“WARNA DANAU” SETELAH DI MEDAN (Sebuah Catatan Penyutradaraan)

Oleh: Thompson Hs

Kopi Times | Medan – Panggung kembali dipasang dua hari sebelum pertunjukan di Ballroom Hotel Grand Mercure Medan karena pertunjukan “Warna Danau” akan disajikan kepada sasaran penonton di kota tujuan terakhir setelah Balige, Jakarta, dan Padang. Jadi pertunjukan di Medan adalah yang terakhir. Pertunjukan di hotel seberang bekas Taman Budaya Sumatera itu dilaksanakan pada Kamis, 16 Desember 2021; dipercepat dua hari dari jadual yang sudah terpublikasi sebelumnya. Tim “Warna Danau” juga menginap di hotel tersebut, sebagaimana mengikuti standar kordinasi, menuju eksekusi jadual pertunjukan. Di Padang juga demikian. Hanya di Balige dan Jakarta penginapan terpisah dari tempat pelaksanaan pertunjukan. Semua strategi penginapan dan kordinasi teknis yang disesuaikan berdasarkan tempat tujuan pertunjukan sudah disurvey pada bulan Oktober 2021. Survey dilakukan oleh Bpnb Aceh bersama Octavianus Matondang dan rekanan dari Banda Aceh. 


Panggung terlihat menjadi biasa dibandingkan dengan penglihatan kepada 3 kemewahan sebelumnya. Kemewahan panggung dapat terlihat karena gedungnya. Panggung yang lebih mewah bagi Tim “Warna Danau” adalah yang menantang seperti di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ). Di sana panggung sudah tersedia sesuai standar pertunjukan. Sedangkan panggung di Balige, Padang, dan Medan tanda kemewahannya adalah standar yang biasa seperti panggung-panggung teknis yang dipasang atau dipesan. Kemewahan panggung di sebuah gedung pertunjukan dan di hotel sudah pasti berbeda. Sedangkan kemewahan artistiknya tentu saja tergantung mutu kordinasi struktur produksi.


Ini adalah sebuah catatan penyutradaraan dan berbeda dari catatan proses menulis naskah “Warna Danau”. 


Setiap menjelang pertunjukan biasanya sutradara bukan lagi orang penting untuk menjalin dan mengelola bentuk dan teknis untuk pertunjukan. Ada manager panggung (stage manager) yang sudah tercantum di struktur produksi. Selain manager panggung disediakan direktur pertunjukan (Show Director). Mata sutradara lebih leluasa melihat apa yang terjadi selama persiapan pertunjukan dengan kehadiran kedua posisi itu. Kerepotan sutradara kembali hanya muncul ketika ada masalah-masalah baru yang bersifat artistik dan penjelasan atas pengetahuan yang terkandung dalam isi (konten) pertunjukan.


“Warna Danau” mengusung narasi 4 Puak dari Kawasan Danau Toba (KDT) Ini terkesan baru karena di luar kawasan itu diduga tidak ada narasi seperti itu. Jadi memang ada 4 Puak di KDT, terutama karena administrasi 8 kabupaten yang citranya dengan puak-puak itu. Puak Toba terhitung lebih dominan dengan 4 kabupaten sehingga luasan zonasi di KDT juga lebih dominan untuk Puak Toba. Kata Toba itu juga dianggap menjadi dominan karena secara khusus ada pula Kabupaten Toba setelah direvisi dari Toba-Samosir. Toba dan Samosir sudah sebutan kabupaten yang berbeda seperti Humbang Hasundutan. Ketiganya adalah pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Utara. Jauh sebelum pemekaran untuk tiga kabupaten itu Dairi juga berinduk ke Tapanuli Utara. Dan Dairi sudah melakukan pemekaran dengan kehadiran Kabupaten Pakpak Bharat. Di kabupaten itu boleh disebut lebih kental warna Puak Pakpaknya dibandingkan dengan di Kabupaten Dairi. Ciri dua puak lain identik juga nama kabupatennya, yaitu Kabupaten Simalungun dan Karo. Simalungun memiliki zonasi ketiga terluas untuk pengelolaan Danau Toba setelah Samosir dan Toba. Sedangkan Karo mirip dengan Humbahas dan Pakpak Bharat menumpang punya Danau Toba dari induknya, Kabupaten Dairi. 


Bagaimana narasi 4 Puak ini harus terkesan tidak didominasi satu sama lain di atas panggung? Pertama, mengikuti apa yang tertulis di naskah. Semua struktur produksi, termasuk pemain yang berada di bawah lintas kordinasi wajib membaca dan mencermati naskah. Masing-masing bisa menerjemahkan naskah untuk konsep-konsep koreografi, musikal, dramatik, dan artistik sebelum barang jadi diolah oleh direktur pertunjukan (Show  director). Jadi semua yang terlibat di struktur produksi dianggap sudah menguasai isi naskah sebelum mengembangkan keinginan di sana-sini. Akses dan kesempatan juga terbuka bagi semua untuk mengutarakan dan menyampaikan catatan konsep masing-masing. Bagaimana jadinya konsep masing-masing diuji tentu dikaitkan juga dengan administrasi atau petunjuk keuangan produksi dari Bpnb Aceh. 


Biaya produksi “Warna Danau” dengan tuntunan kemewahan teknis menyediakan anggaran yang tidak sedikit. Karena kordinasi penyutradaraan tidak sampai ke persoalan anggaran produksi, saya bisa keliru menghitung jumlah yang pasti dari anggaran yang berkembang setiap menjelang pertunjukan. Inti dari penyutradaraan selama proses hingga pertunjukan sebaiknya berfokus kepada target dan mutu pertunjukan. Perbandingan mutu “Warna Danau” di setiap tempat dapat berbeda. Faktor-faktor yang membedakan itu sepenuhnya dapat dievaluasi di level struktur produksi. Apalagi mutu memiliki hubungan dengan teknis-teknis pendukung pertunjukan di atas kemewahan panggung. 


Kadang, atau malahan semakin dimaklumi, evaluasi di level struktur produksi tidak diperlukan lagi karena masing-masing dianggap sudah harus mengejar atau menyelesaikan target masing-masing. Posisi sutradara di level struktur produksi bersifat internal dan menciut kepada evaluasi permainan saja. Permainan di atas panggung harus lebih diutamakan dalam penyutradaraan karena target mencapai sasaran dan apresiasi penonton juga menjadi tanggungjawab penyutradaraan. Kemewahan panggung jangan sampai barang yang sia-sia dipasang dengan biaya yang cukup tinggi pula. 


Panggung “Warna Danau” merupakan panggung untuk narasi 4 Puak. Hasilnya sudah terlihat. Plus-minusnya terekam dalam proses dan pelaksanaan. Pertunjukan di kota Medan membuka pertanyaan tentang keberlanjutannya ke depan.


“Warna Danau” belum dapat ditanggapi secara pasti untuk dilanjutkan pada tahun depan dalam program khusus Bpnb Aceh. Tahun 2020 waktu menggagas ide untuk melahirkan “Warna Danau” sebagai pentas keliling untuk promosi budaya 4 Puak, Kepala Bpnb Aceh adalah Ibu Irini Dewi Wanti dan sebelum “Warna Danau” dapat dipentaskan ke 4 kota sudah menjadi Direktur Pelindungan Kebudayaan Kemdikbudristek RI. 


Tim “Warna Danau”  merasa keberhasilan  pertunjukan keliling belum menjangkau target dan harapan yang lebih luas, apalagi narasi 4 Puak di KDT harus melahirkan dampak selain ke dalam dan ke luar. Dampak ke dalam serta merta dirasakan para pemain, baik sebagai representasi sanggar-sanggar, puak tertentu, dan wilayah administrasi. Sedangkan dampak ke luar diharapkan memicu kedatangan orang -orang datang ke KDT menikmati keberagaman sosial budaya sambil jalan-jalan sebagai turis. 


Cukupkah keberlanjutan “Warna Danau”  di tangan penyutradaraan saja? Tentu saja, tidak. Sutradara di luar penyutradaraan panggung diperlukan untuk suatu keberlanjutan “Warna Danau”. Semoga Kepala Bpnb Aceh yang terbaru nanti dapat meneruskan gagasan sebelumnya dari Ibu Irini. Untuk persoalan ini harus ada “Jenderal Lapangan” yang dekat dan mengetahui peta yang tidak akan menyesatkan eksekusi program.  (Rel/Hery B Manalu) 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here