Kopi Times – Batu bukan hanya benda mati bagi masyarakat Batak. Ia adalah memori, identitas, dan penjaga nilai-nilai luhur yang diwariskan dari generasi ke generasi. Di balik lanskap megah Geopark Kaldera Toba, tersimpan narasi panjang tentang batu-batu yang berbicara, danau yang menenangkan, serta tugu-tugu yang menyatukan. Inilah wajah ekologi budaya yang mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat Batak, yang kini menemukan gaung barunya lewat pengakuan dunia melalui UNESCOÂ Global Geopark.
Pendekatan ekologi budaya menjelaskan bahwa batu, danau, dan alam bukan sekadar sumber daya, tetapi sumber makna. Di Toba, batu adalah bagian dari struktur sosial dan spiritual. Mulai dari Batu Parsidangan di Huta Siallagan hingga Batu Hobon di Limbong Sagala, batu-batu ini menyimpan jejak sejarah dan nilai budaya Batak. Ia tidak hanya menunjukkan kekayaan geologis akibat letusan supervolcano ribuan tahun silam, tetapi juga kekayaan naratif tentang leluhur, ritus adat, dan tatanan sosial.
Tugu marga yang tersebar di seluruh kawasan Toba menjadi bukti bagaimana masyarakat Batak memelihara memori kolektif melalui media alam. Dalam bingkai budaya, tugu bukan hanya penanda garis keturunan, tetapi juga simpul spiritual yang menyatukan manusia, tanah, dan leluhur. Melalui batu dan tugu, masyarakat Batak membangun sistem nilai yang menjunjung tinggi hubungan ekologis dengan lingkungannya.
Penetapan Geopark Kaldera Toba sebagai bagian dari UNESCO Global Geopark bukan hanya prestasi, tapi peluang besar untuk mengembangkan ruang edukasi ekologis. Di sini, batu dan danau bukan hanya objek wisata, tapi laboratorium hidup untuk mengajarkan relasi harmonis antara manusia, budaya, dan alam. Ekologi budaya menjadi kunci dalam menginternalisasi kesadaran bahwa merawat lingkungan adalah bagian dari merawat warisan dan spiritualitas.
Kini, di tengah ancaman krisis iklim global, kesadaran ekologis masyarakat Batak perlu dibumikan dalam bahasa dan simbol lokal. Batu, tugu, dan danau di kawasan geopark menjadi sarana kuat untuk menyampaikan pesan-pesan pelestarian dalam kerangka budaya yang hidup. Ketika masyarakat Batak memahami bahwa menjaga alam berarti menjaga identitas, maka geopark bukan hanya destinasi, tapi masa depan
Kini, di tengah ancaman krisis iklim global yang semakin nyata, kesadaran ekologis masyarakat Batak perlu dibumikan melalui bahasa, simbol, dan praktik lokal yang akrab dan bermakna. Batu, tugu, dan danau yang tersebar di kawasan geopark bukan sekadar lanskap alam, melainkan media budaya yang kuat untuk menyuarakan nilai-nilai pelestarian lingkungan. Dalam kerangka budaya Batak yang hidup, pesan-pesan ekologis menjadi lebih mengakar. Ketika masyarakat memahami bahwa menjaga alam sama dengan menjaga martabat dan identitasnya, maka geopark bukan hanya menjadi tempat wisata, tetapi juga simbol harapan dan arah masa depan yang berkelanjutan.
Melalui batu, mereka diingatkan. Melalui air, mereka disucikan. Melalui geopark, mereka dibentuk menjadi komunitas yang sadar akan tanah, sejarah, dan masa depan. Maka, menjaga Geopark Kaldera Toba bukan sekadar urusan pemerintah, melainkan gerakan kolektif untuk merawat bumi, budaya, dan keberlanjutan hidup. (Hery Buha Manalu)