Kopi Times | Medan :
Konflik agraria di Sumatera Utara semakin kompleks dan memburuk. Dalam konferensi pers yang digelar oleh Aliansi Pejuang Reforma Agraria (APARA) bersama WALHI Sumut di Kantor WALHI, Senin (30/6/2025), Staf Advokasi dan Kampanye WALHI Sumut, Maulana Gultom, menegaskan bahwa situasi agraria di Sumut saat ini berada dalam kondisi darurat.
Menurut Maulana, negara semakin kehilangan keberpihakan terhadap rakyat dalam hal pengelolaan dan perlindungan tanah. “Negara tidak lagi hadir sebagai pelindung rakyat. Justru negara kerap kali berpihak pada korporasi dalam berbagai konflik agraria yang terjadi di Sumut,” tegasnya.
Dalam paparannya, Maulana merinci sejumlah kasus konflik agraria yang mencerminkan ketimpangan struktural yang mendalam. Di antaranya adalah konflik yang melibatkan Kelompok Tani Padang Halaban dan Sekitarnya (KTPHS) dengan PT SMART, anak usaha Sinar Mas Group, di Kabupaten Labuhan Batu Utara. Warga telah memperjuangkan tanah seluas 83,5 hektare sejak tahun 1958, namun hingga kini belum mendapatkan keadilan.
“Ini bukan hanya konflik lahan. Ini adalah konflik kehidupan. Ketika petani kehilangan tanah, itu berarti mereka kehilangan penghidupan, identitas, bahkan harga diri,” ujar Maulana.
Konflik serupa juga terjadi di berbagai daerah lain di Sumatera Utara, seperti di Padang Lawas antara petani dengan perusahaan HTI PT SSL, di Langkat antara masyarakat adat Rakyat Penunggu dengan PTPN II, serta di Deli Serdang yang melibatkan Kelompok Tani Lepar Lau Tengah (KTTLT) dan PT Nirvana Memorial yang disebut-sebut terlibat dalam praktik mafia tanah.
Selain itu, di Pematang Siantar, Serikat Petani Sejahtera Indonesia (SEPASI) Gurilla menghadapi perampasan lahan oleh PTPN IV. Di wilayah Tapanuli, konflik antara masyarakat adat Toba dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL) masih belum menemukan penyelesaian, sementara pengesahan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat tak kunjung terealisasi.
“Kami mencatat bahwa praktik kekerasan, intimidasi, hingga kriminalisasi terhadap petani, masyarakat adat, mahasiswa, dan aktivis masih sering terjadi. Ini bentuk nyata ketidakadilan struktural yang makin mengakar,” tambah Maulana.
Dalam kesempatan tersebut, WALHI Sumut dan APARA menyampaikan lima tuntutan utama kepada pemerintah pusat dan daerah. Pertama, menghentikan segala bentuk penggusuran terhadap petani dan masyarakat adat. Kedua, mencabut izin HGU dan konsesi perusahaan bermasalah. Ketiga, menghentikan segala bentuk kriminalisasi terhadap pejuang agraria. Keempat, segera mengesahkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Sumut. Kelima, memprioritaskan reforma agraria sejati yang berpihak pada rakyat.
Maulana Gultom kembali menegaskan bahwa penyelesaian konflik agraria di Sumatera Utara tidak bisa dipahami semata sebagai persoalan redistribusi tanah. Lebih dari itu, isu ini menyangkut keadilan sosial, kedaulatan rakyat atas ruang hidupnya, serta pelestarian budaya lokal yang telah terbangun selama ratusan tahun. Ia menekankan bahwa tanah bagi masyarakat adat dan petani bukan sekadar aset ekonomi atau komoditas pasar.
Tanah adalah sumber kehidupan, ruang spiritual, serta warisan budaya yang membentuk identitas kolektif mereka. Ketika tanah dirampas, maka sesungguhnya yang hilang adalah masa depan generasi, martabat, dan akar kebudayaan mereka. “Tanah adalah tubuh dan jiwa masyarakat adat dan petani. Ketika tanah dirusak atau diambil paksa, maka mereka tercerabut dari keberadaan dan sejarahnya sendiri,” ujar Maulana penuh penekanan.
WALHI Sumut menyatakan komitmennya untuk terus mengawal perjuangan masyarakat akar rumput dalam mendapatkan keadilan agraria. Mereka juga mengajak semua elemen masyarakat sipil, akademisi, media, mahasiswa, dan pemuda untuk terlibat aktif dalam mendukung perjuangan ini.
“Reforma agraria sejati bukanlah mimpi yang jauh. Tapi harus menjadi kenyataan bersama. Hidup petani! Hidup masyarakat adat! Reforma agraria sejati, harga mati!” pungkas Maulana.
“Reforma agraria sejati bukanlah mimpi yang jauh,” tegas Maulana Gultom dalam konferensi pers yang digelar WALHI Sumut bersama Aliansi Peduli Agraria (APARA)
Menurutnya, cita-cita untuk menghadirkan keadilan agraria yang berpihak pada petani, masyarakat adat, dan kelompok rentan bukan sesuatu yang mustahil, asal ada keberanian politik dan keberpihakan negara kepada rakyat kecil. Reforma agraria sejati adalah langkah konkret untuk mengembalikan hak-hak rakyat atas tanah dan ruang hidupnya, serta menghentikan praktik perampasan lahan yang selama ini menyisakan luka struktural di banyak wilayah.
Ia menyerukan pentingnya gerakan kolektif dan solidaritas lintas sektor untuk memperjuangkan reforma agraria yang benar-benar berkeadilan, berkelanjutan, dan berbasis pada kearifan lokal. “Hidup petani! Hidup masyarakat adat! Reforma agraria sejati, harga mati!” pungkas Maulana, menggugah semangat peserta yang hadir untuk terus melawan ketimpangan dan penindasan agraria yang masih terjadi hingga hari ini.
Konferensi pers ini ditutup dengan seruan bersama dari perwakilan komunitas tani, organisasi mahasiswa, dan aktivis lingkungan yang hadir. Mereka menyuarakan satu tekad: menolak penggusuran, melawan ketimpangan, dan memperjuangkan tanah untuk rakyat. (HB)