Oleh : Hery Buha Manalu
Dalam gelaran KKSU (Karya Kreatif Sumatera Utara) 2025, kopi bukan sekadar minuman. Ia menjadi simbol kehangatan, warisan, dan kebersamaan. Satu gelas kopi, yang disandingkan dengan kudapan khas bernama ombus-ombus, bukan hanya menghadirkan kenikmatan rasa, tapi juga menyuguhkan cerita panjang tentang budaya, filosofi hidup, dan jati diri masyarakat Sumatera Utara.
Apa itu ombus-ombus? Bagi orang Batak, nama ini sudah akrab sejak kecil. Kudapan berbahan dasar tepung beras ini biasanya berisi gula merah, dibungkus daun pisang, lalu dikukus dan disajikan panas-panas. Dinamakan ombus-ombus, dari kata Batak yang berarti “tiup-tiup”, karena saat disajikan, makanan ini masih mengepul panas dan perlu ditiup sebelum disantap. Ritual sederhana ini menjadikan ombus-ombus bukan sekadar camilan, tapi juga bagian dari momen kebersamaan—baik di keluarga maupun dalam upacara adat.
Menariknya, ombus-ombus nyaris tak pernah hadir sendirian. Ia hampir selalu bersanding dengan secangkir kopi. Kombinasi ini sudah menjadi pakem tak tertulis dalam budaya kuliner Batak. Dan itulah yang akan diangkat dalam Sumatera Coffee Journey, salah satu program unggulan KKSU 2025, sebagai perayaan citarasa lokal yang membentuk identitas Sumatera Utara.
Kopi di Sumatera Utara bukan hanya tanaman ekonomi. Ia sudah menjadi bagian dari denyut nadi kehidupan masyarakat adat. Di banyak daerah seperti Simalungun, Mandailing, Toba, Dairi, dan Pakpak, kopi hadir dalam berbagai momen: saat pagi hari untuk membuka semangat, saat sore sebagai teman bersantai, hingga dalam acara-acara adat sebagai simbol keramahan dan penghormatan kepada tamu. Bahkan dalam acara adat Batak seperti pesta pernikahan, mangokal holi, atau mangupa, kopi kerap disuguhkan bersama makanan khas sebagai bagian dari penghormatan nilai dan tatanan adat.
Dalam struktur masyarakat adat Batak yang diikat oleh prinsip Dalihan Na Tolu, yang mencerminkan hubungan timbal balik antara hula-hula (pihak pemberi perempuan), dongan tubu (saudara semarga), dan boru (penerima perempuan)kopi menjadi simbol perekat komunikasi. Di sela-sela musyawarah adat yang penuh makna dan aturan, kopi menjadi pelumas percakapan, menyejukkan suasana, bahkan kadang menjadi sarana menyampaikan ungkapan yang sulit disampaikan secara langsung.
Tak heran, masyarakat adat Sumatera Utara menyambut positif inisiatif KKSU 2025 yang memberikan ruang khusus untuk Sumatera Coffee Journey. Program ini akan mengeksplorasi dan memperkenalkan beragam varian kopi lokal seperti Mandailing, Lintong, Simalungun, Sidikalang, Pakpak, dan Tapanuli Selatan, serta memadukannya dengan narasi budaya yang mengakar dalam tradisi masyarakat.
Lebih dari sekadar pameran kopi, program ini juga akan menyuguhkan pengalaman mendalam: dari sesi coffee cupping, workshop roasting tradisional, hingga diskusi tentang filosofi kopi dalam adat Batak. Dan tentu saja, pengunjung akan diajak mencicipi ombus-ombus hangat yang disajikan bersama kopi lokal, seolah diajak duduk di ruang tamu rumah-rumah Batak yang hangat dan ramah.
Ini adalah upaya membumikan kembali kekayaan lokal yang selama ini hidup di tengah masyarakat, tapi belum banyak dipromosikan secara luas. KKSU 2025 bukan hanya etalase kreatif, tapi juga panggung kebanggaan, tempat di mana budaya dan rasa berjumpa, dan warisan leluhur dihidangkan dalam bentuk yang bisa disentuh, dicicipi, dan dirayakan bersama.
Sebagai jurnalis yang tumbuh bersama aroma kopi Sidikalang dan hangatnya ombus-ombus di sudut kampung, saya merasa bahwa inilah momentum terbaik untuk memperlihatkan ke dunia bahwa Sumatera Utara bukan hanya destinasi wisata alam, tetapi juga tanah yang merawat rasa dan budaya. Di setiap seruput kopi, ada cerita yang mengalir dari masa lalu ke masa kini. Di setiap gigitan ombus-ombus, ada cinta yang dibungkus daun pisang, dan ditiup perlahan agar bisa disantap bersama keluarga, teman, dan orang-orang tercinta.
KKSU 2025 melalui Sumatera Coffee Journey, sedang mempertemukan kembali yang lama dan yang baru, yang tradisional dan yang modern. Dan kita, masyarakat Sumatera Utara, tak hanya menjadi penonton, tapi juga pelaku yang menjaga, menghidupkan, dan menyuguhkan cerita kita sendiri kepada dunia.
Mari rayakan kopi kita, budaya kita, dan jati diri kita. Karena kopi Batak bukan hanya untuk diminum, tapi untuk dikenang.