
Kopi Times | Medan :
Sebanyak 31 komunitas adat di Sumatera Utara masih menunggu pengakuan resmi dari pemerintah. Ketiadaan regulasi perlindungan membuat mereka rentan menghadapi kriminalisasi dan konflik lahan. Selama 2024, sejumlah kasus kriminalisasi menimpa masyarakat adat, termasuk tetua adat Sorbatua Siallagan yang memperjuangkan tanah leluhur. Selain itu, komunitas adat seperti Rakyat Penunggu Durian Slemak dan Lamtoras juga terlibat konflik dengan perusahaan besar seperti PTPN II dan PT TPL, sering kali berujung intimidasi dan kekerasan dari aparat.
Desakan pengesahan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat terus menguat. Kehadiran perda ini dinilai penting untuk memberikan kepastian hukum bagi komunitas adat, meminimalkan konflik, dan menghentikan kriminalisasi. Namun, hingga kini, DPRD Sumatera Utara beralasan bahwa perda tersebut belum bisa disahkan karena RUU Masyarakat Adat di tingkat nasional belum rampung. Ironisnya, beberapa provinsi lain seperti Papua, Kalimantan, dan Bali sudah lebih dulu memiliki perda serupa tanpa harus menunggu RUU tersebut.
“Perda ini akan menjadi payung hukum yang memperjelas status wilayah adat, mencegah tindakan sewenang-wenang, dan mempercepat pembangunan yang berkeadilan,” ujar perwakilan Koalisi Percepatan Perda. Peraturan ini diharapkan mampu menghentikan praktik intimidasi dan penggusuran ilegal, sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat Sumut.

Koalisi Percepatan Perda mendesak DPRD Sumut untuk:
1. Memasukkan Ranperda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dalam Propemperda tahun ini.
2. Segera mengesahkan ranperda tersebut.
3. Menghentikan segala bentuk kriminalisasi, intimidasi, dan penggusuran di wilayah adat.
Dengan dukungan dari seluruh elemen masyarakat dan media, diharapkan upaya ini dapat mewujudkan keadilan dan melindungi hak masyarakat adat di Sumut.(Rel/*)



