Oleh : Hery Buha Manalu
Tiga dekade ratifikasi UNCAT, refleksi Peringatan Hari Anti Penyiksaan Internasional yang jatuh pada 26 Juni menjadi momentum penting untuk menilai komitmen negara terhadap perlindungan hak asasi manusia (HAM), khususnya dalam mencegah praktik penyiksaan. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan (UNCAT) sejak 1998 melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1998, yang secara hukum mengikat negara untuk menghapus segala bentuk penyiksaan oleh aparat negara. Namun, setelah hampir tiga dekade ratifikasi, praktik penyiksaan masih ditemukan secara nyata, khususnya di Sumatera Utara.
Berdasarkan laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumatera Utara, sepanjang periode Juni 2022 hingga Juni 2025 tercatat sedikitnya 30 kasus penyiksaan dengan dugaan pelaku utama berasal dari institusi kepolisian. Ini mencerminkan bahwa meskipun Indonesia telah memiliki perangkat hukum yang sesuai dengan standar internasional dan ratifikasi UNCAT, penerapan di lapangan masih jauh dari harapan. Kekerasan oleh aparat tidak hanya menyasar tersangka tindak pidana, tetapi juga masyarakat sipil dalam konteks konflik agraria dan kasus lain yang tidak berkaitan langsung dengan pelanggaran hukum.
Salah satu kasus paling mencolok adalah kematian Pandu Brata di tangan aparat Polsek Simpang Empat. Tanpa bukti kuat atas tuduhan terhadapnya, Pandu mengalami penyiksaan hingga meninggal dunia. Peristiwa ini mencerminkan dua persoalan utama, pertama, penggunaan penyiksaan sebagai alat kekuasaan dalam proses penegakan hukum, kedua, minimnya akuntabilitas terhadap aparat yang melakukan kekerasan. Dalam banyak kasus, penyelesaian dilakukan secara informal melalui pendekatan damai yang tidak transparan dan tidak berorientasi pada keadilan korban. Ratifikasi UNCAT tidak mendapat dimana masih kuatnya pengabaian. Budaya impunitas yang tidak menjaga bahkan melemahkan kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum.
Kegagalan negara dalam memberikan perlindungan terhadap warga dari penyiksaan tidak lepas dari lemahnya sistem pengawasan terhadap aparat keamanan. Selain itu, tidak adanya mekanisme pengaduan yang independen serta ketidakseriusan dalam menindak pelaku penyiksaan menjadi hambatan dalam mewujudkan prinsip keadilan dan penghormatan terhadap martabat manusia. Mekanisme internal dalam tubuh kepolisian dan lembaga pengawas seperti Kompolnas atau Ombudsman belum optimal dalam mengatasi penyimpangan perilaku aparat.
Dalam konteks Sumatera Utara, kasus-kasus penyiksaan juga menunjukkan bahwa wilayah ini masih menghadapi tantangan struktural dalam membangun sistem penegakan hukum yang menghormati HAM. Selain karakteristik wilayah yang kompleks secara sosial dan geografis, masih lemahnya kapasitas lembaga peradilan serta kurangnya pendidikan HAM bagi aparat juga menjadi faktor penyumbang terjadinya penyiksaan. Diskursus HAM belum menjadi prioritas dalam agenda kebijakan lokal, baik di tingkat kepolisian maupun pemerintahan daerah.
Terkait hal tersebut, berbagai organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan mahasiswa telah menginisiasi diskusi publik untuk mengangkat isu penyiksaan ke ruang wacana. Ratifikasi UNCAT dan tindak penyiksaan menjadi Refleksi yang bertujuan tidak hanya untuk mendokumentasikan dan mengkritisi praktik penyiksaan, tetapi juga mendorong pembaruan kebijakan serta membangun solidaritas masyarakat dalam menuntut keadilan. Dengan melibatkan berbagai narasumber dari berbagai latar belakang seperti aktivis, jurnalis, pengacara, dan peneliti, diskusi ini membuka ruang dialog kritis terhadap tanggung jawab negara dan jalan keluar dari krisis kekerasan oleh aparat.
Oleh karena itu, peringatan Hari Anti Penyiksaan Internasional tidak boleh hanya menjadi kegiatan seremonial tahunan. Peringatan ini harus dijadikan titik tolak untuk merefleksikan sejauh mana komitmen negara dalam menjamin penghormatan terhadap hak-hak dasar warganya, serta sebagai ajakan kolektif untuk memperkuat upaya reformasi sektor keamanan. Negara harus segera memastikan penguatan sistem pengawasan, penegakan hukum terhadap pelaku penyiksaan, serta integrasi prinsip-prinsip HAM dalam seluruh kebijakan dan tindakan aparat keamanan.
Meskipun ratifikasi UNCAT oleh Indonesia telah dilakukan sejak 1998, praktik penyiksaan masih terjadi dan mengancam prinsip negara hukum. Khususnya di Sumatera Utara, angka kekerasan oleh aparat menunjukkan urgensi pembaruan struktural dalam sistem hukum dan keamanan. Tanpa langkah tegas dan konsisten dari pemerintah, maka komitmen terhadap penghormatan HAM hanya akan menjadi dokumen formal tanpa makna substantif. Momentum peringatan ini seharusnya menjadi dorongan untuk membangun sistem hukum yang lebih adil, akuntabel, dan manusiawi.
Penulis : Akademisi, Pendiri Pusaka (Pusat Study Alam, Budaya dan Kebangsaan untuk Indonesia), Solidaritas Kebangsaan RI