Pada tahun 1950-an, Sitor semakin dikenal sebagai sastrawan Angkatan ’45. Kumpulan puisinya, Surat Kertas Hijau (1954), mendapat perhatian luas karena menyajikan tema nasionalisme, cinta, dan pencarian identitas dengan bahasa yang lugas tetapi puitis. Ia juga menulis cerita pendek yang mengangkat kehidupan masyarakat Batak dengan pendekatan yang lebih dalam daripada sekadar dokumentasi jurnalistik.
Namun, meskipun dikenal sebagai penyair dan penulis fiksi, Sitor tidak pernah benar-benar meninggalkan dunia jurnalistik. Ia tetap aktif menulis esai budaya, politik, dan sejarah. Ia juga menjadi bagian dari berbagai forum intelektual yang membahas arah kebudayaan Indonesia pasca-kemerdekaan. Kedekatannya dengan kalangan kiri membawanya ke Eropa, di mana ia bergaul dengan para pemikir dan seniman avant-garde, memperkaya perspektifnya terhadap sastra dan budaya.
Meski sempat menghadapi tekanan politik pada era Orde Baru dan menjalani masa pemenjaraan, warisan intelektual Sitor tetap hidup. Dari seorang wartawan revolusi, ia menjelma menjadi sastrawan yang membawa budaya Batak ke dalam ranah sastra nasional dan internasional. Karya-karyanya tidak hanya menjadi bagian dari sejarah sastra Indonesia, tetapi juga saksi perjalanan bangsa dari perjuangan menuju kemerdekaan hingga dinamika kebudayaan di era modern.
Kini, dalam perayaan 100 tahun.Sitor Situmorang, beliau tidak hanya dikenang sebagai penyair atau budayawan, tetapi juga sebagai wartawan yang mengabadikan semangat zamannya dalam kata-kata. Warisannya tetap relevan, menginspirasi generasi baru untuk tidak sekadar mencatat sejarah, tetapi juga merenungkan makna di baliknya.(Red/*)