Oleh : Hery Buha Manalu
Danau Toba bukan sekadar danau. Ia adalah simfoni alam dan budaya yang hidup berdampingan selama ribuan tahun. Di balik kecantikan bentang Kaldera Toba yang terbentuk dari letusan supervolcano 74.000 tahun lalu, tersimpan satu narasi luhur lain yang tak kalah agung, ulos, kain tenun warisan leluhur Batak, yang menyelimuti bukan hanya tubuh manusia, tapi juga filosofi hidup dan spiritualitas orang Batak. Ketika geopark Toba didefinisikan sebagai kawasan warisan geologi dunia, kita perlu menyadari bahwa batuan dan ulos sesungguhnya satu tarikan napas dalam narasi peradaban Toba.
Geosite-geosite Kaldera Toba yang sedang kembali dinilai oleh tim asesor UNESCO bukan sekadar menyimpan lapisan batuan vulkanik. Di dalamnya hidup nilai-nilai yang ditenun dalam keseharian masyarakat lokal, yang saling berkait antara geodiversity (keanekaragaman geologi), biodiversity (keanekaragaman hayati), dan cultural diversity (keanekaragaman budaya). Di titik inilah ulos dan batuan bertemu sebagai simbol keterikatan antara alam dan manusia.
Ulos Manifestasi Kebijaksanaan Kosmologis
Ulos bukan hanya produk tekstil. Ia adalah manifestasi kebijaksanaan kosmologis Batak yang menjembatani dunia roh, dunia manusia, dan dunia alam. Kain ini diberikan saat kelahiran, pernikahan, hingga kematian. Dalam konteks geopark, ulos bisa dipahami sebagai simbol kultural yang mengajarkan manusia untuk menyatu dengan tatanan semesta, sebagaimana batuan purba Toba yang menjadi saksi perjalanan panjang bumi.
Jika kita perhatikan, motif-motifnya seperti ragi hotang (bermotif rotan yang melilit) mengandung pesan kekuatan dan keterikatan, mencerminkan hubungan sosial dan alam yang erat dan saling melindungi. Motif ini sesungguhnya menggambarkan pula relasi masyarakat Batak dengan tanah leluhur mereka, tanah yang bukan sekadar sumber daya, tapi bagian dari identitas diri. Dalam sistem nilai Batak, tanah, batu, dan air adalah bagian dari tubuh kehidupan. Maka menjaga geopark bukanlah tindakan luar biasa, tapi seharusnya refleks kebudayaan.
Pengembangan Geopark dan Industri Ulos
Dalam konteks ekonomi hijau, ulos juga menyimpan peluang besar. Tenunnya adalah praktik berkelanjutan yang diwariskan antargenerasi, menggunakan bahan-bahan lokal, dan dikerjakan dengan tangan oleh perempuan-perempuan desa. Di era green economy, pendekatan seperti ini perlu mendapat tempat terhormat. Pengembangan geopark yang melibatkan industri budaya akan memperkuat ekosistem ekonomi lokal berbasis nilai, bukan sekadar konsumsi. Ia menjadi jembatan antara pelestarian dan pemberdayaan.
Pemberdayaan masyarakat melalui ulos dapat diarahkan menjadi bagian dari strategi geopark yang berkeadilan dan berkelanjutan. Program pelatihan, promosi, dan pendampingan terhadap penenunnya, misalnya, bukan hanya menghidupkan ekonomi kreatif berbasis lokal, tapi juga menghidupkan nilai budaya yang mulai dilupakan. Kita tidak hanya menjual produk, tapi juga cerita dan makna. Wisatawan yang datang ke Toba tidak hanya membeli oleh-oleh, tapi ikut membawa pulang sepotong kebijaksanaan Batak yang tertanam dalam benang-benangnya.
Di sisi lain, narasi ulos dapat menjadi instrumen edukatif dalam pengembangan geopark. Sekolah-sekolah bisa mengajarkan tentang batuan, sejarah Kaldera, dan perubahan iklim dengan pendekatan lintas ilmu, mengaitkan ilmu geologi dengan budaya lokal. Anak-anak Batak perlu belajar bahwa warisan alam dan budaya bukan dua entitas yang terpisah, tetapi saling menguatkan. Inilah cara kita menumbuhkan generasi penjaga, bukan sekadar penonton kemegahan Toba.
Ulos dan Batuan Toba Menjaga Cerita, Menenun Masa Depan
Harmoni antara ulos dan batuan dalam konteks geopark adalah model holistik pembangunan berkelanjutan yang bisa jadi contoh dunia. Toba bukan hanya menarik karena keindahan lanskapnya, tapi juga karena keutuhan narasi hidupnya, dari perut bumi yang memuntahkan api, hingga tangan-tangan ibu yang menenun benang kehidupan. Dari letusan yang menghancurkan, lahirlah danau yang memberi kehidupan. Dari kerajinan yang tampak sederhana, lahirlah pelajaran agung tentang keberlanjutan, identitas, dan harapan.
Maka dalam membangun Geopark Kaldera Toba ke depan, pelestarian batuan harus berjalan seiring pelestarian nilai budaya. Bukan semata menjaga batu dari erosi, tapi juga menjaga makna hidup dari erosi modernitas. Dan ulos, dalam segala warna dan motifnya, menjadi tanda bahwa manusia Batak masih memegang erat benang penghubung dengan alam semestanya.
Ulos dan batuan adalah dua narasi yang berbeda tapi saling menyempurnakan. Keduanya mengajarkan kita satu hal, bahwa keberlanjutan bukanlah konsep teknis semata, melainkan kebudayaan hidup yang diwariskan. Dari Toba, kita belajar bahwa menjaga bumi juga berarti menjaga cerita, dan dari cerita-cerita itu, kita bisa terus menenun masa depan yang lestari..
Penulis adalah Akademisi, Solidaritas Kebangsaan (Solidbang) RI, Mahatala Nommensen dan Pendiri Pusaka