spot_img
BerandaAkademikaTantangan Kebangsaan Masa Kini dan Peran Mahasiswa Teologi

Tantangan Kebangsaan Masa Kini dan Peran Mahasiswa Teologi

Tantangan Kebangsaan Masa Kini dan Peran Mahasiswa Teologi

Oleh : Hery Buha Manalu, Materi Mata Kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan. (Bagian 1)

Indonesia sedang berada pada fase perubahan yang cepat dan penuh tantangan. Di satu sisi, bangsa ini menikmati kemajuan teknologi, keterbukaan informasi, serta dinamika demokrasi yang membuat masyarakat semakin kritis. Namun di sisi lain, perubahan tersebut juga melahirkan ketegangan baru, terutama dalam relasi sosial, agama, dan politik.

Dalam situasi yang demikianlah mahasiswa teologi menemukan relevansi panggilannya, bukan hanya sebagai penerus kepemimpinan gereja, tetapi juga sebagai penjaga moral dan perekat kehidupan berbangsa.

Coffee banner ads with 3d illustratin latte and woodcut style decorations on kraft paper background

Salah satu tantangan yang paling mencolok adalah polarisasi sosial yang semakin kuat. Perbedaan pandangan politik, perdebatan identitas, dan arus informasi yang tidak terkendali membuat ruang dialog kian menyempit. Masyarakat mudah terpecah karena opini yang dibangun tanpa data dan penuh emosi.

Mahasiswa teologi, dengan latar pendidikan yang menekankan refleksi kritis dan etika dialog, memiliki peran penting untuk mengembalikan semangat percakapan yang sehat. Mereka dapat menjadi jembatan antara kelompok-kelompok yang berbeda, mengajak masyarakat untuk mendengarkan sebelum menghakimi, serta menghadirkan suasana dialog yang berlandaskan kasih dan empati.

Tantangan lain yang tidak kalah serius ialah meningkatnya intoleransi dan radikalisme. Walaupun Indonesia menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika, faktanya masih banyak warga yang memandang keberagaman sebagai ancaman.

Di sinilah mahasiswa teologi dapat memainkan peran profetik. Dengan pemahaman teologis bahwa setiap manusia diciptakan serupa dan segambar dengan Allah, mereka dapat mengembangkan narasi inklusif yang menghargai martabat manusia.

Kehadiran mereka dalam kegiatan lintas agama, diskusi kampus, maupun ruang publik lainnya menjadi kesempatan untuk menunjukkan bahwa iman Kristen tidak pernah mengajarkan kebencian, tetapi mengajarkan rekonsiliasi dan perdamaian.

Selain itu, bangsa ini juga menghadapi krisis moral yang semakin nyata. Korupsi, penyebaran hoaks, kekerasan berbasis gender, hingga melemahnya etika publik mencerminkan kondisi moral masyarakat yang membutuhkan pembaruan.

Dalam konteks ini, mahasiswa teologi dipanggil untuk menjadi teladan integritas. Mereka tidak hanya belajar tentang Alkitab dan doktrin, tetapi juga tentang bagaimana menghidupi nilai-nilai itu dalam kehidupan sehari-hari. Kejujuran, tanggung jawab, dan kesediaan melayani sesama menjadi karakter yang harus mereka miliki dan bagikan kepada masyarakat.

Perubahan sosial yang cepat juga menyebabkan menurunnya solidaritas antarwarga. Masyarakat semakin individualistis dan acuh terhadap penderitaan orang lain. Kesenjangan ekonomi yang melebar menambah ketegangan sosial.

Mahasiswa teologi, dengan pengajaran tentang kasih dan kepedulian, dapat memulihkan kesadaran kolektif. Mereka dapat menginisiasi gerakan pelayanan sosial, menggalang kepedulian jemaat terhadap kelompok lemah, dan membangun semangat saling menolong dalam komunitas.

Tantangan kebangsaan yang lain adalah hadirnya arus digitalisasi yang membawa dampak ambivalen. Di satu sisi, teknologi menjadi sarana efektif untuk belajar dan berjejaring.

Namun, penyalahgunaan media sosial juga memicu penyebaran hoaks dan ujaran kebencian. Sebagai generasi digital sekaligus calon pemimpin rohani, mahasiswa teologi perlu hadir dalam ruang digital dengan sikap bijak.

Mereka dapat memproduksi konten yang mendidik, menolak narasi yang merusak persatuan, serta mengajarkan masyarakat untuk menggunakan media dengan penuh tanggung jawab.

Krisis lingkungan pun tidak dapat diabaikan. Kerusakan alam, banjir, polusi, dan perubahan iklim menuntut kesadaran ekologis yang tinggi. Teologi Kristen memandang alam sebagai ciptaan Allah yang harus dirawat.

Dengan kesadaran ini, mahasiswa teologi dapat membangun gerakan peduli lingkungan, mengajak gereja untuk memiliki pelayanan ekologis, dan menanamkan nilai tanggung jawab terhadap bumi sebagai bagian dari kesaksian iman.

Keseluruhan dinamika tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa teologi bukan sekadar pelajar yang mempersiapkan diri untuk pelayanan gereja, tetapi juga agen transformasi yang dibutuhkan bangsa. Mereka dipanggil untuk menghadirkan nilai-nilai kerajaan Allah kasih, keadilan, kejujuran, dan damai sejahtera, di tengah masyarakat yang haus akan pemulihan moral dan sosial.

Dengan mengintegrasikan iman dan kewarganegaraan, mahasiswa teologi dapat memperkuat persatuan bangsa dan memberikan kontribusi nyata bagi masa depan Indonesia. (Red/*)

Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini