Oleh : Hery Buha Manalu
Bagi seorang penggemar touring, jalanan adalah sahabat setia. Setiap tikungan seperti menyimpan cerita, setiap kilometer punya aroma kebebasan, dan setiap pemberhentian adalah potongan kenangan yang melekat lama. Sebagai jurnalis senior yang gemar menghabiskan waktu liburan dengan touring ke luar kota, saya belajar satu hal sederhana tapi penting, touring justru lebih nikmat ketika kita tahu kapan harus berhenti.
Berhenti di tengah perjalanan bukan tanda lemah, justru di situlah seni touring terasa. Saat kita berani memberi jeda, tubuh kembali segar, pikiran lebih jernih, dan motor pun terawat. Sama seperti hidup, touring bukan tentang seberapa cepat sampai tujuan, tapi seberapa bijak kita menikmati perjalanan.
Saya masih ingat ketika pertama kali touring ke Tanah Karo. Awalnya semangat membuncah, gas saya pelintir dengan riang. Tapi dua jam kemudian, punggung mulai kaku, tangan terasa pegal.


Berhenti di warung kopi sederhana di pinggir jalan menjadi penyelamat. Segelas kopi hitam panas dan obrolan singkat dengan pemilik warung membuat tenaga kembali pulih.
Sejak itu, saya paham, tubuh butuh jeda. Satu sampai dua jam berkendara sudah cukup untuk memberi sinyal agar kita berhenti sebentar. Touring akan lebih nikmat kalau dilakukan dengan tubuh yang tidak dipaksa.
Pernah sekali, di perjalanan menuju Danau Toba, saya memaksakan diri meski mata mulai berat. Akibatnya, saya hampir kehilangan kendali di tikungan tajam. Itu jadi pelajaran besar. Sekarang, begitu kantuk datang, saya tak ragu untuk berhenti.
Tidur 20–30 menit di bangku kayu warung, atau sekadar merebahkan badan di mushola kecil, rasanya luar biasa menyegarkan. Touring itu perjalanan panjang, lebih baik sedikit terlambat tapi selamat, daripada memaksakan diri dan menyesal kemudian.
Inilah bagian favorit saya. Touring selalu menghadirkan kejutan, hamparan sawah menghijau, anak-anak desa yang melambaikan tangan, atau laut biru yang tiba-tiba muncul di balik tikungan. Saya selalu berhenti.

Di suatu perjalanan ke Barus, saya menemukan pantai kecil yang sepi. Saya parkir motor, duduk di pasir, dan hanya mendengar debur ombak. Rasanya damai sekali. Dari situ saya sadar, touring bukan sekadar sampai tujuan, tapi bagaimana menikmati hadiah-hadiah kecil dari jalan.
Tidak semua jalan ramah bagi motor. Ada jalur menanjak curam di daerah Sidikalang yang membuat keringat bercucuran. Usai melewati jalur itu, saya menepi, menyalakan rokok, dan membiarkan tubuh rileks sejenak.
Motor pun saya periksa, rantai, ban, dan rem. Touring lebih nikmat kalau kita tahu motor dalam kondisi aman. Berhenti setelah jalan sulit bukan hanya untuk istirahat, tapi juga untuk memastikan bahwa perjalanan bisa dilanjutkan tanpa masalah.
Touring tidak membuat saya lupa pada suatu hal Justru saat berhenti sejenak untuk refleksi perenungan yang sering jadi momen spiritual menenangkan. Saya sering singgah di tempat ibadah mulai dari gereja maupun masjid-masjid kecil di pinggir jalan. Ada rasa bahagia tersendiri ketika singgah istirahat di tempat khusus ini, dengan suasana yang berbeda wajah tapi sama hangatnya. Saya sering sempatkan bertanya tentang informasi tempat-tempat wisata atau sejarah disana. Sekaligus perjalanan yang akan saya lalui, tentunya mereka lebih banyak tahu.
Ketika berkenalan dengan beberapa warga saat usai sholat di masjid, sambil istirahat menawarkan penganan ringan yang saya bawakan diransel, tak terasa badan lebih segar, hati pun lebih ringan. Saya tidak pernah merasa terasing ketika singgah di masjid walaupun saya bukan seorang muslim. Perjalan yang menguatkan keteguhan hati, bahwa Touring bukan hanya perjalanan fisik, tapi juga perjalanan batin.

Selain itu, pada tiap kota yang saya singgahi tidak melewatkan malam begitu saja. Saya termasuk yang suka suasana touring malam. Jalanan lebih sepi, bintang kadang tampak lebih terang. Tapi sebelum benar-benar masuk ke kegelapan, saya selalu berhenti. Biasanya di warung kecil, untuk sekadar cuci muka atau menyeruput teh manis.
Momen ini sederhana, tapi membuat perjalanan malam lebih nikmat. Dengan tubuh segar dan motor yang lampunya dicek kembali, touring malam jadi bukan sekadar tantangan, melainkan pengalaman magis.
Pernah hujan deras di perjalanan Medan – Aceh (Sabang) pernah membuat saya nekat terus melaju. Hasilnya? Pakaian basah, tubuh menggigil, dan perjalanan terasa menyiksa. Sejak itu, saya belajar, lebih baik berhenti, berteduh, dan menunggu hujan reda.
Kadang justru di situ ada cerita baru. Pernah saya berteduh di rumah warga, disuguhi teh manis hangat, dan akhirnya mendapat teman baru. Touring memang lebih nikmat kalau kita tidak melawan alam, tapi belajar berjalan selaras dengannya.

Touring Lebih Indah dengan Jeda
Touring mengajarkan saya banyak hal. Bahwa berhenti sejenak bukan berarti kehilangan waktu, justru menambah nilai perjalanan. Entah itu berhenti karena lelah, kantuk, pemandangan indah, kewajiban ibadah, atau cuaca buruk, semua memberi warna pada cerita touring.
Saya percaya, touring lebih nikmat saat kita tahu kapan berhenti. Karena di setiap jeda, ada kesempatan untuk merasakan kehidupan lebih dalam, menikmati kebersamaan, atau sekadar mengagumi indahnya ciptaan Tuhan. Touring bukan tentang cepat sampai, tapi tentang bagaimana setiap kilometer menjadi kenangan yang abadi. (Red/*)




