Oleh : Hery Buha Manalu
Tanah Batak sedang terluka, gunung-gunung yang dulu hijau kini gundul. Sungai-sungai yang jernih kini keruh dan tercemar. Danau Toba, yang dianggap sebagai “pusat dunia” oleh leluhur kita, kini kerap kali penuh limbah dan kehilangan kejernihannya. Di balik semua keindahan alam yang masih tampak di permukaan, ada cerita tentang kerusakan yang perlahan tapi pasti menggerogoti Tanah Batak negeri kita, Negeri Pancasila.
Di tengah semua ini, masyarakat adat yang dulu begitu dekat dengan alam kini justru sering disingkirkan. Mereka kehilangan tanahnya karena izin-izin tambang, proyek besar, atau industri kayu dan pariwisata. Anak-anak muda banyak yang pergi merantau, sementara kampung halaman dibiarkan rusak. Siapa yang peduli?
Inilah kenyataan yang membuat kita harus bicara, bukan sekadar mengeluh, tapi mencari jalan bersama. Dan di sinilah pentingnya keadilan sosial, nilai yang tertulis jelas dalam Sila Kelima Pancasila: “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.” Tapi apakah sila ini hanya berhenti di atas kertas? Atau bisa kita hidupi dalam memperjuangkan lingkungan dan kehidupan masyarakat di Tanah Batak?


Keadilan Sosial dan Alam yang Terluka
Keadilan sosial bukan cuma soal uang atau bantuan pemerintah. Keadilan sosial artinya semua orang, termasuk masyarakat di desa, punya hak atas tanah, air, udara bersih, dan hidup yang layak.Saat hutan dirampas, saat sungai tercemar, dan saat masyarakat adat dipaksa meninggalkan tanahnya, itu bukan cuma masalah lingkungan. Itu juga masalah keadilan.
Tanah Batak bukan tanah kosongTanah Batak bukan tanah kosong. Ia adalah warisan, identitas, dan sumber kehidupan. Ketika alam rusak, maka rusak juga hubungan manusia dengan sejarah dan masa depan. Bukankah leluhur kita selalu mengajarkan untuk menjaga tanah pusaka seperti menjaga hidup itu sendiri?
Negara dan Tanggung Jawabnya
Dalam Pancasila, negara punya tanggung jawab besar. Negara seharusnya tidak hanya mendukung investor, tetapi juga melindungi rakyat kecil. Pemerintah harus memastikan bahwa setiap proyek besar yang masuk ke Tanah Batak tidak merusak lingkungan atau menggusur warga.
Tapi kenyataannya, sering kali yang terjadi sebaliknya. Banyak proyek besar tidak melibatkan warga lokal dalam pengambilan keputusan. Kadang-kadang, warga yang menolak malah dituduh melawan hukum. Padahal mereka hanya sedang membela tanah leluhurnya. Di sinilah kita perlu bersuara, bahwa keadilan tidak boleh hanya berpihak pada yang kuat dan kaya.
Sebagai orang Batak, banyak dari kita dibesarkan dalam keluarga dan komunitas Kristen. Gereja menjadi tempat kita mencari penghiburan dan harapan. Tapi, apakah gereja juga bicara soal krisis lingkungan? Apakah gereja ikut berdiri di tengah pergumulan rakyat dan alam?
Tuhan menciptakan bumi dan mempercayakannya kepada manusia untuk dijaga, bukan dirusak. Dalam Alkitab, kita diajarkan untuk mengasihi sesama dan memelihara ciptaan. Itu artinya, ketika tanah rusak, sungai kering, atau hutan ditebang habis, kita juga punya tanggung jawab rohani untuk ikut bertindak.
Gereja punya kekuatan: mimbar, pendidikan, pengaruh sosial. Bayangkan kalau gereja-gereja di Tanah Batak mulai aktif membela lingkungan, mengedukasi jemaat, dan berdialog dengan pemerintah serta perusahaan. Bukankah itu bentuk iman yang hidup?
Budaya Batak, Akar yang Harus Dihidupkan Kembali
Budaya Batak mengajarkan kita untuk menghargai alam. Dulu, hutan bukan hanya tempat cari kayu, tapi juga tempat sakral yang dijaga bersama. Tanah bukan sekadar ladang, tapi bagian dari jati diri. Filosofi “Dalihan Na Tolu” menekankan keseimbangan dan saling menghormati, ini berlaku juga terhadap alam.

Sayangnya, nilai-nilai ini perlahan memudar. Anak-anak muda tidak lagi kenal hutan, tidak lagi akrab dengan sawah. Budaya Batak seperti kehilangan rohnya ketika alam rusak dan masyarakat terasing dari tanahnya. Maka, jika kita ingin menyelamatkan Tanah Batak, kita juga harus menyelamatkan budaya kita sendiri.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan?
Pertama, kita perlu menyadari bahwa kerusakan lingkungan bukan hal biasa. Ini masalah serius yang berdampak pada masa depan anak cucu kita. Kedua, gereja dan tokoh adat perlu duduk bersama dan menyatukan kekuatan. Budaya dan iman harus berjalan seiring, bukan saling mengabaikan. Ketiga, masyarakat sipil, aktivis lingkungan, dan generasi muda harus terus menyuarakan keadilan—bukan dengan kekerasan, tapi dengan cinta dan keberanian.
Yang terakhir, mari kita ingat kembali bahwa tanah ini bukan milik siapa-siapa. Tanah Batak adalah warisan bersama yang harus kita jaga bersama. Jika kita diam, maka kerusakan akan terus berlangsung. Tapi jika kita bergerak, maka ada harapan.K)erusakan lingkungan di Tanah Batak adalah jeritan yang harus kita dengar. Jeritan itu adalah suara tanah, suara air, suara hutan, tapi juga suara rakyat kecil yang kehilangan haknya. Dalam terang Pancasila dan iman Kristen, kita dipanggil untuk tidak tinggal diam.
Keadilan sosial bukan mimpi kosong. Ia bisa jadi kenyataan, jika kita peduli, berani, dan mau bergerak bersama. Saatnya menjadikan iman dan budaya sebagai kekuatan untuk merawat tanah leluhur kita, demi masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan. (Real/*)



