Oleh : Hery Buha Manalu
Jika kita ingin sungguh-sungguh menghidupi iman Kristen dalam konteks krisis lingkungan hari ini, maka kita harus berangkat dari dasar yang paling kuat, iman kepada Allah sebagai Pencipta. Tanpa pemahaman yang mendalam akan relasi antara Allah, ciptaan, dan manusia, maka seluruh narasi penyelamatan akan menjadi timpang. Sebab Allah dalam Alkitab bukan hanya Tuhan atas manusia, tetapi Tuhan atas seluruh alam semesta. Bumi dan segala isinya adalah milik Tuhan (Mazmur 24:1), dan manusia hanyalah penatalayan, bukan pemilik absolut. Dari sinilah kita mulai, bahwa ekologi adalah bagian dari iman, bukan sekadar tambahan agenda sosial gereja.
Allah sebagai Pencipta, Awal Segalanya
Seluruh iman Kristen berakar pada pengakuan bahwa Allah adalah pencipta langit dan bumi (Kejadian 1:1). Ayat pertama dalam Alkitab bukan tentang manusia, bukan tentang dosa, bukan tentang keselamatan. Tapi tentang Allah yang mencipta. Ini bukan kebetulan. Ini pesan utama, bahwa keberadaan manusia hanyalah satu bagian dari rencana ciptaan yang jauh lebih besar. Dalam Kejadian 1, narasi penciptaan menggambarkan alam semesta bukan sebagai objek mati, tetapi sebagai ciptaan yang hidup, teratur, dan penuh harmoni. Allah mencipta dengan kasih dan mempercayakan kehidupan kepada hukum-hukum alam yang saling menopang. Dan pada akhirnya, ketika semuanya telah selesai, Allah melihat semuanya “sungguh amat baik” (Kejadian 1:31). Ini adalah deklarasi keindahan dan nilai intrinsik ciptaan.
Sayangnya, dalam tradisi teologi yang terlalu berpusat pada manusia (antroposentris), narasi ini sering dikesampingkan. Kita lebih fokus pada manusia dan keselamatannya, sehingga melupakan bahwa keselamatan juga menyangkut seluruh ciptaan. Padahal, Allah tidak hanya mengasihi manusia, tetapi juga burung di udara, ikan di laut, pohon-pohon di hutan, dan sungai yang mengalir. Mereka semua dicipta dalam kasih dan bagian dari rencana damai Allah.
Ciptaan sebagai Relasi, Bukan Objek
Salah satu kesalahan besar manusia modern adalah memandang alam hanya sebagai objek untuk dieksploitasi. Kita lupa bahwa dalam pandangan Alkitab, ciptaan bukan benda mati, melainkan bagian dari komunitas kehidupan yang hidup berdampingan. Dalam narasi Kejadian, manusia dicipta bukan untuk menguasai secara semena-mena, tetapi untuk mengusahakan dan memelihara taman Tuhan (Kejadian 2:15). Kata “mengusahakan” (abad) dan “memelihara” (shamar) dalam bahasa Ibrani memiliki makna pelayanan dan perlindungan. Selain memiliki budaya serta warisannya, tugas manusia adalah pelayan taman, bukan pemilik tanah.
Ini artinya, relasi antara manusia dan ciptaan adalah relasi yang seharusnya bersifat etis, bukan eksploitatif. Kita dipanggil bukan untuk menaklukkan bumi, tetapi untuk hidup selaras dengannya. Kita bukan penguasa yang semena-mena, melainkan penjaga yang setia. Maka, setiap tindakan manusia terhadap alam, baik itu membakar hutan, mencemari sungai, membuang sampah plastik, atau membiarkan emisi karbon merajalela, adalah juga tindakan terhadap karya Allah sendiri.
Dosa dan Kerusakan Ciptaan
Masalah muncul ketika manusia jatuh ke dalam dosa. Dosa tidak hanya merusak relasi antara manusia dengan Allah dan sesama, tetapi juga dengan alam. Dalam Kejadian 3, ketika manusia melanggar perintah Allah, bukan hanya Adam dan Hawa yang mendapat konsekuensi, tetapi tanah pun menjadi terkutuk (Kejadian 3:17). Ini menunjukkan bahwa dosa manusia membawa dampak ekologis. Alam pun menderita karena keputusan etis manusia.
Hal ini ditegaskan dalam Roma 8:22 bahwa “seluruh ciptaan bersama-sama mengeluh dan merasa sakit bersalin.” Alam tidak diam. Ia menangis, ia mengeluh, ia menderita. Kita melihatnya dalam bencana alam, banjir bandang, cuaca ekstrem, kebakaran hutan, kepunahan spesies. Alam bukan sekadar korban pasif, tetapi bagian dari narasi penderitaan yang menanti pemulihan. Pemulihan itu tidak bisa datang hanya dari teknologi atau kebijakan negara, tapi juga dari pertobatan spiritual manusia yang kembali pada panggilan aslinya sebagai penatalayan ciptaan.
Kristus dan Rekonsiliasi Kosmik
Dalam Kolose 1:15–20, Kristus digambarkan sebagai “yang sulung dari segala ciptaan” dan sebagai pribadi yang mendamaikan segala sesuatu dengan Allah, baik yang di bumi maupun yang di surga. Ini dikenal sebagai rekonsiliasi kosmik. Artinya, karya penyelamatan Kristus tidak hanya berlaku bagi manusia, tetapi juga bagi seluruh ciptaan. Salib bukan hanya jembatan antara manusia dan Allah, tetapi juga antara langit dan bumi. Penebusan dalam Kristus mencakup pemulihan ekologi.
Sayangnya, banyak gereja terlalu memusatkan Injil hanya pada jiwa manusia, seolah-olah dunia fisik ini tidak penting. Tapi Kristus sendiri menjadi manusia dalam tubuh, lahir dari rahim, makan dan minum, berjalan di tanah, dan akhirnya bangkit secara jasmani. Semua ini menunjukkan bahwa materi penting bagi Allah. Maka, jika kita mengaku sebagai pengikut Kristus, kita tidak bisa mengabaikan penderitaan ekologis. Kita dipanggil untuk mengambil bagian dalam misi Kristus, yaitu mendamaikan seluruh ciptaan.
Tanggung Jawab Etis, Dari Pengakuan ke Tindakan
Teologi yang sehat selalu menuntun pada tanggung jawab etis. Tidak cukup hanya memahami bahwa Allah mencipta dan Kristus menebus alam semesta. Kita harus bertanya: Apa yang bisa kulakukan sebagai murid Kristus di tengah krisis ekologi ini?
Di sinilah pentingnya pendidikan teologis yang sadar ekologi. Sekolah teologi bukan hanya tempat belajar doktrin, tetapi tempat menumbuhkan nurani ekologis. Mahasiswa teologi sebagai generasi harus belajar mengaitkan ekses konsumerisme dengan dosa struktural. Mereka harus mampu membaca statistik pemanasan global sebagai panggilan profetik. Mereka perlu mengembangkan liturgi, khotbah, dan pelayanan yang memuliakan Allah lewat cinta terhadap bumi.
Tanggung jawab kita bukan hanya secara personal, tetapi juga komunal. Gereja-gereja perlu menjadi contoh dalam penggunaan energi terbarukan, pengelolaan sampah, penyediaan ruang hijau, dan program advokasi lingkungan. Semua itu bukan sekadar aksi sosial, tetapi ekspresi iman.
Ekoteologi, Membangun Teologi yang Membumi
Dari uraian di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa sudah saatnya gereja dan lembaga teologi di Indonesia membangun ekoteologi yang kontekstual. Ekoteologi adalah refleksi iman Kristen yang bertolak dari kesadaran akan krisis ekologi. Ini adalah upaya untuk membaca Alkitab dan memahami karya Allah dengan mata yang terbuka terhadap penderitaan alam. Ekoteologi bertanya, Bagaimana Allah hadir dalam gemuruh badai? Bagaimana Roh Kudus bekerja di antara hutan yang terbakar? Apa makna Injil bagi seekor burung yang kehilangan habitatnya?
Ekoteologi bukan tren, tapi keharusan. Kita tidak sedang membuat injil yang baru, tetapi sedang membaca Injil dengan mata yang lebih utuh, mata yang melihat pohon, sungai, gunung, dan binatang sebagai saudara, bukan objek. Karena pada akhirnya, kita semua berasal dari tanah yang sama, dan akan kembali ke tanah yang sama. (Kejadian 3:19).
Allah adalah pencipta yang setia, dan kita adalah bagian dari komunitas ciptaan-Nya. Dalam iman kepada Allah Sang Pencipta, kita dipanggil untuk merawat, bukan merusak. Dalam kasih Kristus, kita dipanggil untuk berdamai, bukan mengeksploitasi. Dalam kuasa Roh Kudus, kita dipanggil untuk menghidupkan, bukan mematikan. Maka, mari kita bangun iman yang membumi. Iman yang tidak hanya berbicara tentang surga, tetapi juga tentang bumi. Sebab bumi adalah tempat pertama di mana kasih Allah dinyatakan, dan tempat di mana kasih itu harus kita wujudkan bersama.