Oleh: Hery Buha Manalu
Bila bung berjalan pagi di pulau Samosir, Kawasan Danau Toba, aroma bumbu andaliman akan menggoda langkahmu. Di warung pinggir jalan, sepiring naniura, ikan segar yang “matang” oleh asam dan rempah tersaji dengan penuh hormat seperti upacara kecil untuk menyambut hari. Tak jauh dari sana, dari sebuah dapur, seorang ibu tengah mengangkat kuali besar, menyiapkan arsik, ikan mas bumbu khas Batak, yang tak hanya sedap, tapi sarat makna. Di belahan lain Tapanuli, ombus-ombus dan lampet hangat baru saja keluar dari kukusan, siap menjadi teman kopi pagi.
Itulah wajah dapur rakyat Sumatera Utara, hidup, kaya, dan penuh daya tahan. Mereka bukan sekadar tempat memasak, melainkan pusat ekonomi mikro, ruang budaya, dan laboratorium ketahanan pangan yang sesungguhnya.
Ketahanan Pangan Dimulai dari Rasa
Ketahanan pangan bukan hanya tentang ketersediaan beras dan jagung. Ia adalah soal keterhubungan antara tanah, tangan petani, dan piring makan rakyat. Di Sumatera Utara, makanan bukan cuma untuk kenyang, tapi juga identitas. Dari “dali ni horbo” (susu kerbau) yang menjadi lambang kemurnian dalam adat Batak, hingga saksang yang menjadi hidangan sakral dalam upacara adat, kuliner adalah narasi tentang siapa kita dan bagaimana kita bertahan.
Bahkan di tengah krisis global dan naiknya harga pangan, dapur rakyat tetap bertahan dengan kreativitas lokal, mengganti beras dengan ubi tumbuk, menanam sayuran di halaman, atau membuat inovasi pangan berbasis bahan lokal. Ini bukan semata bertahan hidup, tetapi merayakan kehidupan.
Geliat UMKM Kuliner Sumut, Dari Dapur ke Etalase Dunia
Banyak UMKM di Sumatera Utara yang kini tak hanya menjual rasa, tapi juga menjual nilai budaya dan cerita. Sebut saja UMKM yang mengemas bika ambon, kacang sihobuk, dan kopi lintong dalam kemasan premium untuk pasar internasional. Atau pelaku muda kreatif yang memasarkan sambal andalimanl melalui e-commerce hingga ke Eropa dan Jepang.
Di Medan, bisnis oleh-oleh telah berkembang menjadi ekosistem ekonomi rakyat. Bolu Meranti, Pancake Durian, ,Lapis Legit Khas Medan, hingga Napoleon Medan menjadi bukti bagaimana warisan rasa bisa ditransformasi menjadi produk kreatif yang membuka lapangan kerja.
Tak hanya itu, Pesona Kopi Sumatera Utara dan geliat UMKM kuliner di kawasan Danau Toba, Samosir, Humbang Hasundutan, dan Tapanuli Utara juga menunjukkan tren positif. Mereka menyatukan rasa lokal dengan inovasi modern, mulai dari kafe kopi Arabika Toba yang instagrammable, hingga restoran kecil di pinggir danau yang mengolah ikan bakar dengan cita rasa khas.
Sentuhan BI Sumut, Ketika Ekonomi Bertemu Budaya
Bank Indonesia (BI) Kantor Perwakilan Sumatera Utara mengambil langkah strategis dengan mendukung penguatan UMKM pangan. Melalui program UMKM Binaan BI, mereka mendorong sertifikasi halal, pelatihan keuangan, akses digitalisasi, pameran kuliner lokal di berbagai event nasional dan internasional. Menjelajahi keindahan negeri kita dan dukung pariwisata lokal Danau Toba bersama wisata kuliner dan potensi UMKM. Bersama keindahan alam dan kekayaan budaya Indonesia menanamkan rasa bangga berwisata di negeri sendiri adalah cara kita menunjukkan cinta pada tanah air. Lalu mendukung Gerakan Bangga Berwisata di Indonesia dan menjadi bagian dari perubahan positif untuk negeri kita tercinta dari Danau Toba Sumatera Utara.
Dalam KKSU, misalnya, potensi pariwisata (Rap Pamajuhon Sumatera Utara) termasuk kuliner Batak diperkenalkan sebagai bagian integral dari pariwisata dan ketahanan ekonomi daerah. BI Sumut aktif mendorong Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia dan Bangga Berwisata di Indonesia dengan menampilkan kuliner dan produk khas Sumut sebagai simbol kekuatan ekonomi kreatif berbasis budaya.
BI juga mendorong digitalisasi transaksi UMKM kuliner melalui QRIS, sehingga pedagang tradisional di Medan, Parapat, Tarutung, dan Balige bisa menerima pembayaran digital, memperluas akses pasar, dan meningkatkan daya saing produk lokal.
Dapur sebagai Pilar Kedaulatan
Apa yang terjadi di dapur-dapur rakyat Sumatera Utara adalah pelajaran besar bagi bangsa ini. Bahwa kedaulatan pangan bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tapi juga rakyat. Bahwa resep nenek kita adalah harta tak ternilai. Dan bahwa setiap piring makanan lokal adalah manifestasi dari ketahanan, kreativitas, dan kearifan.
Di tengah ancaman krisis pangan global, mari kita jangan lupakan dapur sendiri. Dapur yang menyimpan rempah, cerita, dan semangat untuk hidup. Di sana ada ibu-ibu yang terus memasak dengan cinta. Di sana ada UMKM yang terus bertahan dengan daya. Dan di sana ada Indonesia yang tak pernah menyerah menjaga martabatnya melalui makanan.
Ketahanan pangan Sumatera Utara bukan sekadar soal angka statistik, tapi tentang bagaimana ombus-ombus tetap mengepul, arsik tetap meriah di pesta adat, dan kopi Toba tetap harum di meja. Jangan biarkan nyala dapur rakyat padam, sebab dari sanalah nyala ketahanan, keadilan, dan kemajuan bermula.(Red/*)