Oleh : Hery Buha Manalu
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengembangan soft skill melalui keterampilan berbasis kearifan lokal dengan fokus pada komunitas pengrajin ulos dan batik sebagai ruang pembelajaran praktis bagi mahasiswa teologi. Latar belakang penelitian ini berangkat dari minimnya model pendidikan yang mampu mengintegrasikan kearifan lokal sebagai bagian dari pembentukan soft skill mahasiswa, khususnya dalam konteks pendidikan teologi yang selama ini lebih menekankan aspek kognitif dibandingkan proses pembentukan karakter dan nilai praksis. Melalui pendekatan kualitatif deskriptif dengan teknik observasi, wawancara, dan analisis dokumen, penelitian ini menemukan bahwa proses keterampilan berbasis budaya lokal mampu menstimulasi perkembangan berbagai soft skill, seperti teamwork, ketekunan, kreativitas, komunikasi, dan leadership. Interaksi mahasiswa dengan para pengrajin memperlihatkan adanya pola belajar yang memadukan praktik budaya, nilai-nilai kerja tradisional, dan refleksi teologis yang saling memperkaya. Temuan ini menegaskan bahwa kearifan lokal tidak hanya berfungsi sebagai warisan budaya, tetapi juga sebagai sumber pedagogi yang efektif untuk membangun kompetensi diri agar lebih adaptif, kontekstual, dan berkarakter. Penelitian ini merekomendasikan agar lembaga pendidikan teologi mengembangkan kurikulum yang berpihak pada pembelajaran berbasis budaya dan memperkuat kerja sama dengan komunitas lokal sebagai mitra pendidikan.
Kata Kunci : Soft Skill; Keterampilan Berbasis Kearifan Lokal; Ulos; Batik Lokal; Teamwork; Kreativitas; Komunikasi; Ketekunan; Leadership; Pendidikan Teologi.
Pendahuluan
Dalam konteks pendidikan teologi dan pendidikan tinggi secara umum, kebutuhan akan penguatan soft skillmenjadi semakin mendesak seiring berkembangnya tuntutan dunia kerja dan dinamika sosial budaya yang terus berubah. Mahasiswa dituntut tidak hanya menguasai aspek kognitif, tetapi juga memiliki kecakapan interpersonal seperti teamwork, ketekunan, kreativitas, komunikasi, dan leadership yang berperan penting dalam keberhasilan pelayanan, pengajaran, maupun profesi lain di masa depan. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa pengembangan soft skill sering kali terpinggirkan dalam proses pendidikan formal karena lebih menekankan capaian akademik dibandingkan kompetensi holistik. Kondisi ini semakin kompleks ketika mahasiswa tidak memiliki pengalaman praktik yang membumi dan terkait dengan konteks lokal, sehingga soft skill yang terbentuk cenderung bersifat teoritis dan kurang relevan dengan kebutuhan masyarakat. Fenomena tersebut tampak jelas pada rendahnya kemampuan mahasiswa dalam bekerja kolaboratif, minimnya kreativitas dalam memecahkan masalah, serta kurang matangnya kemampuan memimpin dalam situasi nyata. Karena itu, dibutuhkan pendekatan inovatif yang mampu menjembatani kesenjangan antara kebutuhan kompetensi soft skill dengan konteks pembelajaran yang dekat dengan kehidupan masyarakat.

Literatur mengenai pengembangan soft skill menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis pengalaman, kolaborasi, dan praktik lapangan menjadi strategi efektif dalam memperkuat kapasitas mahasiswa secara menyeluruh. Teori experiential learning, pendekatan pembelajaran kontekstual (CTL), serta pendidikan berbasis proyek telah banyak ditawarkan untuk membentuk kecakapan seperti kerja tim, kemampuan komunikasi, kreativitas, serta disiplin dalam mengelola tugas. Namun, berbagai kajian tersebut sebagian besar berorientasi pada model pembelajaran modern yang tidak selalu mempertimbangkan konteks kearifan lokal sebagai sumber pendidikan. Padahal, bagi masyarakat Indonesia, khususnya komunitas Batak dengan tradisi pengrajin ulos dan batik lokal, kearifan lokal merupakan ruang hidup yang kaya nilai, praktik, serta etos kerja yang dapat menjadi medium strategis bagi pengembangan soft skill. Sejauh ini, belum banyak literatur yang secara komprehensif mengkaji bagaimana praktik komunitas pengrajin dapat menjadi model pembelajaran alternatif yang terintegrasi dalam pendidikan teologi maupun pendidikan tinggi Kristen. Keterbatasan ini menunjukkan adanya ruang penelitian yang masih terbuka untuk mengeksplorasi hubungan antara kearifan lokal dan penguatan soft skill secara lebih mendalam dan kontekstual.
Penelitian ini bertujuan untuk menggali dan menganalisis bagaimana keterampilan berbasis kearifan lokal, khususnya pada komunitas pengrajin ulos dan batik lokal, dapat menjadi sarana efektif dalam mengembangkan soft skill mahasiswa. Secara lebih spesifik, penelitian ini ingin mengidentifikasi nilai-nilai kerja, pola relasi sosial, serta praktik produksi yang selama ini hidup dalam komunitas pengrajin, kemudian memetakan kontribusinya bagi pembentukan teamwork, ketekunan, kreativitas, komunikasi, dan leadership. Penelitian ini juga bertujuan menghadirkan model pembelajaran berbasis kearifan lokal yang dapat diadaptasi oleh lembaga pendidikan teologi maupun pendidikan tinggi Kristen sebagai pendekatan dalam memperkaya proses pembelajaran. Dengan demikian, penelitian ini tidak hanya mendeskripsikan potensi kearifan lokal sebagai sumber kompetensi, tetapi juga menawarkan rekomendasi implementatif yang sesuai dengan kebutuhan akademik dan kebutuhan masyarakat. Tujuan tersebut diharapkan mampu menjembatani jarak antara pendidikan formal dan realitas sosial budaya, sehingga soft skill yang terbentuk bukan hanya bersifat abstrak, tetapi benar-benar teruji dalam konteks kehidupan nyata komunitas lokal.
Berdasarkan fakta dan tujuan yang telah dipaparkan, penelitian ini berangkat dari hipotesis bahwa keterampilan berbasis kearifan lokal memiliki potensi besar sebagai media pengembangan soft skill mahasiswa secara lebih efektif dan kontekstual. Argumen ini dibangun dari asumsi bahwa komunitas pengrajin ulos dan batik lokal tidak hanya menyimpan keterampilan teknis, tetapi juga nilai-nilai budaya yang mencerminkan kerja kolaboratif, ketekunan dalam proses produksi, kreativitas artistik, kemampuan berkomunikasi dalam sistem sosial komunitas, serta kepemimpinan yang terwujud melalui struktur adat dan peran kerja. Dengan demikian, ketika mahasiswa terlibat secara langsung dalam pembelajaran yang berakar pada kearifan lokal tersebut, mereka berpeluang mengalami proses pembentukan karakter dan soft skill secara lebih holistik dibandingkan pendekatan pembelajaran konvensional. Argumen ini sekaligus menegaskan bahwa upaya pengembangan soft skill perlu dikontekstualisasikan dengan budaya lokal agar memiliki makna transformatif dan relevansi yang kuat bagi peserta didik. Oleh sebab itu, penelitian ini penting untuk dilakukan guna membuktikan secara ilmiah keterkaitan tersebut dan menawarkan model pembelajaran yang adaptif terhadap kebutuhan pendidikan Kristen masa kini.
Literature Review
Soft skill dipahami sebagai seperangkat kecakapan non-teknis yang membentuk kapasitas seseorang dalam berinteraksi, bekerja sama, dan memimpin secara efektif, sehingga berbagai teori pendidikan menempatkannya sebagai elemen penting dalam pembentukan kompetensi holistik. Para ahli menekankan bahwa soft skill mencakup kemampuan seperti komunikasi, kreativitas, ketekunan, kepemimpinan, dan kerja sama yang tidak hanya mendukung performa profesional tetapi juga membentuk karakter seseorang dalam menjalani kehidupan sosial. Dalam konteks pendidikan tinggi, soft skill sering diintegrasikan melalui pendekatan pembelajaran kolaboratif, pembelajaran partisipatif, dan metode pembelajaran berbasis pengalaman. Namun, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa integrasi tersebut tidak selalu optimal karena hanya berfokus pada aspek teoritis, sehingga mahasiswa kurang memperoleh pengalaman langsung dalam mengasah kecakapan tersebut. Oleh sebab itu, teori soft skill memberikan landasan kuat bahwa pengembangan kompetensi ini membutuhkan konteks pembelajaran yang hidup, relevan, dan berakar pada pengalaman nyata agar transformasi diri mahasiswa dapat terjadi secara signifikan dan berkelanjutan.
Experiential learning atau pembelajaran berbasis pengalaman merupakan salah satu teori yang sering digunakan untuk memahami bagaimana soft skill dapat terbentuk melalui proses interaksi langsung dengan lingkungan. Teori ini, yang dipopulerkan oleh David Kolb, menyatakan bahwa pengetahuan dibangun melalui siklus pengalaman konkret, refleksi, konseptualisasi, dan eksperimen aktif. Dalam konteks pengembangan soft skill, pendekatan ini memungkinkan mahasiswa tidak hanya memahami konsep, tetapi juga mengalami, merasakan, dan mengevaluasi dinamika sosial yang terjadi dalam praktik nyata. Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa experiential learning efektif dalam membangun kerja tim, meningkatkan kemampuan komunikasi, dan memperkuat kreativitas, karena seluruh prosesnya bersifat langsung dan melibatkan partisipasi aktif. Namun, banyak program experiential learning masih kurang memanfaatkan sumber-sumber lokal yang kaya nilai budaya, sehingga pengembangannya belum sepenuhnya adaptif dengan konteks sosial masyarakat. Dengan demikian, teori ini menjadi dasar penting bahwa pengalaman nyata yang kontekstual, termasuk dari komunitas pengrajin lokal, dapat memperkaya proses pembelajaran soft skill secara lebih mendalam.
Kearifan lokal dipahami sebagai warisan nilai, norma, praktik, serta pengetahuan turun-temurun yang hidup dalam suatu komunitas dan membentuk identitas budaya masyarakat. Dalam kajian antropologi dan pendidikan, kearifan lokal dianggap sebagai sumber pembelajaran yang autentik karena mengandung nilai kerja, relasi sosial, etos hidup, dan kreativitas yang relevan untuk membentuk karakter manusia. Banyak teori menekankan bahwa kearifan lokal tidak hanya berfungsi melestarikan budaya, tetapi juga menjadi sarana pendidikan yang efektif melalui praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks masyarakat Batak dan komunitas pengrajin ulos atau batik, kearifan lokal tampak dalam proses produksi, struktur kerja kolektif, ketekunan dalam pengerjaan detail, serta kreativitas dalam motif dan simbol budaya. Namun, literatur juga menunjukkan bahwa potensi besar ini belum sepenuhnya diintegrasikan ke dalam pembelajaran formal. Oleh karena itu, teori kearifan lokal memberikan pijakan penting bahwa budaya tradisional adalah sumber pendidikan yang relevan untuk membangun soft skill mahasiswa secara autentik dan berakar pada konteks sosialnya.
Pendidikan berbasis budaya atau culturally-based education menegaskan bahwa proses pembelajaran perlu mempertimbangkan identitas, tradisi, dan nilai-nilai yang hidup dalam komunitas peserta didik. Pendekatan ini berargumen bahwa pembelajaran akan lebih bermakna ketika dikaitkan dengan praktik budaya yang dikenali, dihargai, dan dialami sehari-hari oleh siswa. Dalam berbagai penelitian, pendidikan berbasis budaya terbukti mampu meningkatkan motivasi belajar, membentuk keterampilan sosial, serta menguatkan kemampuan problem solving. Pengintegrasian budaya juga membantu mahasiswa memahami peran dirinya dalam masyarakat dan menumbuhkan empati terhadap lingkungan sosialnya. Namun demikian, beberapa kajian menunjukkan bahwa implementasi pendidikan berbasis budaya masih terbatas pada aspek teoretis dan seremonial, tanpa masuk secara mendalam ke dalam praktik budaya yang sebenarnya hidup dan bekerja, seperti komunitas pengrajin tradisional. Dengan demikian, teori ini mengarahkan penelitian untuk melihat bagaimana pembelajaran dapat dihubungkan langsung dengan budaya kerja pengrajin ulos atau batik, sehingga soft skill mahasiswa dapat berkembang melalui interaksi nyata dengan nilai-nilai budaya tersebut.
Dalam kajian pendidikan berbasis keterampilan, keterampilan tradisional dipahami bukan hanya sebagai kemampuan teknis, tetapi juga sebagai ruang pembelajaran sosial yang mengandung nilai kolaborasi, ketekunan, kreativitas, dan komunikasi. Berbagai teori menekankan bahwa proses belajar melalui keterampilan tradisional seperti menenun, membatik, atau mengukir dapat menjadi medium efektif bagi pembentukan soft skill karena melibatkan kerja bersama, ketelitian tinggi, serta ritme kerja yang membutuhkan kesabaran dan disiplin. Selain itu, keterampilan tradisional mendorong proses problem solving ketika pengrajin harus beradaptasi dengan bahan, motif, atau kondisi produksi tertentu. Namun, literatur juga mencatat bahwa keterampilan tradisional sering dipandang hanya sebagai aktivitas ekonomi atau seni, sehingga potensinya sebagai media pendidikan belum banyak dieksplorasi secara akademik. Oleh sebab itu, teori ini memberi dorongan bagi penelitian untuk menunjukkan bagaimana praktik pengrajin ulos dan batik dapat dijadikan sarana pembelajaran soft skill bagi mahasiswa.
Teori pengembangan karakter menegaskan bahwa pembentukan diri manusia, termasuk kemampuan kepemimpinan dan relasi sosial, sangat dipengaruhi oleh pengalaman dalam praktik sosial yang berlangsung secara konsisten. Perspektif ini menempatkan interaksi sosial, kerja nyata, dan keterlibatan dalam komunitas sebagai ruang yang efektif untuk menumbuhkan karakter positif dan soft skill. Dalam konteks pendidikan, teori ini menyatakan bahwa karakter mahasiswa berkembang ketika mereka menghadapi situasi nyata yang membutuhkan tanggung jawab, kerja sama, kreativitas, dan kemampuan berkomunikasi. Aktivitas berbasis komunitas terbukti mampu membentuk ketekunan dan kedewasaan berpikir karena mahasiswa belajar dari contoh hidup dan ritme kerja para pelakunya. Meskipun teori ini telah banyak digunakan dalam kajian pendidikan, belum banyak penelitian yang menghubungkan praktik sosial komunitas pengrajin dengan proses pembentukan soft skill mahasiswa secara sistematis. Oleh karena itu, teori ini menjadi dasar penting untuk melihat bagaimana pengalaman sosial yang terjadi dalam komunitas pengrajin ulos atau batik dapat memberikan kontribusi signifikan dalam pengembangan karakter dan kompetensi mahasiswa.
Hasil Penelitian
Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunitas pengrajin ulos dan batik memiliki dinamika kerja kolektif yang kuat, yang tampak dari pembagian tugas, koordinasi kerja, dan interaksi intensif antar anggota. Pola kerja ini mencerminkan budaya gotong royong yang telah lama mengakar dan menjadi fondasi utama dalam keberlangsungan tradisi produksi. Mahasiswa yang terlibat dalam kegiatan komunitas mengamati bagaimana setiap anggota saling mendukung, baik dalam proses pewarnaan, penenunan, hingga penyelesaian motif. Melalui pengamatan langsung, mahasiswa melihat bahwa keberhasilan produksi tidak bergantung pada individu, tetapi pada kesatuan ritme kerja kelompok. Dinamika ini memperlihatkan kepada mahasiswa bahwa kerja sama bukan sekadar konsep, namun realitas yang dibangun melalui kebiasaan, komitmen, dan hubungan sosial yang kuat. Oleh karena itu, dinamika kerja kolektif ini menjadi pintu awal bagi mahasiswa untuk memahami nilai teamwork secara konkret dan kontekstual.
Penelitian menemukan bahwa teamwork menjadi kompetensi inti yang paling terlihat selama mahasiswa mengikuti proses belajar di komunitas pengrajin. Proses produksi ulos dan batik, yang melibatkan kolaborasi antara penenun, pewarna, penggambar motif, dan pengontrol kualitas, memberikan gambaran nyata tentang pentingnya koordinasi dalam mencapai hasil terbaik. Mahasiswa belajar bahwa setiap tahap produksi menuntut komunikasi yang efektif untuk menghindari kesalahan yang dapat berdampak pada keseluruhan hasil. Mereka juga menyaksikan bagaimana pengrajin senior membimbing anggota baru, menciptakan pola kerja yang inklusif dan mendukung pertumbuhan setiap individu. Pengalaman ini membuat mahasiswa memahami bahwa teamwork bukan hanya soal bekerja bersama, tetapi juga tentang kepercayaan, pembagian peran yang jelas, dan kemampuan untuk saling melengkapi. Dengan demikian, proses belajar yang berlangsung menunjukkan bahwa teamwork tumbuh secara organik dari kultur kerja komunitas.
Temuan penelitian mengungkap bahwa ketekunan menjadi soft skill yang paling dominan terlihat dalam setiap tahap pengerjaan ulos dan batik. Proses pembuatan yang panjang, mulai dari pemilihan benang, pengaturan alat tenun, pengulangan pola, hingga pewarnaan berlapis, menuntut kesabaran yang tinggi. Mahasiswa yang ikut terlibat merasakan secara langsung bahwa kegagalan atau kesalahan kecil dapat membuat mereka mengulang kembali seluruh proses. Melalui pengalaman tersebut, mahasiswa belajar memahami bahwa ketekunan tidak hanya berarti bertahan, tetapi juga menjaga konsistensi kualitas dan perhatian terhadap detail. Pengrajin menunjukkan sikap tekun sebagai bagian dari etos kerja yang diwariskan turun-temurun, sehingga menjadi teladan hidup dalam membangun karakter. Dengan demikian, proses produksi tradisional memberikan pengalaman autentik yang membentuk ketekunan mahasiswa secara alami dan berakar pada praktik budaya.
Penelitian juga menemukan bahwa kreativitas berkembang melalui eksplorasi motif, warna, dan teknik pengerjaan yang dilakukan bersama para pengrajin. Mahasiswa diberi kesempatan untuk mengamati dan mencoba membuat variasi pola yang terinspirasi dari simbol-simbol budaya yang memiliki makna filosofis. Interaksi dengan pengrajin membuka ruang bagi mahasiswa untuk memahami bahwa kreativitas tidak sekadar inovasi bebas, tetapi harus berpijak pada nilai budaya yang dijaga. Proses kreatif ini memerlukan kemampuan memadukan identitas budaya dengan gaya kontemporer, sehingga mahasiswa belajar menumbuhkan kreativitas yang bertanggung jawab. Para pengrajin juga memberikan umpan balik yang membangun, sehingga mahasiswa dapat mengembangkan ide mereka secara lebih matang. Dengan demikian, kreativitas mahasiswa terasah melalui proses belajar yang dialogis dan didasarkan pada nilai heritage yang kuat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunikasi antar generasi menjadi aspek penting dalam proses pembelajaran mahasiswa. Interaksi antara pengrajin senior dan mahasiswa menciptakan ruang belajar yang menggabungkan pengalaman praktis dengan perspektif baru dari generasi muda. Mahasiswa belajar untuk menghargai cara komunikasi yang penuh kesantunan, sabar, dan berorientasi pada nilai kekeluargaan, sebagaimana menjadi karakteristik komunitas pengrajin. Di sisi lain, pengrajin juga terbuka menerima gagasan mahasiswa, sehingga tercipta dialog dua arah yang memperkaya proses belajar. Mahasiswa menyadari bahwa komunikasi yang efektif menuntut kemampuan mendengarkan, memahami konteks budaya, dan menyesuaikan cara penyampaian gagasan. Dengan demikian, komunikasi berkembang tidak hanya sebagai keterampilan teknis, tetapi sebagai kompetensi sosial yang melekat pada nilai budaya lokal.
Temuan penelitian memperlihatkan bahwa leadership di komunitas pengrajin tidak selalu tampil dalam bentuk instruksi formal, tetapi hadir dalam praktik keseharian melalui keteladanan, pengalaman, dan kemampuan mengelola ritme kerja kelompok. Mahasiswa mengamati bahwa pemimpin kelompok seringkali memimpin dengan sikap rendah hati, menjaga keharmonisan, serta memastikan semua anggota mendapatkan peran sesuai kemampuan mereka. Mahasiswa juga belajar bahwa kepemimpinan dalam konteks budaya lokal memiliki dimensi moral dan sosial yang kuat, bukan hanya administratif. Ketika mahasiswa diberi kesempatan mengatur alur kerja bersama pengrajin, mereka belajar mengenai tanggung jawab, pengambilan keputusan, dan kemampuan memotivasi anggota lain. Dengan demikian, leadership berkembang secara alami melalui keterlibatan langsung mahasiswa dalam struktur sosial komunitas.
Selama mengikuti kegiatan pembelajaran, mahasiswa mengalami transformasi persepsi mengenai kearifan lokal, yang awalnya dianggap sebagai praktik tradisional biasa, menjadi sumber pengetahuan kaya nilai dan kompetensi. Interaksi langsung dengan pengrajin membuat mahasiswa memahami bahwa ulos dan batik tidak hanya produk budaya, tetapi merupakan representasi etos kerja, spiritualitas, dan filosofi hidup. Pengalaman ini memperluas wawasan mahasiswa tentang kekayaan budaya lokal serta relevansinya bagi dunia pendidikan modern. Mereka menyadari bahwa budaya tidak hanya untuk dilestarikan, tetapi dapat menjadi sumber pembelajaran yang efektif. Dengan demikian, transformasi ini menegaskan bahwa keterlibatan langsung dalam praktik budaya mampu membangun penghargaan yang lebih mendalam terhadap identitas lokal.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa nilai budaya lokal seperti kebersamaan, ketelitian, keberanian mencoba, dan kesetiaan pada proses menjadi fondasi utama pembentukan soft skill mahasiswa. Proses pembelajaran yang terjadi tidak bersifat instruktif, tetapi terbentuk melalui keteladanan dan pengalaman langsung bersama pengrajin. Mahasiswa belajar bahwa nilai-nilai budaya bukan sekadar konsep abstrak, tetapi diwujudkan dalam ritme kerja, cara berinteraksi, dan cara menyelesaikan masalah. Integrasi nilai budaya ini membuat pembelajaran soft skill menjadi lebih bermakna dan kontekstual, karena mahasiswa melihat langsung bagaimana nilai tersebut dijalankan dalam situasi nyata. Dengan demikian, nilai budaya lokal terbukti dapat menjadi landasan kuat dalam pengembangan kompetensi mahasiswa.
Secara keseluruhan, penelitian menunjukkan bahwa keterlibatan mahasiswa dalam komunitas pengrajin ulos dan batik memberikan dampak nyata terhadap pengembangan soft skill mereka. Mahasiswa menjadi lebih sabar, lebih mampu bekerja sama, lebih kreatif, dan lebih percaya diri dalam berkomunikasi dan mengambil peran kepemimpinan. Pengalaman autentik yang mereka dapatkan memperkuat penguasaan soft skill karena diperoleh melalui praktik langsung, bukan hanya teori di kelas. Selain itu, mahasiswa merasakan peningkatan kesadaran budaya yang membuat mereka lebih menghargai sumber daya lokal dan potensi pendidikan yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, pembelajaran berbasis kearifan lokal terbukti efektif mendorong perkembangan soft skill mahasiswa secara menyeluruh dan berkelanjutan.
Diskusi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa integrasi nilai budaya dalam pembelajaran Pendidikan Agama Kristen (PAK) bukan hanya mungkin, tetapi justru mendesak dilakukan dalam konteks multikultural seperti Dairi. Diskusi ini menekankan bahwa kearifan lokal tidak boleh dipahami sekadar sebagai unsur adat, tetapi sebagai wahana pedagogis yang menolong mahasiswa memahami iman Kristen dalam konteks hidup nyata. Temuan lapangan memperlihatkan bahwa mahasiswa lebih mudah menangkap konsep teologi ketika contoh-contohnya diambil dari praktik budaya, seperti kerja gotong royong, sulang si lima dalam budaya Pakpak, atau nilai dalihan na tolu yang mengajarkan relasi yang setara. Dengan demikian, budaya bukan dilihat sebagai saingan injil, tetapi sebagai ruang dialog yang memperkaya pemahaman. Diskusi ini sekaligus mempertegas bahwa keberhasilan PAK berbasis budaya terletak pada kemampuan pendidik menerjemahkan nilai adat menjadi prinsip pembelajaran yang inklusif, relevan, dan kontekstual.
Pembahasan ini juga menunjukkan bahwa pembelajaran PAK yang berbasis budaya membantu mahasiswa membangun identitas iman yang lebih utuh: tidak tercerabut dari akar budaya, namun tetap berakar kokoh pada Kristus. Proses pembentukan identitas ini berlangsung ketika mahasiswa diajak melihat bahwa budaya mereka bukan penghalang iman, melainkan bagian dari karya Allah yang memperkaya kehidupan bersama. Data wawancara mengungkap bahwa mahasiswa merasa lebih percaya diri ketika materi PAK menghargai cerita, simbol, dan praktik budaya yang mereka kenal sejak kecil. Hal ini sejalan dengan pandangan teologi inkulturatif yang menegaskan bahwa Allah hadir dalam setiap sejarah dan kebudayaan manusia. Maka, PAK berbasis budaya tidak hanya mentransfer pengetahuan iman, tetapi membangun kesadaran bahwa identitas sebagai orang percaya juga dibentuk melalui pengalaman budaya. Diskusi ini memperlihatkan bahwa identitas iman mahasiswa tumbuh lebih kuat ketika didukung oleh kapasitas untuk merefleksikan makna budaya secara kritis dan teologis.
Dari perspektif pedagogi, penelitian ini memperlihatkan bahwa peran dosen sangat sentral sebagai mediator antara nilai iman dan nilai budaya. Dalam praktiknya, banyak dosen PAK masih terpaku pada model ceramah satu arah sehingga kearifan lokal hanya muncul sebagai penyebutan singkat, bukan sebagai kerangka berpikir. Diskusi ini menekankan perlunya dosen mengembangkan kompetensi budaya (cultural competence), yakni kemampuan memahami simbol, bahasa, nilai, dan dinamika sosial masyarakat tempat mahasiswa hidup. Dengan kompetensi ini, dosen dapat membimbing mahasiswa membaca budaya mereka secara teologis dan mengaitkannya pada prinsip-prinsip iman Kristen. Dosen juga berperan menghindarkan mahasiswa dari sikap menerima budaya secara buta atau menolaknya secara kaku. Dengan demikian, dosen bertugas tidak hanya sebagai penyampai materi, tetapi sebagai fasilitator dialog, pengarah refleksi, dan pembangun jembatan antara iman dan kebudayaan.
Diskusi juga menyoroti bagaimana nilai-nilai budaya dapat dikembangkan menjadi dasar penguatan soft skill mahasiswa teologi. Nilai seperti sombah, kerja sama antar marga, penghormatan kepada orang tua, dan solidaritas kampung menjadi modal sosial yang sangat berharga. Ketika diolah dalam pembelajaran PAK, nilai-nilai ini mendorong lahirnya soft skill seperti komunikasi empatik, kemampuan bekerja dalam kelompok, kepemimpinan beretika, serta kepekaan terhadap keberagaman. Temuan penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa yang terlibat dalam pembelajaran berbasis budaya lebih aktif terlibat dalam diskusi, lebih mudah membangun argumentasi, dan lebih terampil menyampaikan refleksi teologis. Dengan kata lain, budaya berfungsi sebagai ruang latihan karakter yang tak dimiliki oleh pendekatan PAK yang terlalu teoretis. Pengembangan soft skill ini menjadi penting karena mahasiswa teologi nantinya akan menjadi pendidik, pelayan, dan pemimpin di tengah masyarakat yang beragam.
Meskipun banyak temuan positif, diskusi ini juga mencatat sejumlah tantangan implementasi. Sebagian lembaga pendidikan teologi belum memiliki kurikulum yang secara eksplisit menempatkan budaya sebagai kerangka pembelajaran. Selain itu, ada keraguan dari beberapa pendidik yang menganggap integrasi budaya dapat “mengaburkan” kemurnian ajaran iman. Tantangan lainnya adalah minimnya literatur teologis yang membahas secara rinci relasi budaya Pakpak atau Batak dengan teologi Kristen. Sementara itu, mahasiswa sendiri terkadang membawa asumsi negatif terhadap budaya mereka akibat pengajaran sebelumnya yang melihat adat sebagai tradisi lama yang harus ditinggalkan. Faktor-faktor ini menunjukkan bahwa transformasi ke arah PAK berbasis budaya membutuhkan perubahan paradigma, pelatihan dosen, pengembangan bahan ajar, dan dukungan lembaga pendidikan.
Diskusi terakhir menegaskan bahwa model PAK berbasis budaya memiliki implikasi penting bagi pengembangan pendidikan teologi di kabupaten Dairi dan wilayah lain yang multikultural. Pertama, pendekatan ini mendorong lembaga pendidikan untuk lebih serius memperkuat contextual theology sebagai orientasi kurikulum. Kedua, pendekatan ini memperluas cakupan metode pembelajaran, melibatkan observasi budaya, dialog komunitas, dan analisis simbol adat. Ketiga, pendekatan ini membantu mahasiswa mengembangkan kepekaan pastoral dan kemampuan dialog lintas budaya, kompetensi yang sangat dibutuhkan di era pluralitas. Dengan demikian, penelitian ini menegaskan bahwa pendidikan teologi yang relevan adalah pendidikan yang mampu membaca realitas budaya secara kritis, menghargainya sebagai anugerah, dan menolong mahasiswa mengintegrasikan iman Kristen dengan kehidupan budaya mereka secara utuh dan bertanggung jawab.
Kesimpulan
Penelitian ini menegaskan bahwa Pendidikan Agama Kristen berbasis budaya merupakan pendekatan yang relevan, kontekstual, dan sangat dibutuhkan dalam realitas masyarakat multikultural seperti kabupaten Dairi. Integrasi kearifan lokal terbukti memperkaya proses pembelajaran, memperluas cara mahasiswa memahami iman, dan membantu mereka membaca kembali pengalaman budaya sebagai anugerah yang dapat ditafsir dalam terang Injil. Temuan menunjukkan bahwa budaya tidak sekadar menjadi latar belakang sosial, tetapi bagian dari proses dialog teologis yang memperkuat identitas iman mahasiswa. Pendekatan ini juga efektif karena menghadirkan pembelajaran yang lebih hidup, konkret, dan dekat dengan realitas keseharian mahasiswa. Dengan demikian, penelitian ini memberikan landasan kuat bahwa PAK berbasis budaya adalah model pendidikan yang layak dikembangkan secara sistematis dalam lembaga pendidikan teologi.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa kearifan lokal memainkan peran strategis dalam membentuk soft skill mahasiswa teologi seperti empati, kemampuan komunikasi, negosiasi nilai, kepemimpinan etis, dan keterampilan kerja kolaboratif. Ketika nilai-nilai seperti solidaritas, penghormatan antargenerasi, dan relasionalitas budaya diolah dalam pembelajaran PAK, mahasiswa menunjukkan peningkatan kepercayaan diri, kemampuan membaca situasi pastoral, serta keterampilan berpikir kritis tentang konteks budaya mereka. Namun, efektivitas ini sangat bergantung pada kompetensi dosen sebagai mediator budaya dan iman. Dosen yang memiliki sensitivitas budaya mampu membantu mahasiswa menafsirkan budaya secara teologis, menghindarkan mereka dari sikap menolak secara ekstrem atau menerima tanpa kritis. Dengan demikian, peran pendidik menjadi kunci keberhasilan penerapan PAK berbasis budaya di lembaga teologi.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa pengembangan PAK berbasis budaya memiliki implikasi jangka panjang bagi pendidikan teologi di Dairi maupun wilayah multikultural lain di Indonesia. Kurikulum teologi perlu memberi ruang lebih besar pada studi budaya lokal, analisis simbol adat, program o
bservasi lapangan, serta dialog antarkomunitas sebagai bagian dari pembelajaran. Lembaga pendidikan teologi juga perlu menyediakan pelatihan bagi dosen, memperkaya literatur tentang teologi kontekstual, serta memperkuat kolaborasi dengan masyarakat adat. Penelitian ini merekomendasikan agar pendekatan PAK berbasis budaya tidak berhenti pada inovasi metodologis, tetapi dikembangkan sebagai gerakan pendidikan yang membentuk mahasiswa menjadi pemimpin gereja yang peka budaya, inklusif, dan mampu hadir bagi masyarakat dengan pemahaman iman yang membumi. Dengan demikian, PAK berbasis budaya menjadi model pendidikan yang berkontribusi langsung pada kemajuan gereja, masyarakat, dan pendidikan Kristen secara lebih luas.
Daftar Pustaka
Aritonang, D. (2020). Kearifan lokal dalam pendidikan karakter. Jakarta: Prenadamedia Group.
Brata, A. (2018). Cultural-based education: Integrating local wisdom into learning processes. Journal of Educational Development, 6(2), 112–125.
Hutagalung, S., & Siahaan, J. (2021). Soft skills development in theological education: A contextual perspective. Journal of Christian Education, 9(1), 55–70.
Marpaung, R. (2019). Local wisdom and the formation of work ethics in traditional communities. Indonesian Journal of Cultural Studies, 3(1), 77–89.
Miles, M. B., Huberman, A. M., & Saldaña, J. (2014). Qualitative data analysis: A methods sourcebook (3rd ed.). Thousand Oaks, CA: SAGE.
Napitupulu, E. (2022). Ulos as cultural identity and pedagogical media in Batak communities. Journal of Local Culture Studies, 5(3), 140–152.
Spradley, J. P. (2016). Participant observation. Long Grove, IL: Waveland Press.
Suryana, Y. (2017). Creativity and leadership in skill-based education. Journal of Educational Innovation, 4(2), 89–103.
Tilaar, H. A. R. (2004). Multikulturalisme: Tantangan-tantangan global masa depan dalam transformasi pendidikan nasional. Jakarta: Grasindo.
Zubaedi. (2013). Pendidikan berbasis kearifan lokal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.



