spot_img
BerandaBudayaTugu, Kebersamaan Gotong Royong untuk "Eksistensial" Marga dalam Budaya Batak

Tugu, Kebersamaan Gotong Royong untuk “Eksistensial” Marga dalam Budaya Batak

Screenshot 20230818 190237
Tugu merupakan kerbersamaan Eksistensi Gotong sebuah Marga. Saat Pembangunan sebuah Tugu di Huta Tinggi Parmonangan Tapanuli Utara/Ist/Kopitimes
Oleh : Hery Buha Manalu, Dosen Pasca Sarjana STT Paulus Medan, Penggiat Lingkungan dan Budaya
Kopi Times, Tak salah jika orang mengaitkan berdirinya sebuah tugu, adalah sebuah eksistestensial kebersamaan. Kebersamaan yang dimaksud adalah wujud dari “kebesaran” gotong royong kerjasama dalam dimensi H3, yaitu hamoraon, hagabeon, hasangapon dan kekayaan, keturunan, kemuliaan. Tugu sebagai kebersamaan gotong royong untuk “Eksistensial” sebuah Marga dalam masyarakat Budaya Batak.

Tugu adalah sebuah karya seni kerjasama yang mengandung makna sebagai peringatan suatu peristiwa. Pendirian tugu juga untuk menghormati orang atau kelompok yang berjasa. Tugu boleh saja hanya berupa tiang besar terbuat dari batu, atau sebuah patung atau bangunan. Tapi bagaimana pun tiang besar itu terbuat dari capaian kerjasama dalam bergotong royong.

Tugu juga bisa diartikan sebagai peringatan dan sebagai pusat peribadatan agama hasil kerjasama. Terbuat dari batu atau kayu dengan pucuknya sering ramai dihiasi. Peringatan ini dikenang sebagai sebuah perjuangan historis leluhur marga hingga berdiri. Kemudian ada lagi tugas penting generasinya dalam kebersamaan gotong royong atau kerjasama dalam mendirikannya. Ada eksistensi pada tugu tersebut. Ada eksistensi dan ada pesan religiusnya.

Selain bermakna religius, dan kita pahami tugu dengan tiang-tiang sepeti di Yunani yang menyatu dengan rancangan bangunan yang mempunyai daya tarik keindahan yang kuat, karya seni. Tugu adalah karya seni yang sarat makna. Makna kerjasama, yaitu bagi masyarakat budaya Batak makna religiusnya adalah tidak lari dari sebuah niat suci dari kebersamaan hati para generasinya (pomparan). Doa bersama dalam kebulatan rencana mendirikan tugu leluhur dengan memaknai kerjasama gotong royong, bukan hanya atas kekuatan ekonomi orang tertentu saja supaya dia dikatakan lebih berjasa. Berkat tetap dari Tuhan Yang Maha Esa. Namun kerendahan hati lebih utama. Itulah makna religius Tugu bagi masyarakat Batak.

Dalam istilah Batak, Tugu juga disebut sebagai Simin (maksudnya bangunan terbuat dari semen, dibedakan dari makam biasa). Tambak disebut pada bangunan makam yang agak tinggi tempat dikumpulnya tulang-belulang nenak moyang beberapa generasi. Ada beberapa pandangan tentang dewasa ini. Dimana tugu hanya dipandang dengan sebuah bangunan yang lebih megah. Bahkan Tugu hanyalah disebut untuk bangunan tanda peringatan atau perkumpulan suatu marga. Tapi lebih dari itu diharapkan agar dapat mempersatukan marga yang telah berkembang bercabang-cabang,  yang mau bekerjasama dan sekaligus dapat mengatahui histori nenak moyangnya. Kekuatan gotong royong ditanamkan.

Bagi orang Batak tugu merupakan bangunan yang sakral, mengapa. Kesakralannya mengandung sebuah wujud dari perjuangan panjang (kerjasama) Menghimpun data dari sejarah leluhurnya. Kewatakan, kebiasaan dan lain sebagainya biasanya dicari datanya, digali historisnya dan sebagainya. Bukan mendirikannya hanya sebagai bagunan belaka tanpa sejarah historis yang mendasar. Mungkin bagi orang awam yang sedang melintas di Tanah Batak akan terheran-heran akan melihat banyaknya tugu yang bertebaran, itu berdiri dari semangat gotong royong yang kita saksikan di sepanjang jalan. Bukan sekedar bangunan tapi itu semua didirikan bermakna bagi keturunan dan generasi sebuah marga dengan berbagai ornamen yang memiliki arti.

Sebab ornamen Batak itu bukanlah sekadar ornamen bangunan yang dibuat untuk sekadar perhiasan ataupun ikon suatu kota, melainkan suatu bangunan yang menyimbolkan suatu keutuhan akan suatu turunan atau kelompok marga tertentu. Ornamen yang dinamis, bagaikan gerak serempak, bagaikan gerak tari sakral yang berbicara bila mengenangnya dan memahaminya. Hidup sebuah marga yang dinamis untuk dibaca oleh keturunannya sebuah modal kehidupan untuk bermasyarakat beradat dan ber dalihan na tolu sebagai tiga unsur utama. Hidup yang penuh tantangan tapi bisa dilalui dalam membuktikan eksistensi pesan leluhur tetap menjaga perasaan dongan tubu, menghormati hula-hula dan menyanyangi boru (elek). Prinsip Batak dalam kehidupan bermasyarakat derap langkah kebersamaan dari ketiga unsur utama tadi oleh kelompok marga sebuah tugu untuk sukses. Kesuksesan ketiga elemen untuk bergotong royong. Kesatuan utuh kerjasama.

Dewasa ini dapat dikatakan kesuksesan suatu marga tertentu ditunjukkan jika sudah terdapat (ada) tugunya. Kesuksesan yang dimaksud tak sekadar materi saja, tapi juga kerelaan meluangkan waktu menyatukan persepsi (satahi). Lalu pembangunan tugu tersebut bukanlah atas prakarsa satu atau beberapa orang dari marga tersebut, tapi harus melalui musyawarah antara penyandang marga tersebut, di mana pun komunitas marga itu tersebar. Jarak dan waktu sejak leluhu bukan sebuah alasan meninggalkan warisan leluhur atas kekuatan kebersamaan bergotong royong.

Jika ada satu marga tertentu yang berada di perantauan, bukan berarti pembangunan tugu yang direncanakan harus dari koceknya saja karena seseorang itu kaya ataupun seorang pejabat yang berpengaruh. Namun yang bersangkutan malah harus mengajak sesamanya yang semarga di daerah lain untuk meniatkan satu tujuan bersama untuk membangunnya. Hal ini sebagai wujud persatuan (Hasadoan ni roha) marga daerah asal mereka kampung halaman (bona pasogit) yang dapat seniat (satahi). Gotong royong mereka yang ada di kampung halaman dan diperantauan.

Tugu sebagai eksistensi makna persatuan (Hasadaon) untuk cita-cita tujuan (satahi). Kemudian harus mempunyai rasa memiliki dan persatuan yang utuh agar bisa mencapai tujuan tersebut. Dengan mengandalkan materi seseorang saja dianggap sebagai suatu yang tabu (tokka). Orang yang status sosialnya tinggi dari marga itu akan menjalin komunikasi dengan sesama marga (dongan tubu) yang berdiaspora serta sudah mendirikan paguyuban marga (punguan parsadaan partangiangan) di daerah diasporanya. Gotong royong masih bisa tetap dilakukan bila saling kordinasi.

Dari diaspora mengirimkan utusan perwakilan untuk membahas pembangunan tugu tersebut. Tak cukup hanya sekali saja perwakilan diaspora itu hadir. Seperti membuat suatu perjanjian diplomatik, masing-masing perwakilan diaspora memberi rancangan bagaimana bentuk tugu tersebut dibuat serta jumlah kontribusi yang diberikan per komunitas diaspora. Jika berjalan lancar atas proses yang dilakukan tersebut, tugu pun pun mulai dibangun.

Keberhasilan menyelesaikannya bisa dicap bahwa mereka sudah mampu mengesampingkan rasa ego masing-masing serta mampu membuat persatuan keluarga yang utuh. Diiringi tabuhan gendang dari pemusik (pargonci) dan tarian tortor. Rasa bangga (satahi saoloan) dari rasa kompak persatuan “arga do bona ni pinasa” telah ditunaikan oleh mereka. Para marga-marga yang lain pun akan mengucapkan keberhasilan pembangunan tugu marga tersebut. Mereka yang menyandang marga itu dipandang sudah memiliki status sosial yang tinggi (sangap) serta memiliki kesatuan jiwa (hasadaan).

Disimpulkan eksistensi tugu begitu penting bagi suku Batak, tak mengherankan jika setiap golongan marga harus bekerja keras agar marga yang disandangnya tidak dipandang sebelah mata. Selain itu rasa persatuan harus juga dimiliki komponen suatu marga agar pembangunan suatu tugu dapat berjalan lancar tanpa mesti dihambat oleh perselisihan pendapat yang tajam dan membuat persatuan yang menjadi tujuan semula pembangunan tugu jadi tak terealisasi. Tak salah jika kemudian mengaitkan tegaknya suatu tugu dengan “kebesaran” suatu marga. “Kebesaran” dalam ukuran capaian tiga nilai eksistensial orang Batak: hamoraon, hagabeon, hasangapon dan kekayaan, keturunan, kemuliaan, itu semua sudah diperintahkan secara turun temurun dalam wujud bergotong royong. (Red/***)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini