spot_img
BerandaBerita/DaerahTiga Rekomendasi JAMSU Menyerukan Penolakan Ranperpres Badan Otorita Food Estate

Tiga Rekomendasi JAMSU Menyerukan Penolakan Ranperpres Badan Otorita Food Estate

Tiga rekomendasi JAMSU yang menyerukan penolakan terhadap Rancangan Peraturan Presiden (Ranperpres) Badan Otorita Food Estate pada diskusi 'Menakar Ranperpres Badan Otorita Food Estate Untung atau Buntung", di Medan. Menghadirkan narasumber Tongam Panggabean (BAKUMSU), Delima Silalahi (KSPPM) , Prof. Posman Sibuea (Akademisi), dipandu Moderator Sondang William Man
alu/Foto :Kopi times/Hery Buha Manalu

JAMSU yang menyerukan penolakan terhadap Rancangan Peraturan Presiden (Ranperpres) Badan Otorita Food Estate pada diskusi ‘Menakar Ranperpres Badan Otorita Food Estate Untung atau Buntung”, di Medan. Menghadirkan narasumber Tongam Panggabean (BAKUMSU), Delima Silalahi (KSPPM) , Prof. Posman Sibuea (Akademisi), dipandu Moderator Sondang William Man alu/Foto :Kopi times/Hery Buha Manalu

Kopi Times | Medan :
Tiga rekomendasi disampaikan Tongam Panggabean dari perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara, (BAKUMSU) pada konfrensi pers JAMSU yang menyerukan penolakan terhadap Rancangan Peraturan Presiden (Ranperpres) Badan Otorita Food Estate pada diskusi ‘Menakar Ranperpres Badan Otorita Food Estate Untung atau Buntung”, di Medan.

Tongam Panggabean, memberikan tiga rekomendaai alasan untuk menolak rencana ini. Menurutnya tiga rekomendasi ini didasarkan pada beberapa poin penting atas program ini, yakni pendekatan birokratik dan partisipasi lokalnya yang lemah. Dinilai hanya mementingkan pendekatan birokratis tanpa melibatkan partisipasi aktif masyarakat lokal.

“Dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan lingkungan dan konflik agraria. Kegagalan Food Estate di Sumatera Utara (Sumut) dan Ranperpres ini dianggap sebagai bagian dari kegagalan program Food Estate di Sumut. Pendekatan yang sentralistik dan minim kajian diyakini menjadi penyebab kegagalan tersebut”, sebut Tongam.

Tidak hanya itu, pelemahan Desentralisasi dan Otonomi Daerah berimbas. Ranperpres ini dikhawatirkan akan semakin melemahkan desentralisasi dan otonomi daerah. Hal ini dapat mencabut kewenangan penting dalam perencanaan dan pelaksanaan program di daerah.

Coffee banner ads with 3d illustratin latte and woodcut style decorations on kraft paper background

Tongam menyampaikan tiga rekomendasi Ranperpres Badan Otorita Food Estate agar pemerintah membatalkannya, pemerintan juga mengadakan pengkajian ulang yang komperhensirlf dan melihat esentralisasi yang semakin melemah, maka ndesak pemerintah daerah agarlebih pro aktif.

“Pertama supaya presiden membatalkan perpres tersebut, artinya supaya tidak menerbitkannya. Karena perpres ini terbukti pendekatannya hanya melakukan pendekatan birokratis. Tidak melakukan pendekatan partisipatif. Tidak melibatkan partisipatif lokal setempat sehingga menimbulkan potensi-potensi kerusakan lingkungan dan konflik agraria. Perpres ini ingin didesak untuk diterbitkan. Dimana kemungkinan akan diterbitkan pada waktu dekat bulan pada Mei ini. Dan menurut kami ini adalah suatu ancaman, bila perpres itu diterbitkan. Maka karena itu atas nama
aspirasi masyarakat Sumatera Utara Dalam hal ini JAMSU memberikan desakan meminta agar perpres agar tidak disahkan”, papar Tongam.

Menurutnya harus ditinjau ulang keberadaannya pengkajian yang lebih konprehensif tentang program ini dan berkaitan dengan resiko lingkungan dan sebagainya.

Yang kedua, perpres ini kan bagian dari gagalnya food estate di Sumatera Utara, dan program food estate juga harus dievaluasi. Harus ditinjau ulang keberadaannya. Dikaji ulang tentunya ada pengkajian yang lebih konprehensif tentang program ini. Tanpa adanya kajian akademik yang juga adalah kajian resiko lingkungan dan sebagainya.

Atau bahkan sampai ke skenario pembangunan pangan atau pertanian jangka panjang hal itu mungkin dan kita selalu percaya bahwa food estate ini tidak bisa berhasil dan itulah layar belakang food estate yang selalu gagal. Maka karena itu kita selalu konsisten di JAMSU menyuarakan ini harus ditinjau ulang. Program ini harus dievaluasi bukan malah melahirkan otoritas baru.

Ketiga, melihat desentralisasi yang semakin melemah. Kita mendesak pemerintah daerah yang harus lebih pro aktif. Misalnya pemerintah daerah bisa menyatakan tidak pada program food estate. Mengapa, karena itu mencabut beberapa kewenangan-kewenangan yang sangat prinsipil di dalam pelaksanaan otonomi daerah. Misalnya dalam hal perencanaan daerah, ketika pemerintah pusat menerapkan perencanaannya yang sifatnya sentralistik. Maka semua peraturan daerah di daerah justru akan jalan di tempat.

Inti dari tiga rekomendasi ini, bahwa semestinya pemerintah daerah adalah pihak yang berkepentingan atas dicabutnya atau dievaluasinya putusan tersebut. Termasuk menolak perpres ini, karena perpres akan semakin menggerus kewenangan daerah, dan seharusnya konsisten melakukan peraturan-peraturan yang sifatnya lokal sebelumnya dan sebenarnya sudah sangat baik.

Delima Silalahi, Sekretaris Eksekutif Kelompok Studi Pengembangan dan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) menilai proyek ini menghadapi berbagai masalah mendasar yang berdampak negatif terhadap kesejahteraan petani lokal, kelestarian lingkungan, dan hak-hak masyarakat adat. Proyek Food Estate yang diluncurkan di Kabupaten Humbang Hasundutan mencakup lahan seluas 165.000 hektar, tetapi hanya sekitar 10% dari lahan ini yang dikelola secara aktif.

Delima juga menyampaikan sekitar 80-90%, terbengkalai dan tidak terurus. Kondisi ini tidak hanya mencerminkan kegagalan manajemen lahan tetapi juga mengakibatkan kerugian besarnbagi petani yang menggantungkan hidup mereka pada lahan tersebut. Petani dihadapkan pada kontrak-kontrak yang merugikan. Mereka diwajibkan membeli bibit dari perusahaan dengan sistem hutang, yang menyebabkan mereka terjebak dalam lingkaran hutang yang semakin parah ketika panen gagal.

Banyak petani terpaksa mengagunkan tanah mereka ke bank untuk mendapatkan modal, sehingga berisiko kehilangan tanah mereka sendiri. Dampak ini semakin memperburuk kesejahteraan petani, yang pada akhirnya harus bekerja sebagai buruh di lahan mereka sendiri dengan upah yang rendah.

Sementara itu, Prof. Dr. Posman Sibuea, akademisi dari Universitas Katolik Santo Thomas Medan menyampaikan bahwa konsep Food Estatenya sendiri sudah salah karena tidak dirancang secara efektif dan totalitas. Program idak dirancang dengan melibatkan penduduk lokal. Jika pemerintah mau memperbaiki kembali konsep food estate ya kembali pemerintah harus memakai data sensus pertanian untuk kembali mengetahui apa yang menjadi sumber daya dan apa yang perlu dikelola.

Pemerintah perlu memberikan konsep “Merdeka Bertani” sebagai solusi. Petani bebas menentukan akan menanam apa dan bagaimana mereka menjualnya. Sehingga petani bisa membuat pasarnya sendiri. Petani bisa bertemu langsung dengan pembelinya. Kembali melihat potensi kearifan lokal setempat adalah sebuah langkah bijaksana. (Red/Hery Manalu)
.

Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini