Selasa, Januari 21, 2025
spot_img

Jurnalisme Kekinian, Belajar dari Majalah Berita Tempo

Kopi-times.com – APA yang salah dengan Majalah Berita Tempo? Mengapa framing pemberitaan Tempo, kok, jadi seperti itu? Mengapa Tempo terkesan “membenci” Jokowi?

Setidaknya pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang bergelayut di benak saya setelah majalah tersebut digunjingkan banyak orang belakangan ini terkait dengan cover dan isi beritanya.

Untuk diketahui, sebagai mahasiswa komunikasi (dulu), saya rutin membaca Tempo. Lewat Tempo, saya mendapat informasi tambahan dan lebih dalam yang tidak saya peroleh kalau saya hanya membaca berita yang sama di surat kabar.

Gaya bahasa dan diksi yang dipakai Tempo juga menarik. Penggambaran atau diskripsi atas peristiwa yang diberitakan Tempo sangat kuat.

Muncul kesan, sang wartawan sedang berada di lapangan (lokasi) saat peristiwa terjadi, termasuk ketika tersangka korupsi sedang diperiksa di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Tempo sangat rinci memberitakannya hingga hal-hal kecil yang tidak pernah mendapat perhatian para wartawan koran harian jika mereka sedang meliput peristiwa. Tempo selalu jeli melihat dari sudut pandang yang berbeda.

Tagline Tempo “Enak Dibaca dan Perlu”, menurut saya memang pas buat majalah itu. Editingnya kuat. Praktis saya tidak pernah menemukan kesalahan kata dan kalimat yang ditulis Tempo. Akurat.

Setelah saya bekerja sebagai wartawan, Tempo menjadi bacaan wajib saya, sampai-sampai setelah menikah, istri saya kesal karena di rumah banyak tumpukan majalah Tempo edisi lama yang sudah berusia tahunan. Saya marah jika istri berniat meloakkan majalah bekas tersebut.

Setelah era digital datang, saya membeli Tempo lewat Wayangforce, aplikasi kios majalah, buku dan koran. Lebih praktis, karena saya cukup membaca majalah itu lewat tablet.

Namun, setelah Wayangforce tak beroperasi lagi, saya mulai tidak rutin membaca Tempo, kecuali kalau majalah ini menurunkan laporan utama yang memang menarik dan perlu saya ketahui.

Setelah pensiun sebagai wartawan, sebagai praktisi, saya mengajar di sebuah perguruan tinggi komunikasi di Jakarta. Saya pernah diminta mengajar mata kuliah penulisan berita dan editing.

Para mahasiswa saya wajibkan membaca Tempo jika mau terampil mengedit dan menulis reportase. Selain Tempo, saya juga minta para mahasiswa membaca editorial koran Media Indonesia dan berita-berita di antaranewsdotcom.

Mengapa editorial Media Indonesia? Sama dengan Tempo, editing editorial koran ini juga kuat. Maklum, naskah editorial diteliti dan dibaca ulang oleh lebih dari tiga orang anggota redaksi.

Mengapa antaranewsdotcom? Karena berita-berita yang dimuat kantor berita resmi negara ini benar-benar menghormati prinsip jurnalisme. Editingnya juga bagus, antara lain memerhatikan ekonomi kata.

Kembali kepada pertanyaan di awal tulisan ini. Mencoba menempatkan diri sebagai orang awam, saya melihat jurnalisme kekinian Tempo mulai “aneh”.

Jika puluhan tahun Tempo berkontribusi mewaraskan bangsa lewat pemberitaannya, belakangan ini saya melihat, lambat laun Tempo terkesan mulai mengajak orang untuk ikut-ikutan tidak waras.

Framing pemberitaannya, antara lain disemiotikkan lewat covernya, Kepala Negara (Jokowi) dikesankan sebagai sosok presiden yang bodoh, pembohong, tidak mampu memimpin, keturunan (maaf) Tionghoa dan karenanya layak disalahkan dan dibenci.

Berdasarkan pengamatan saya, tiga kali berturut-turut Tempo menurunkan laporan utama dengan menampilkan cover sosok berbaju putih mirip Presiden Jokowi.

Pertama, sosok yang wajahnya mirip Jokowi, bayangannya berhidung panjang layaknya Pinokio. Setelah itu (kedua) majalah ini membuat laporan utama tentang kebakaran hutan. Di covernya ada sosok yang juga mirip Jokowi yang sedang bersalaman dengan orangutan.

Terakhir (ketiga), Tempo menurunkan laporan utama tentang aksi demonstrasi “mahasiswa” (perusuh?) dikaitkan dengan Perppu UU KPK dan peran buzzer (pendengung) yang disebut Tempo adalah pendukung Jokowi.

Di covernya, Tempo juga menampilkan sosok laki-laki berbaju putih mirip Jokowi namun bermata sipit bersandal besar dan tak berdaya.

Produk “jurnalistik” kekinian ala Tempo itu membuat para pendukung Jokowi, termasuk warganet “marah” dan “memboikot” aplikasi Tempo di play store, sehingga berakibat pamor Tempo menurun tajam.

Setelah itu, “jeroan” Tempo pun dibongkar oleh siapa pun yang merasa tahu tabiat majalah ini dalam berjunalistik.

Publik akhirnya menjadi tahu bahwa selama ini Tempo punya kedekatan dengan oknum KPK yang kerap memberikan bocoran saat lembaga antirasuah itu akan melakukan OTT atau tengah menginterogasi tersangka korupsi.

Laporan Tempo soal dapur KPK ini memang selalu berada di depan, sehingga membuat media lain iri.

Salahkah Tempo? Menurut saya tidak, sepanjang Tempo tetap objektif manakala belakangan diketahui KPK ternyata juga punya aib. Namun, dalam kasus revisi atas UU KPK yang diributkan para mahasiswa itu, Tempo tetap menganggap KPK sebagai “malaikat” tanpa dosa.

Saat menurunkan “laporan” buzzer, Tempo juga tendensius dan ujung-ujungnya “salawi” (semua salah Jokowi). Buzzer diklaim milik Jokowi.

Pun demikian ketika Tempo menulis opini (semacam editorial) berjudul “Terguncang Demo Milenial” yang sebagian isinya seperti ini: “Jokowi seharusnya paham bahwa pendekatan keamanan tidak efektif meredam kekesalan publik. Mengerahkan para pendengung (buzzer) untuk mempengaruhi opini masyarakat juga malah memperkeruh suasana.”

Membaca opini redaksi Tempo bertajuk “Saatnya Menertibkan Buzzer”, saya menyimpulkan keberadaan buzzer sebagai sesuatu yang menyeramkan, gawat. Begini isinya:

“Tingkah buzzer pendukung Presiden Joko Widodo makin lama makin membahayakan demokrasi di negeri ini. Berbagai bohong mereka sebarkan dan gaungkan di media sosial untuk mempengaruhi opini dan sikap publik.

Para pendengung menjadi bagian dari kepentingan politik jangka pendek mengemankan kebijakan pemerintah. Dukungan pemerintah kepada buzzer pun terlihat dengan pemberangusan akun-akun yang punya sikap berbeda yang dituding menyebarkan kabar bohong.

Kolaborasi para buzzer dengan aparat negara ini pada akhirnya memperkuat kartel kekuasaan yang memberangus kebebasan berpendapat dan berbicara.”

Ujung-ujungnya Tempo berharap Presiden Jokowi segera menertibkan dan mengendalikan para buzzer.

Sampai sedemikian jauh saya tidak tahu apakah memang Presiden Jokowi memelihara buzzer? Setahu saya jika pun ada buzzer, itu adalah inisiatif pribadi lepas pribadi karena mereka terpanggil mendukung Jokowi dan merindukan negeri ini damai sejahtera.

Saya melihat ada yang tak lazim cara Tempo menurunkan laporan khusus soal itu. Saya mengira Tempo akan habis-habisan mengupas dan menelisik soal buzzer yang dimasalahkan. Saya juga penasaran, lho, buzzer itu apa sih?

Di akhir opini redaksi soal buzzer, seperti biasa, Tempo mencantumkan tulisan itu bisa dibaca di halaman berapa. Redaksi menunjuk halaman 36.

Setelah saya menuju halaman 36 terdapat tulisan (berita?) berjudul “Cinta Berbalas Gas Air Mata”. Saya kecewa, sebab redaksi Tempo tidak mengupas tuntas buzzer yang disebut Tempo suka menyebar kabar bohong itu.

Tempo hanya menulis seperti ini: “Hari-hari itu sejumlah buzzer atau pendengung di media sosial melontarkan tuduhan bahwa unjuk rasa bertujuan menggagalkan pelantikan Jokowi sebagai presiden untuk kedua kalinya. Para pendengung pun menuding gerakan mahasiswa disusupi kelompok garis keras.”

Ya, cuma itu. Selebihnya berisi laporan unjuk rasa para mahasiswa dikaitkan dengan revisi UU KPK.

Menarik apa yang ditulis di atas,”para pendengung pun menuding gerakan mahasiswa disusupi kelompok garis keras.”

Andaikata Tempo konsisten dan konsekuen bahwa para buzzer tak ubahnya adalah penyebar info bohong, bukankah itu sama saja Tempo mendulang air terpercik ke muka sendiri?

Mengapa? Begini. Fakta di lapangan terjadi kerusakan di mana-mana. Mobil dilempari batu, pagar gedung DPR dijebol, gerbang tol dirusak, pos polisi dibakar, lalu lintas macet di mana-mana.

Kalau Tempo keberatan dengan informasi dari buzzer bahwa gerakan mahasiswa disusupi kelompok garis keras, maka logikanya, yang merusak fasilitas umum di atas adalah mahasiswa? Begitu?

Tuduhan miring pun akhirnya teralamatkan ke Tempo. Jurnalisme kekinian yang mulai miring dituduhkan ke Tempo.

Ada yang mengatakan kredibilitas Tempo sudah jatuh, sehingga tak lagi layak dipercaya.

Tuduhan lain, Tempo bersuara miring kepada Jokowi lantaran kelangsungan hidup perusahaan sudah berada di ujung tanduk, sehingga manajemen Tempo mengubah kebijakan redaksionalnya menjadi pro kepada para pembaca berkualifikasi pecundang yang diasumsikan jumlahnya lebih besar daripada pembaca yang masih punya pikiran waras.

Situasi seperti itu (bisnis media cetak semakin sulit) sebenarnya tidak saja dirasakan Tempo, tapi juga dialami perusahaan media lain.

Sungguh sayang jika Tempo akhirnya mengambil jalan pintas dan membuang nilai-nilai jurnalisme, lalu menjadi buzzer

berbadan hukum yang katanya akan melakukan IPO untuk mendapatkan suntikan modal Rp 200 miliar.***

Artikel ini dikutip dan sudah disiarkan dari Seword.com

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Latest Articles