Oleh : Hery Buha Manalu
Usai ibadah Minggu pagi, lonceng gereja berdentang pelan. Dua keluarga semarga melangkah ke arah pintu yang sama, lalu berbelok tanpa saling menyapa. Mereka menyanyikan lagu yang sama, mengucapkan doa yang sama, dan menjawab “Amin” pada liturgi pengampunan. Namun jarak tetap terjaga. Sudah bertahun-tahun tidak Mardomu atau bertegur sapa. Di dalam gereja.
Mardomu di tano rara adalah bentuk konflik paling sunyi dalam masyarakat Batak Toba. Tidak ada pertengkaran terbuka, tidak ada kata-kata kasar. Yang ada hanya diam dan menjauh. Dalam kebijaksanaan budaya Batak, Mardomu di tano na rara kerap dipahami sebagai jedajeda, ruang menahan diri agar emosi tidak melukai martabat. Dalam batas tertentu, sikap ini manusiawi dan patut dihargai.

Masalahnya muncul ketika jeda itu tidak pernah berakhir. Ketika mardomu di tano rara berhenti menjadi ruang refleksi dan berubah menjadi cara hidup. Yang sementara menjadi permanen. Yang dimaksudkan untuk meredam konflik justru mengawetkan luka. Di titik ini, mardomu di tano rara tidak lagi netral. Ia berubah menjadi tembok relasi.
Budaya Batak dibangun di atas identitas genealogis yang kuat, marga, silsilah, dan kehormatan keluarga. Identitas ini memberi rasa aman dan keterikatan sosial. Namun dalam konflik saudara semarga, identitas yang sama sering berubah menjadi alat pembenaran diri. Harga diri terluka. Martabat dipertaruhkan. Mardomu di tano rara lalu dipilih sebagai jalan aman, tidak berdamai, tetapi juga tidak berhadapan.
Di sinilah Injil mengajukan pertanyaan mendasar. Bukan untuk meruntuhkan budaya, melainkan untuk mengujinya. Dalam iman Kristen, pengampunan bukan hasil kelapangan hati manusia, melainkan tindakan Allah yang lebih dahulu mengampuni. Relasi tidak lagi ditentukan oleh darah dan kehormatan, melainkan oleh rekonsiliasi yang dikerjakan Allah. Identitas lama tidak dinegosiasikan, tetapi dilampaui.
Ketegangan muncul ketika mardomu di tano rara dibiarkan menjadi identitas, “kami memang sudah begini”. Pada titik itu, budaya tidak lagi menjadi penyangga kemanusiaan, melainkan penjara relasi. Injil tidak memaksa damai instan. Tetapi Injil juga tidak memberi ruang bagi jarak yang dipelihara tanpa arah pemulihan. Diam yang berkepanjangan, dalam terang iman, bukan kebijaksanaan. Ia adalah penghindaran yang disucikan.
Persoalan ini semakin tajam ketika masuk ke kehidupan gereja. Banyak jemaat hidup dalam paradoks, liturgi pengampunan dirayakan, tetapi relasi jemaat membeku. Gereja menjadi ruang simbol perdamaian, tanpa keberanian mewujudkan perdamaian itu dalam kehidupan sehari-hari. Identitas Kristen hadir di altar, sementara identitas genealogis mengatur jarak sosial di bangku jemaat.
Padahal, pengampunan bukan sekadar nasihat moral. Ia adalah identitas gereja. Gereja ada karena ia telah diampuni, dan karena itu dipanggil untuk mengampuni. Rekonsiliasi bukan hasil negosiasi antara pihak yang sama-sama terluka, melainkan tindakan yang memutus permusuhan dan membuka kemungkinan relasi baru. Selama hal ini dibiarkan tanpa arah teologis, rekonsiliasi tidak pernah sungguh terjadi.
Menariknya, budaya Batak sendiri menyediakan jalan keluar. Nilai kekeluargaan dan persaudaraan yang saling menopang dalam kehidupan menegaskan bahwa hidup tidak dijalani sendirian. Dalam terang ini, mardomu di tano rara seharusnya hanya menjadi jeda menuju pemulihan, bukan kuburan relasi. Injil tidak membawa nilai asing. Ia justru menghidupkan kembali inti kemanusiaan budaya.
Tulisan ini berpihak pada budaya Batak yang manusiawi. Namun ia menolak budaya yang membenarkan permusuhan berkepanjangan atas nama martabat. Injil tidak meminta orang Batak berhenti menjadi Batak. Ia hanya menolak satu hal, ketika jarak dipelihara lebih lama daripada harapan untuk berdamai. (Red/*)



